Kyoto; Kota Cantik dengan Suasana Tradisional yang Kental

writen at 26-Mar-16

(10-Mar-16)

Setelah semalam diguyur hujan gerimis, pagi itu di Osaka, tepatnya kota Morinomiya dimana apartemen temanku berada sekaligus tempatku bernaung selama di Jepang, berhembus angin dingin dengan suhu hampir 7 derajat.

Kalau saja pagi itu nggak inget rencana jelong-jelong ke Kyoto, pasti udah narik selimut dan guling-guling di atas kasur.

Plan hari ini adalah menjelajah Kyoto dan sekitarnya. 

Tadinya, Kyoto disimpen di itine hari terakhir, tapi setelah dipikir-pikir tempat yang jauh-jauh mending disimpen di hari-hari awal aja, karena kalo di hari terakhir pergi ke tempat jauh, khawatir badan ngedrop kecapean dan bakalan gempor saat pulang nanti.

Setelah mandi sambil menggigil (padahal udah pake aer panas), sholat subuh, dendong dan sarapan secukupnya, sekitar jam 7 pagi aku dan Uul ngesot keluar apartement dan siap jelong-jelong.
Kami sengaja pergi dari pagi supaya daerah wisata yang nanti bakal kita kunjungi masih sepi dan waktu buat explore pun bisa lebih banyak.

Setelah ngesot ke stasiun Morinomiya, kita pun langsung mencari kereta yang menuju Kyoto, yang hanya memakan waktu sekitar 30 menit. Deket amiiirrrr!!!

Beruntung apartemen Uul berada di pusat kota, jadinya akses ke Kyoto nggak ribet dan nggak terlalu jauh.
Beruntung lagi, semua akses kereta bisa pake JR PASS, yang artinya gratiss tiss tisss!!!

Begitu nyampe di Kyoto Station, kita langsung ngibrit.
Ke area wisata? Bukan, tapi nyari toilet gegara pagi itu dingin bangeeet^^

Habis itu, kita pun segera menuju information buat cari-cari info seputar pembelian One Day Pass ticket.
One Day Pass ticket ini adalah tiket terusan city bus di Kyoto. Sepanjang kota Kyoto kita bisa menjelajah kota pake bis ini sepuas hati. Mau naik berapa kali pun bebassss.
Harga tiket terusannya cuma 500 Yen (Sekitar 50ribu rupiah) untuk satu hari.
Amat sangaaat murah dibandingkan kudu beli tiket ngeteng yang sekali naik bisa nyampe 200 Yen.

One Day Pass di tangan, kita pun langsung nyari-nyari peta untuk menentukan tempat mana yang bakal dikunjungi. Atas saran Uul, sebaiknya kita pergi dulu ke tempat-tempat yang jauh supaya lebih efisien.

Setelah ngegalo di depan peta, dua bolang ini akhirnya memutuskan tempat pertama yang dikunjungi adalah Fushimi Inari, yaitu sebuah kuil yang terkenal dengan icon gerbang jingga-nya yang buanyaak dan berjejer.
Dari Kyoto Station, hanya diperlukan waktu sekitar 10 menit menuju Fushimi Inari.

Karena masih pagi, Fushimi Inari masih lumayan sepi, apalagi ini hari biasa, bukan holiday. Hanya ada beberapa pelancong dan beberapa siswa yang study tour.



[cuaca mendung dan suasana yang masih sepi membuat sekitar Fushimi Inari Shrine makin terasa dingin. Brrr....]



Setelah memasuki gerbang Fushimi Inari dan nggak lupa poto-poto narsis [TEUTEUP], kami pun melanjutkan perjalanan menuju area utama kuil. Di tengah jalan, mata ini tiba-tiba tertuju pada toko-toko yang menjual souvenir dan makanan khas Kyoto. Kaki yang tadinya mau berbelok belenjong, langsung tertahan dan dengan berat hati diseret menjauhi toko-toko souvenir, sambil tak lupa mengucap istigfar.

"Jangan. Jangaannnn. Masuk kuil aja belom, masa udah tergoda belenjong. Ayok, Ul! Lanjut mendaki kuil." kataku sambil terus komat-kamit istigfar supaya nggak tergoda.
"Yoyoi. Lanjut mendaki yuk! Belanja-nya pulangnya aja", jawab Uul
"AYOK!" timpalku semangat.

