12-Dec-13
Di hari itu, teman SMU kita sekaligus teman sebangkumu waktu kelas 2
akan melangsungkan pernikahannya. Diundanglah seluruh teman sekelas dan
janjian di suatu tempat. Aku yang kebetulan bisa datang pun ikut
berkumpul di suatu tempat. Bertemu teman lama rasanya memang selalu
menyenangkan, ngobrol dan mengenang masa lalu bersama sahabat-sahabat
lama.
Tiba-tiba kami semua dikumpulkan dalam satu ruangan besar penuh
kursi dengan layar lebar di depannya. Mungkin seperti bioskop. Aku yang
datang agak terlambat kebagian duduk di kursi belakang. Di sebelah
kananku tidak ada siapa-siapa. Kosong hingga ke ujung. Entah kenapa aku
terus memandangi kursi-kursi kosong di sebelah kananku itu. Gelap dan
sepi. Sedikit membuat bulu kudukku merinding memang, tapi entah kenapa
mataku tidak bisa lepas dari kursi-kursi kosong itu.
Tiba-tiba, seseorang
datang dan duduk di sebelah kiriku. Aku yang masih asik memandangi
kursi-kursi kosong di sebelah kanan, tidak menyadari kehadirannya sampai
ia menyapaku.
"Kenapa liat terus ke sana? Takut ya kalo duduk paling
ujung?"
Aku tersentak dengan suara yang tidak asing bagiku itu, dan
menoleh ke kiri.
Kulihat kamu tersenyum seperti biasa, senyum tipis dan
sedikit jail.
Belum sempat kujawab, kamu langsung memintaku untuk tukar
tempat duduk supaya aku tidak duduk di paling ujung. Tapi langsung
kutolak dengan alasan aku suka berada di kursi paling ujung, melihat
kursi-kursi kosong yang nampak kesepian. Kamu pun hanya mengangkat bahu
dan kembali duduk di sebelah kiriku.
Selama beberapa saat, kita hanya
berdiam, sibuk dengan lamunannya masing-masing. Tapi entah kenapa,
mataku tidak bisa lepas darimu. Aku terus menoleh ke sebelah kiri.
Melihat wajahmu dari samping. Wajah yang selalu kurindukan. Kulit yang
bersih, hidungmu yang mancung, bulu matamu yang panjang bibirmu mungilmu
yang selalu tersenyum jail setiap kali berhasil membuatku kesal.
Kamu
masih seperti dulu, selalu memakai T-shirt dibalut jaket warna putih
kesayanganmu, dipadu dengan blue jeans lengkap dengan topi hitammu yang
warnanya sudah agak pudar. Padahal aku terus melihatmu lekat-lekat,
tanpa sedetik pun kulepaskan pandangan ini. Tapi kamu tetap diam dan
kalem, matamu tetap lurus ke depan, ya masih sama seperti dulu.
Kamu
tidak berubah."Kamu jauh-jauh dari Kalimantan datang ke sini?" aku
memecah keheningan.
Kamu tersenyum lagi, "Iya. Ini kan nikahan temen
sebangku aku waktu SMA, masa sih nggak datang." kamu pun tergelak.
"Oiya,
aku bawa oleh-oleh", tiba-tiba kamu mengeluarkan sesuatu dari tas
ranselmu.
Aku tidak ingat dengan jelas apa yang kamu berikan sebagai
oleh-oleh buatku saat itu. Mungkin karena tempatnya gelap. Seingatku,
aku menolaknya karena merasa tidak enak padamu, tapi kamu tetap memaksa
dan akhirnya aku menyerah.
Kami masih dikumpulkan di tempat luas dan
penuh kursi serta sebuah layar lebar itu. Katanya sebelum pergi ke
pernikahan temanku itu, kami semua kumpul dulu. Tapi, rasanya lama
sekali kami menunggu di situ. Tidak ada tanda-tanda bahwa kami akan
segera pergi. Dan kursi-kusi kosong di sebelah kananku pun tetap kosong.
Dan kesepian.
Tapi, begitu kutolehkan wajahku ke sebelah kiri dan
melihat wajahmu tepat berada di sampingku. Ketika kurasakan lenganmu
bersentuhan dengan lenganku. Ketika kurasakan lututmu beradu dengan
lututku. Oh, aku tidak peduli mau menunggu berapa lama pun di ruangan
besar penuh kursi itu.
Aku tidak peduli dengan teman-teman lamaku di
sudut sana yang begitu ramainya berbagi cerita karena mereka lama tak
berjumpa.
Aku tak peduli, asalkan kamu tetap duduk di sebelahku dan bisa
melihat wajahmu dengan senyum jailmu itu.
Beberapa lama kemudian, kamu
tiba-tiba berdiri dan pergi. Aku tidak sempat bertanya bahkan
memanggilmu pun tidak. Kamu tiba-tiba telah berada dekat pintu keluar.
Aku ingin memanggil, tapi suaraku tidak keluar. Aku ingin menarik
lenganmu, tapi tidak bisa kugapai. Akhirnya aku hanya bisa diam dan
melihatmu semakin menjauh.
Sebelum akhirnya kamu benar-benar keluar dari
ruangan besar itu, sebelum akhirnya kamu melewati pintu keluar yang
entah kemana arahnya, kamu menoleh ke belakang dan tersenyum padaku.
Senyum jail itu.
"Aku pergi dulu ya..."
Masih sama.
Kamu masih sama seperti
dulu.
Masih ramah, tidak banyak bicara dan selalu tersenyum jail
padaku.
Sama seperti dulu.
Ketika kamu akan pergi ke seberang lautan dan
hanya memberiku sepatah kata, "Aku pergi dulu ya..."
Setelah kamu
mengucapkan itu, aku pun terbangun.
Ternyata hanya mimpi.
Padahal alarm di
ponselku masih belum berbunyi, tapi aku terbangun begitu saja.
Padahal
jika semenit saja aku masih di alam mimpi, mungkin aku bisa menarik
lenganmu dan menahanmu untuk pergi.
No comments:
Post a Comment