[Holiday] : Explore Yokohama


Hari Minggu kemarin, seorang teman kita sebut saja di Amel, bukan Mawar apalagi Melati, ngajak main di sekitaran Yokohama.
Sebetulnya rencana hangout bareng ini udah diskejulkan sejak dua minggu lalu, tapi apa daya kemaren-kemaren lagi banyak angin topan yang membuat dua bolang ini membatalkan rencana dan memilih untuk berlindung di rumah daripada kebawa angin ribut.

Selain Amel, ada Agita juga yang pengen ikut ngebolang ke Yokohama. Apalagi Agita udah sering maen ke sekitaran Yokohama, jadi dia bisa kita manfaatkan buat jadi guide bagi sayah dan Amel yang masih newbie soal Yokohama.
*itulah gunanya teman, ya Git*
*ditampol*

Oiya, Amel dan Agita ini salah satu siswa internship alias peserta magang yang berdomisili di Saitama – Jepang. Aku ketemu mereka waktu masih kerja di tempat lama dan kebetulan kebagian ‘ngurusin’ bocah-bocah ini.
Meski udah resign dari tempat lama, tapi pertemanan kita tentunya nggak bakalan terhenti sampai situ donk #caileeh jadinya mumpung lagi pada libur dan sekalian melepas kangen, maka kita pun ketemuan di Yokohama.

[Ketiga bolang yang siap ngubek-ngubek Yokohama; Agita, Me and Amel]



Setelah ketemu Amel dan Agita di Yokohama Station, kami pun langsung ngesot menuju spot-spot terkenal di Yokohama, setelah sebelumnya ketemu dulu sama temennya Amel yang jauh-jauh backpackeran dari Indonesia.

Seperti diceritakan di atas, Ane dan Amel belum tahu jalan di seputaran Yokohama.
*padahal rumah gue sekarang di Yokohama*
*tapi nggak tau jalan*
*maklum, saya anak rumahan* #ALIBI
Sehingga Agita pun jadi guide dadakan di hari itu.

Spot pertama yang kami kunjungi adalah Yokohama Cosmo World, yang selanjutnya disebut Cosmo World.
Untuk menuju Cosmo World, dari Yokohama Station kita bisa ambil kereta JR di jalur Keihin Tohoku Line dan turun di Sakuragicho Station, cukup melewati satu stasiun dengan waktu tempuh 3 menit saja.

Atau alternative lain menuju dari Yokohama Station ke Cosmo World adalah dengan kereta Minato Mirai Line, turun di Minato Mirai Station.

Kalau kita turun di Sakuragicho Station, begitu keluar stasiun kita akan langsung disambut Bianglala atau bahasa kerennya Ferris Wheel yang luar biasa megahnya. Jadi, dijamin nggak bakalan nyasar. Kita tinggal jalan kaki menuju ke arah Bianglala tersebut.



Sebelum menuju ke Cosmo World, rupanya perut Amel berontak minta diisi, apalagi saat itu sudah lewat jam makan siang. Tanpa ba bi bu, ketiga bolang inipun masuk ke salah satu mall di sebelah stasiun untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan dan dinikmati.
Bukan bunga, apalagi rumput tentunya.
Tapi kalau ada cowo ketjeh, bolehlah kita nikmati #EH

Tapi, namanya juga mall gede di lokasi wisata terkenal pulak, pastilah harga makanan tidak murah. Apalagi food court dan area resto di situ berada di lantai atas dengan view kota Yokohama yang keren. Pasti makin mahal dah.
Ketiga bolang yang masih jauh dari tanggal gajian pun akhirnya menyerah dan mengurungkan niatnya untuk makan di mall. Mereka melanjutkan perjalanan menuju Cosmo World sambil menahan perih karena lapar.
*jangan sampe dah bunga-bunga di pinggir jalan ntar dicemilin gegara kelaperan*

Sepanjang jalan menuju Cosmo World, kita akan disuguhi pemandangan spektakuler mulai dari sungai yang jernih, gedung-gedung pencakar langit yang bikin leher pegel, sampai sebuah kapal laut berukuran guedeee dan nggak kalah keren dari kapal bajak laut-nya Luffy di anime One Piece.