Yeee, sama aja, Neng!
Percuma tadi istigfar, atuh-_____-

Semula aku pikir Fushimi Inari ini cuma kuil dengan jalan memanjang lurus yang isinya gerbang (Torii) berwarna jingga dan berdempet-dempet. Soalnya, kalo ngeliat foto-foto di internet kan kesannya kayak gerbang yang puanjaaaang banget dan serba jingga.

Rupanya saya salah besar, pemirsah!

Di bagian bawah kita disuguhi beberapa bangunan kuil besar, baik itu untuk tempat berdoa, tempat menjual ramalan dan jimat serta tempat menyimpan jimat itu sendiri. Sedikit menaiki tangga, ada beberapa area seperti kuburan dengan berhiaskan patung-patung yang hampir semuanya memiliki icon rubah putih.

Kalo pengen menemukan gerbang berwarna jingga yang berjejer rapat, kita harus naik lagi.
Setelah tiba di jejeran gerbang berwarna jingga, rupanya perjalanan masih panjang, Jendral!
Begitu ngeliat peta, perjalanan kita belum sepertiganya, masih harus mendaki ratusan anak tangga untuk sampai di puncak. Baru ngeliat peta aja lutut udah lemes, tapi begitu inget prinsip "mumpung masih disini" atau "kapan lagi kesini", dua bolang ini pun bersikeras untuk mendaki sampai puncak Fushimi Inari.



[ratusan anak tangga kayak begini yang harus didaki hingga puncak!
Well, Welcome to the Jungle!
]


Ratusan anak tangga didaki, lutut yang gemetaran nggak digubris, kaki yang lecet tak dihiraukan, udara dingin gunung pun tidak menghalangi dua bolang untuk terus mendaki hingga anak tangga tertinggi.
Meski sempat gempor dan hampir putus napas, akhirnya kami sampai di puncak Fushimi Inari!
*potong tumpeng*

Puncak Fushimi Inari yang berada di ketinggian 233 M ini sebetulnya biasa aja. Hanya ada sebuah area atau kuil kecil tempat berdoa. Mungkin bagi penganut kepercayaan yang bersangkutan, bisa berdoa di puncak kuil merupakan kepuasan dan rasa syukur yang tidak terhingga. Setelah bersusah payah mendaki hingga 233 meter, tentunya berdoa pun jadi lebih khusuk dan rasa capek pun terbayar tuntas.

Aku dan Uul cuma bisa memandangi orang-orang yang lagi berdoa dan sesekali memotret.
Meski kami nggak berdoa, tapi pemandangan yang disuguhkan dan rasa puas bisa mendaki sejauh itu sudah cukup bikin seneng dan cengar-cengir happy.

Oiya, rupanya ada hal menarik yang kita temukan selama kami mendaki.
Kalo kalian pergi ke Fushimi Inari, jangan lupa bawa air minum karena lumayan menguras keringat, meskipun musim dingin. Dan, kalo mau beli air minum di vending machine, pastikan kalian udah beli semenjak dari bawah. Kenapa? Karena semakin kita mendaki, harga air minum di vending machine bakal semakin mahal.
Yup! Dua bolang nggak ada kerjaan ini malah merhatiin harga air minum di vending machine sambil mendaki. Kalo di area bawah kuil biasanya harga air mineral cuma 100 Yen, semakin ke atas harganya bisa naik mulai dari 120 Yen, 130 Yen, hingga yang paling mahal 140 Yen.
Lumayan kan? Hihii.

Setelah menginjakkan kaki di puncak, kami pun mulai menuruni anak tangga untuk kembali ke bawah.
Selama menuruni tangga, kami berpapasan dengan banyak pengunjung yang baru saja tiba di kuil dan kudu berjuang panjang hingga mencapai puncak.

Mentang-mentang kami udah nyampe puncak, tiap kali berpapasan dengan pengunjung lain yang kecapean mendaki, dengan songongnya kedua bolang ini nyelutuk :
"Semangat, kakaaak! Masih jauh loooo puncaknya. Masa baru segitu aja udah nyerah."
[padahal tadi pas mendaki, sama-sama gempor-______-]

Yang untungnya kita ucapin pake bahasa Indonesia, karena kalo nggak, mungkin udah kedua bolang songong ini udah diiket rame-rame di gerbang kuil buat jadi santapan rubah putih.

Begitu tiba kembali di bawah kuil, tanpa dikomando dua bolang ini langsung ngibrit menuju toko oleh-oleh. Sakit kaki yang tadi dirasa ketika mendaki kuil tiba-tiba ilang entah kemana begitu ngeliat pernak-pernikk lucu khas Kyoto.

Apalagi saat kita menyusuri jalanan kuil, dua bolang ini menemukan banyak kedai penjual makanan berjejer yang bikin iler mengalir deras.

Ada sedikit cerita nyebelin saat wisata kuliner di Fushimi Inari.
Di antara para penjual makanan, ada satu penjual taiyaki (kue sejenis pancake berbentuk ikan dengan isian kacang merah atau custard).
Karena taiyaki yang baru mateng dan masih ngepul itu bikin ngiler, plus harganya pun cuma 150 Yen, aku dan Uul memutuskan untuk beli. Saat akan beli, ada seorang turis dari Turki di sebelah kami yang juga mau ikutan beli.
Karena si ibu-ibu turis dari Turki yang berjilbab dan baik hati itu nampak nggak bisa bahasa Jepang dan nggak ngerti taiyaki itu kayak apa, Uul mencoba membantu menjelaskan pake bahasa Inggris.

Setelah ngerti, ibu-ibu Turki itu mulai memesan taiyaki ke si penjual pake bahasa Inggris.
Karena si penjual kagak ngerti bahasa Inggris, Uul yang baik hati pun mencoba membantu lagi dengan menterjemahkannya pake bahasa Jepang.

Eeeeh, bukannya diterima dengan baik, si bapa penjual taiyaki malah ngomel dan marah-marah nggak karuan. Dia malah mencibir Uul sambil bilang kalo nggak usah sok-sok-an pake bahasa Inggris dan bahasa Jepang setengah-setengah.

Dan, entah emang si bapa penjual itu sarap ato stress, saat Ibu-ibu Turki ngasih uang buat bayar taiyaki dengan lembaran 5000 Yen, si penjual gila itu malah makin marah dan bilang nggak mau nerima uang gede, pengennya pake uang pas. Yakali kalo nggak ada kembalian kan bisa bilang baek-baek, nggak usah ketus gitu, Pa!
*sumpelin batu ke mulutnya*

Kesel sih, tapi kalo ditinggalin begitu aja kesian juga ibu-ibu Turki-nya karena dia nggak ngerti bahasa Jepang.
Akhirnya, kita temenin sampai si Ibu itu mendapatkan taiyaki pesanannya, dan kita pun segera pergi meninggalkan bapa sarap itu setelah taiyaki pesanan udah di tangan.
Huh, untung taiyaki-nya enak, kalo nggak udah ane gulingin deh kedai elu.
*derek buldozer sampe depan kedai*

Daripada kesel berkelanjutan, aku dan Uul pun melanjutkan wisata kuliner dan beli oleh-oleh.

Alhasil, kita pun memboyong yakitori (sate ayam) yang guedeee dan enyaaak, sekantong kue mochi khas Kyoto dan beberapa pernak-pernik ala kuil.

Setelah puas menjelajah Fushimi Inari, destinasi kami berikutnya adalah Arashiyama!

Arashiyama ini terkenal dengan hutan bambu-nya yang kereen dan berasa di negeri dongeng [lebay].
Dari halte bus Fushimi Inari hingga Arashiyama memakan waktu sekitar 30 menit, lumayan jauh karena dari ujung ke ujung. Karena tadi udah kecapean mendaki sampe puncak Fushimi Inari, 30 menit selama perjalanan di bus bener-bener bikin dua bolang ini pules ampe ngiler.

Didukung dengan cuaca yang adem, suasanya di dalam bis yang tenang, dan tempat duduk yang pewe, wisata ke alam mimpi pun cukup ditempuh dalam itungan detik.
Begitu terbangun, kita pun tau-tau udah di halte Arashiyama.

Kedua bolang yang baru bangun dengan nyawa masih setengah terkumpul, buru-buru turun dari bus dan nggak lupa lap iler, eh....gesek tiket sebagai tanda pembayaran ongkos bus maksudnya.