Padahal jarak dari stasiun ke Cosmo World hanya sekitar 200 meter dan bisa ditempuh dengan jalan kaki, apalagi disediakan escalator, tapi kami baru tiba di Cosmo World sekitar 30 menit kemudian.
Apalagi kalo bukan gara-gara kebanyakan selfie dan foto-foto spot-spot di situ.
Mulai dari escalator, jembatan, Bianglala dari kejauhan, pot bunga, tangga, sampai di depan kapal laut pun entah udah berapa ratus foto yang diabadikan.
Padahal posenya itu-itu doank, kalo nggak nyengir, pose dua jari, atau pose sok-sok candid-nggak-ngeliat-kamera-bergaya-menerawang-masa-depan.

Kalo nggak inget laper, mungkin ampe subuh deh kita di situ cuma buat foto.


[Camera by Agita, Pengarah Gaya Absurd by Amel]


Cosmo World ini adalah sebuah area yang berisikan berbagai wahana permainan outdoor yang dipisahkan oleh sungai di tengahnya. Yang paling terkenal dan cetar tentunya si Bianglala ukuran raksasa dan jadi ikon Cosmo World. Di bawah Bianglala terdapat wahana Roller Coaster dengan track unyu berwarna pink. Sedangkan disebrangnya ada beberapa wahana sejenis Ontang-Anting (kalo di Dufan), atau sejenis Vertigo (kalo di Trans Studio). Maap ye, nama-nama wahananya lupa.

Selain wahana pemicu adrenalis, ada juga wahana cetek untuk anak-anak. Seperti Jet Coaster mini, perahu dayung/boat race, dan rumah es yang suhu di dalamnya bisa mencapai minus 30 derajat.
“Beuh, di luar aja yang cuma 18 derajat gue menggigil, cuma orang-orang yang nggak ada kerjaan yang masuk ke ruangan bersuhu minus 30 derajat, mana pake bayar lagi.” Protes Amel.

Masuk ke Cosmo World ini tidak dipungut bayaran, tapi jika ingin naik wahana harus beli tiket per-permainan. Untuk permainan cetek harga tiket perorangnya 500 Yen untuk satu kali naik, sedangkan untuk wahana yang lebih menantang harganya 600 Yen.

Sore itu aku dan Amel mencoba uji nyali dengan menaiki salah satu wahana yang diputer-puter sambil naik ke atas dan dibalik 180 derajat. Sorry lupa nama wahananya. Sayah dan Amel mengikrarkan diri sebagai pecinta wahana pemicu adrenalin, jadi dengan songongnya kami pun berjalan dengan tegap menuju pintu masuk wahana setelah membeli tiket dulu tentunya.

Karena Agita paling anti sama wahana yang begituan, beliaw cuma nunggu di bawah aja sambil duduk manis.

Kedua bolang songong ini pun dengan pedenya menaiki wahana tersebut dan dengan excited-nya siap-siap meluncur.
Di putaran pertama akika dan Amel masih sempet ketawa-ketawa dan jerit-jerit kelojotan saking senengnya naik wahana. Apalagi kami udah lama nggak jerit-jerit sampe tenggorokan hampir putus *maklum, stress bertumpuk pemirsah!*



[Dua bolang songong yang sok jago ceritanya mau naik wahana sekalian uji adrenalin]


Karena beberapa putaran awal wahana masih berada di bawah dan hanya puter-puter biasa, aku dan Amel masih bisa menikmati wahana yang kami naiki.
Tapi begitu wahana menukik ke atas dan posisi kami di dalam yang tadinya duduk vertical jadi horizontal, ditambah dengan gaya gravitasi yang menekan dari ujung kepala sampai ujung kaki yang bikin kepala beratnya jadi ratusan kali lipat, Amel yang duduk di belakangku tiba-tiba jadi senyap dan menghentikan teriakan excited-nya, berubah menjadi jeritan histeris di menit berikutnya.

Sebetulnya wahana yang kami naiki itu seru banget, kalo gaya gravitasi yang neken badan bisa dikurangi. Entahlah apa yang bikin wahana itu jadi petaka, padahal masih lebih serem Roller Coaster di seberang.