Dari halte, masih lumayan jauh sebetulnya hingga menuju Arashiyama Bamboo Forest.
Karena cuaca saat itu dingin dan segaaar banget, kami pun memutuskan untuk menuju Arashiyama sambil jalan dan cuci mata.

Sepanjang jalan menuju Arashiyama, kami disuguhkan pemandangan yang ketjeh banget! Mulai dari sungai yang bersih, sepanjang jalan yang adem dan rapih, toko-toko penjual souvenir dan makanan yang bikin kudu banyak-banyak istigfar lagi, penyewaan kimono plus cewek-cewek kawai berkimono yang wara-wiri di sekitar Arashiyama.

Di tengah jalan, kami menemukan penjual matcha soft ice cream yang langsung dihampiri tanpa ba bi bu oleh kedua bolang kelaperan ini [padahal tadi abis makan taiyaki dan yakitori porsi gede-_____-]. 
Matcha soft cream seharga 300 Yen itu asli ENAK!
Matcha-nya kental, nggak terlalu manis keblinger, dan isinya banyaaak! Bahkan sampe tiba di Arashiyama yang berjarak beberapa ratus meter sejak kita beli soft cream, masih belum abis juga saking banyaknya.
Asli itu matcha soft cream terenak yang pernah aku makan!

Karena kedua bolang ini baru pertama kali pergi ke Arashiyama, alhasil kita nggak tau kudu ke arah mana untuk menuju ke bamboo forest. Akhirnya, kedua bolang ini pun menuruti insting liarnya dengan mengikuti para turis di depan. Lagian, kalo ke Arashiyama ya kemana lagi kalo destinasinya bukan ke bamboo forest. Jadi, tinggal ikutin aja kebanyakan orang perginya kemana.

Rupanya insting liar kedua bolang ini benar, pemirsah!

Hanya dalam hitungan menit, kami pun sudah tiba di bamboo forest.
Kesan pertama yang terlintas saat tiba di bamboo forest adalah SILENT. Sunyi, sepi dan adem. Udara Arashiyama yang dingin hingga 7 derajat ditambah semilir angin yang berhembus meniupkan daun-daun bambu, semakin menambah aura hening di Arashiyama.

Padahal waktu itu cukup banyak pengunjung di Arashiyama, tapi suasana hening dan tenang tetap terasa kental.
Kesan kedua yang terlintas saat tiba di Arashiyama adalah "Ini kalo malem-malem, ada Sadako nggak ya lagi jelong-jelong di hutan?"



[bayangkan kamu malem-malem di situ,
berpapasan sama Sadako......]


Meski Arashiyama lebih dikenal dengan bamboo forestnya, tapi rupanya nggak hanya itu yang bisa kita temukan di Arashiyama. 

Ada sungai Arashiyama yang beniiiing dan nggak ketinggalan bebek-bebek yang berenang dengan riang-nya, ada rumah-rumah penduduk yang asri dan bersiiih banget, toko souvenir, ada juga pohon-pohon jeruk yang bikin ngiler dan minta dicolong tapi langsung kita urungkan kalo mengingat takut didatengin Sadako dari hutan bambu gegara nyuri jeruk-____-

Puas menikmati keheningan di hutan bambu, kedua bolang pun kembali menuju halte bus. Sepanjang jalan menuju halte bus, nggak lupa kita mampir ke toko-toko souvenir dan aku berhasil tergoda untuk memboyong sebuah iphone case buat temanku yang kemarin berbaik hati nganter ke bandara^^
Bus yang ditunggu datang dan kami pun segera naik untuk melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya : Kiyomizudera Temple.

Untuk mencapai Kiyomizudera Templa, dari Arashiyama cukup 10 menit perjalanan dan berhenti di Higashiyama.
Higashiyama ini adalah jalanan menanjak yang kanan-kirinya penuh dengan toko-toko mulai dari makanan khas setempat, souvenir, persewaan kimono, kedai makan, dan sebagainya yang lagi-lagi kudu banyak-banyak istigfar selama melewati jalanan ini.

Di puncak Higashiyama, kita akan disuguhi bangunan kuil-kuil yang kalo perjalanan diteruskan akan tiba di Kiyomizudera Temple.

Karena waktu itu udah mulai malam, ditambah cuaca makin dingin dan hampir bikin beku, kaki udah gempor plus Kiyomizudera pun lagi dalam masa renovasi, maka kedua bolang ini dengan berat hati membatalkan masuk ke Kiyomizudera dan cuma sampai depan kuil aja, lalu kembali pulang.

Karena sudah jam makan malam, kami pun memutuskan untuk makan dulu sebelum kembali ke Osaka.
Kebetulan, Uul dapet info kalo di Kyoto ada ramen halal. Maklum, sebagai muslim kita nggak bisa makan ramen asli Jepang, karena meski toping dagingnya bisa diganti pake sapi, tapi kuahnya belum tentu aman.
Begitu tau ada ramen halal dan jaraknya pun nggak begitu jauh, kedua bolang yang udah kelaperan ini pun langsung meluncur.

Dari Higashiyama, cukup pakai city bus sekitar 10 menit dan turun tiga halte selanjutnya.
Ketika ngeliat aplikasi maps di smartphone, kita mengira kalo dari halte Higashiyama tinggal naik bus ke arah Kyoto Station.
Sejam lebih kami menunggu di halte yang penuuuh dan ngantri banget.

Saat menunggu dalam udara dingin, tiba-tiba Uul ngecek hape dan terkejut, pemirsah!

Rupanya, untuk menuju kedai ramen halal, kita bukan naik bus yang mengarah ke Kyoto Station, melainkan arah sebaliknya.

Sambil ngakak karena nunggu di halte yang salah arah selama sejam, kedua bolang linglung itupun ngibrit nyebrang menuju halte di arah yang berlawanan.

Untungnya orang-orang sekitar yang ikutan antri di halte nggak ada yang ngerti kita lagi ngapain. Kalo mereka pada ngerti, pasti disurakin : "Udah sejam nunggu, ternyata haltenya salah arah. Cuciaaaan deh luuuu!"
Di halte sebrang, tidak sampai 5 menit kami mendapatkan bus yang ditunggu dan langsung meluncur menuju kedai ramen halah sambil ngakak nggak berenti-berenti.
Maklum, di negeri orang.
Maklum, kami turis, jadi nyasar-nyasar ato salah halte dikit gapapalaaahhh *ngeles*

Begitu bus berhenti di halte yang dituju (sorry, aku lupa nama haltenya), kami turun dan berjalan agak ke dalam jalanan kecil sekitar 3 menit. Dari situ kedai ramen halal yang bernama NARITAYA pun terlihat.
Di depan kedai, kami disambut dengan papan toko bertuliskan HALAL, yang tentunya membuat kita makin tenang dan mantap untuk memasuki kedai.

Di dalam kedai pun kami disambut lagu-lagu bernuansa islam, plus seorang pemilik kedai yang mungkin berkebangsaan dari salah satu negara Arab, Turki, dsb.
Bahkan di dalam kedai pun disediakan mushola, yang tentunya sangaaaaaat jarang ditemukan di Jepang.
Senangnyaaaa, bisa sekalian sholat deh :)

Malam itu kedua bolang memesan spicy chicken ramen plus karaage (ayam goreng tepung tanpa tulang) ukuran S.
Ramennya alhamdulillah enyaaak banget! Kuahnya gurih, toping ayamnya empuk dan yummy, mie-nya lembut dan porsinya pun mantabh!
Harga 1000 Yen untuk semangkok ramen dan 300 Yen untuk seporsi karaage pun rasanya worth it banget.
Apalagi kami bisa makan ramen dengan tenang karena dijamin halal ^o^



[ramen halal di Naritaya]


Selesai menyantap ramen, kami pun memutuskan untuk pulang karena hari semakin gelap dan dingin.
City bus yang malam itu membawa kami hingga Kyoto Station pun mengakhiri petualangan dua bolang di Kyoto.

Kyoto, kota yang bersih, asri, kental dengan suasana tradisional dan tentunya semakin bikin betah dengan adanya kedai ramen halal.
Semoga bisa kesini lagi dan menjelajah tempat lainnya di Kyoto.
Amin.

PS : Untuk foto-foto lainnya, bisa dilihat disini.






No comments:

Post a Comment

Are you listening?

 “Kita dianugerahi dua telinga dan satu mulut, bukankah itu berarti kita sebaiknya lebih banyak mendengar daripada bicara?” Saya sering deng...