Begitu wahana berhenti berputar, aku, Amel dan penumpang lainnya turun dari atas wahana. Kulihat wajah Amel pucat bahkan dia jalan sempoyongan. Ibu-ibu yang duduk di belakang kita pun sama pucatnya dan bilang “Tadi serem amaat ya.”

Selain wahana yang bikin sakit kepala dan puyenghai, nampaknya perut kosong dan kelaparan menambah rasa mual kami sore itu.
Dua bolang songong yang tadi sok jago naik wahana, kini tinggalah dua bolang yang kepayahan dan bermuka pucat.
“Pusing pala Betmen!”
*karena pusing pala Barbie udah terlalu mainstream*

“Tuh kaaan, untung gue nggak ikut naik”, celutuk Agita yang menyambut kami di pinggir area wahana begitu ngeliat Amel aduh-aduhan mengeluh pusing.

Daripada melihat Amel tumbang karena kelaparan dan puyeng, kami pun langsung mencari tempat makan di dekat situ.
Karena hanya ada restoran fast food sejenis McD, KFC dan sejenisnya, maka mau nggak mau ketiga bolang pun ngesot ke sana.
Bodo amat lah bosen makan KFC juga, daripada pingsan di jalan.

Setelah perut kenyang dan puas nongkrong, kami pun melanjutkan perjalanan menuju spot berikutnya. Apalagi sekarang Amel udah semangat dan nggak puyeng lagi, jadi ketiga bolang pun jalan dengan riang gembira.
*kayaknya ente mah pusing karena laper, Mel! Bukan karena naik wahana*

Spot berikutnya adalah Yokohama Red Brick, yang sering muncul di drama-drama atau TV Show Jepang.
Dari Cosmo World, kita cukup jalan kaki mengikuti arus jalan dan menyebrang sekali saja. Lebih mudahnya Red Brick ini berada di belakang Cosmo World.

Oiya, selagi berjalan menuju Red Brick kami pun melewati Noodle Museum. Tapi karena nggak ada yang tertarik untuk ke sana, dan hari pun semakin sore, maka disekip dulu ajah.

[Bangunan Red Brick ini isinya restoran *yang nampak mahal*]


Sesampainya di Red Brick, ternyata ruameeeee banget.
Di hari itu kebetulan lagi ada dua event sekaligus yaitu Yokohama Yosakoi Dance Festival dan Yokohama October Fest.
Yosakoi Dance diisi dengan lomba traditional dance dari tiap kelompok, sedangkan October Fest adalah acara bazaar dan festival khusus untuk beer alias mabok berjamaah.
*Astagfirullah*
*lalu berbondong-bondong ikut masuk*

Untuk masuk ke October Fest, kita harus bayar tiket masuk seharga 300 Yen. Tapi begitu tahu kalo isinya bazaar beer dan gue nggak minum beer dan sejenisnya, apalagi ane benci banget bau bir yang bikin puyeng itu, maka sebuah keputusan tepat untuk tidak ikut masuk ke dalamnya.

Ketiga bolang pun cuma foto-foto di sekitaran Red Brick kemudian ngesot menuju pelabuhan yang tidak jauh dari area Red Brick dan October Fest.
Kebetulan di pelabuhan ada satu kapal pesiar yang lagi mangkal. Kapalnya guedeee banget dan akik baru kali ini ngeliat kapal pesiar sedekat itu.
*bawaannya kan jadi pengen berpose Titanic di ujung dek kapal*
*Jack, where are you?*
*udah kelelep dimakan lele mbak si Jack-nya*

Karena di pinggir pelabuhan rame banget sama orang-orang yang kepengen ngeliat kapal pesiar sekalian selfie, maka ketiga bolang pun lama-lama bosan *atau entah kembung masuk angin gegara kelamaan berdiri di pinggir laut*, so kami pun melipir ke pinggir dan nyari tempat duduk.

Karena kebetulan temennya Amel pun lagi ada di sekitar situ, maka kami pun menghampiri mereka dan ngobrol-ngobrol sebentar.

Sayangnya, karena besok akoh harus masuk kerja, jadinya nggak bisa pulang malem. Apalagi ini kaki udah gempor, kepala masih pusing abis naik wahana di Cosmo World, dan perut mulai enek kelamaan di tempat ramai *maklum, introvert akut, energi langsung terkuras kalo dikerubutin orang banyak terus*, jadinya akik pamit pulang duluan.

Sedangkan Amel dan Agita nampaknya masih betah dan bakal nongki di sono ampe gelap sekalian mau ngeliat sunset, apalagi besok mereka libur coz udah ngambil cuti.
Enaknya yang udah dapet cuti, apalah aku mah masih karyawan baru, boro-boro dapet cuti *bakar kantor*.

Setelah dianterin Amel dan Agita sampai jembatan di dekat Cosmo World *padahal udah bilang nggak usah dianterin, soalnya lumayan jauh* dan diwanti-wanti sama Agita soal arah menuju Stasiun *iye iye, gue emang tukang nyasar* kami pun berpisah sore itu.

It was so short, but so fun!
Terima kasih sudah meluangkan waktu kalian sehingga rasa kangenku ketemu temen-temen Indonesia pun terobati.
Semoga bisa hangout lagi dalam waktu dekat ya!!!







[Work] : I miss my old job...


Kemarin salah seorang staff kantor dari Sales Division mengirim e-mail yang berisikan kalo kerjaanku di office Shinjuku bakal selesai hari Jumat ini.

FYI, di kerjaan yang sekarang, meski masih sebagai interpreter dan translator, tapi aku kebanyakan kerja di office perusahaan lain alias nggak berkutat dan duduk di meja kerja office sendiri. Head office perusahaan tempat ane kerja sekarang sebetulnya ada di area Marunouchi, sebelahan sama Tokyo Station. Tapi ya itu, karena yang butuh interpreter itu biasanya klien dari perusahaan lain, jadi akik kerjanya di kantor orang.

Nah, si mbak Sales ini bilang katanya kerjaan di office Shinjuku, di salah satu perusahaan software, selesai di minggu ini. Alasannya karena orang India yang memerlukan translator bakal balik ke negaranya di akhir minggu ini.

Bicara-bicara sama klien sih katanya mereka tetep pengen keep ane di office mereka sebagai translator, tapi pengganti orang India itu baru datang akhir November nanti, yang berarti gue bakal cengo nunggu dan nggak ada kerjaan.

Karena pihak Sales pastinya nggak mau donk gue gak ada kerjaan sedangkan mereka masih teuteup kudu ngegaji ane, untuk itu sembari nunggu pengganti orang India datang, maka gue bakalan ditarik dulu dari office Shinjuku dan pindah sementara ke office atau klien lain yang memerlukan interpreter atau translator.

Jujur, sebenarnya ada rasa lega dan plong gimanaaa gitu saat gue tahu akan meninggalkan office tempat kerja sekarang.
Sebetulnya kalau dari segi lingkungan kerja, nggak masalah sih, orang-orangnya friendly dan nggak pada rese. Ruang kantornya juga nyaman, apalagi ada mesin kopi gretoong yang bisa ambil sepuasnya dengan berbagai macam menu kopi.
*maklum, kalo liat yang gratisan emang suka nggak bisa nahan diri*
Meskipun kualitas kopinya teuteup jauh lah ya sama Setarbak 
#YAIYALAH #YOUTHINK?!

Yang sebetulnya bikin lega bisa pindah dari sini, pertama mungkin dari segi job desk kali ya. Job desk yang sekarang ini rasanya hampa gimanaa gitu *lalu nyanyi bareng Ari Lasso*.
Gue yang biasanya ngomong terus selama kerja *karena interpreter kudu ngomong lah ya*, kini harus berkutat di depan laptop selama 8 jam sehari cuma ngerjain dokumen terjemahan.

Memang sih, akik tipe yang hemat cuap-cuap ngomong, tapi entahlah ya kok rasanya sepi dan hampa aja gitu ketika seharian nggak ngomong sama sekali dan cuma melototin laptop ampe pegel.

Tiap minggu cuma ada satu kali meeting, itu pun cuma 30 menit, dimana kadang gue nggak ngomong sedikit pun *padahal interpreter*, soalnya bapak-bapak Jepang itu udah ngomong pake Bahasa Inggris ke orang India, gue cuman bantuin seperlunya aja. Bener-bener cuma jadi patung arca di ruang meeting dah.

Meeting kelar, balik lagi deh ke meja ngerjain terjemahan dokumen. Gitu terus setiap hari. Bahkan dalam satu hari gue bisa nggak mengeluarkan suara sedikit pun, palingan cuma bilang Selamat Pagi, Permisi, atau pamit pulang.

KRIK KRIK KRIK
Hellooo, anybody is in there?
*kayaknya jangkrik di luar aja masih lebih berisik daripada gue*

Ketika dikasih kesempatan untuk jadi translator Jepang-Inggris, gue seneng donk *meski awalnya ketar-ketir grogol gundah gulali nggak keruan*, karena itu artinya gue punya kesempatan untuk meningkatkan skill Bahasa Inggris dan memperbaiki grammar ane yang amburadul.
Bahkan gue mulai belajar lagi Bahasa Inggris dari awal supaya nggak malu-maluin pas nerjemahin, serta nyoba untuk ikutan tes TOEIC bulan November nanti.

Menurut sayah, belajar Bahasa yang paling afdol adalah dengan banyak bicara alias latihan percakapan, karena percuma kalo teorinya amajing bahkan punya banyak sertifikat kemahiran bahasa, tapi begitu ngomong sama orang asing malah gagap.

Makanya, ketika menyadari kalo kerjaan gue sama sekali nggak ada ngomongnya, gue langsung kurang bersemangat. Gimana mau ngelatih bahasa dan latihan percakapan, kalo tiap hari kagak ngomong apa-apa.
Jangankan Bahasa Inggris, kayaknya Bahasa Jepang gue juga lama-lama karatan.

GASWAT!!!

Aku jadi inget sama rekan kerja di tempat lama.
Dia katanya pernah tinggal di Jepang selama 3 tahun sebagai peserta magang, bahkan dia pun mengantongi sertifikat JLPT level 3, yang artinya kemampuan Bahasa Jepang dia mantap punya donk.

Tapi, begitu diminta buat ngomong apalagi interpreter-in meeting di depan banyak orang, dia nggak bisa. Jangankan ngomong Bahasa Jepang, kadang dia ngomong pake Bahasa Indonesia pun orang-orang susah untuk mencerna isi ucapan dia.
Selidik punya selidik *hasil kepo nanya sama orangnya*, katanya selama di Jepang dia kerja individual, sendiri aja gitu, terima instruksi dari bos, trus ngerjain sendiri. Jarang ada interaksi, percakapan apalagi ngobrol sama orang-orang Jepang di sekitarnya.

Dia bisa dapet sertifikat JLPT ya dari hasil ngapalin dan belajar via teks book, tapi prakteknya dia kurang banget.

DAN GUE NGGAK MAU KAYAK GITU!!!

Meski gue akhirnya berhasil menembus level tertinggi dalam tes kemampuan Bahasa Jepang, tapi gue nggak mau kalo cuma teori, jangan sampai ane jadi gagap dan amburadul ketika ngobrol sama orang Jepang, apalagi saat harus jadi interpreter di sebuah meeting.

Gimana kalo ntar gue ketemu Matsujun trus malah gagap depan dia dan nggak bisa ngomong pake Bahasa Jepang?
Yang ada, si Akang malah bilang gini :
“Ngomong aja masih belepotan gitu lu, apa gunanya itu sertifikat JLPT Level 1? BAKAR AJA! BAKAR, NENG!”

Iyaaa! Caci maki saja diriku bila itu bisa membuatmuuuu,
kembali bersinar dan berpijaaar… *lalu duet sama Duta S07*

*lagian kapan juga situ bakal ketemu Matsujun?*
*tiket konser tahun ini aja gagal dapet*
*aduuuh, plis jangan buka luka lama* #LAPINGUS

Anyway, intinya adalah GUE KANGEN DENGAN KERJAAN YANG DULU.
Meski kadang sering ngeluh *kadang apa sering sik?! Konsisten donk mbaak!*, tapi jujur aku bener-bener cinta sama kerjaanku sebagai interpreter.
Meski kadang pusing harus ngomong sampe berbusa selama berjam-jam, meski kadang suka sebel kalo orang yang gue terjemahin itu rese apalagi bahasa yang dia pake kadang ajaib, meski kadang ngedumel ketika bos ngomong panjang lebar trus minta diterjemahin begitu aja,

Tapi
Tapi,
Aku pengen balik lagi ke kerjaan sebagai interpreter.
Bukan sekadar translator yang cuma duduk depan laptop seharian.

Aku pernah merasa ngiri dengan staff lain yang kerjanya di depan laptop, nggak perlu pusing masuk ruang meeting, nggak perlu ketemu orang-orang ajaib di luar sana.
Tapi sekarang gue tarik kembali kata-kata gue itu!

Mungkin kalo diselidiki lebih dalam lagi, sebenernya gue itu butuh interaksi dengan orang-orang sekitar, mungkin gue merasa kesepian karena nggak bisa berinteraksi.
Karena basic bahasa yang gue punya memang menuntut harus selalu ada interaksi setiap harinya, karena yang namanya bahasa kan lama-lama pudar kalau nggak dipake, meski kita tinggal di negara tempat bahasa asing yang kita pelajari tersebut.

Meski sayah seorang introvert akut yang langsung pusing kalo kelamaan di tempat rame dan paling anti basa-basi sama orang, tapi kalo menyangkut kerjaan nampaknya tetep butuh interaksi rutin ya, terutama untuk menunjang interpersonal dan communication skill yang diperlukan banget dalam kerjaan gue.

Well, semoga di office baru nanti aku bisa mendapatkan job yang lebih suitable buat ane dan nggak stress mojok seorang diri mulu :D





[Work] : Training Karyawan Baru di Jepang


Di Jepang, jika kita diterima jadi karyawan baru, baik itu fresh graduate ataupun pindahan dari perusahaan lain, maka hari-hari pertama kerja akan diisi dengan berbagai macam training.
Lamanya training tergantung dari kebijakan perusahaan itu sendiri, tetapi biasanya makan waktu 3 sampai 7 hari, bahkan ada yang training di luar kota kayak sekalian outbond gitu.

Awal bulan Agustus lalu, aku diwajibkan mengikuti training karyawan baru di tempat kerjaku yang baru. Lama training-nya 7 jam sehari selama 3 hari berturut-turut.

Selama training kita diwajibkan berpakaian formal, pake kemeja lengan panjang plus blazer atau suit style dan bawahan celana formal atau rok untuk perempuan (tapi cewek-cewek yang ribet pake rok kayak sayah bisa pake celana juga).

Bulan Agustus lalu, musim panas lagi ganas-ganasnya menghampiri Jepang terutama Tokyo dan sekitarnya. Pagi-pagi berangkat training aja udah keringetan, padahal masih jam 7-an. Ditambah lagi kudu pakai pakaian formal yang puanaas beud. Jadi kebayang lah ya betapa menderitanya diriku yang benci udara panas ini.

Lokasi training tidak dilakukan di kantor atau head office, mengingat jumlah peserta training cukup banyak sekitar 40 orang dari berbagai cabang kantor, sehingga pihak perusahaan menyewa sebuah ruangan yang biasa dipakai training/presentasi di area sekitar Kinshicho, Tokyo.

Begitu tiba di tempat training, aku disambut oleh beberapa orang panitia serta trainer yang mempersilakan aku untuk duduk di tempat yang sudah disediakan, namun bebas pilih mau kursi yang manapun.
Setelah dapet posisi kursi dan meja yang dirasa cucok, yaitu paling pojok dan paling belakang #nyahahaha, aku pun langsung mengeluarkan alat tulis.

Di meja tertulis instruksi untuk menuliskan nama lengkap (beserta cara bacanya, jika nama kamu menggunakan huruf Kanji) di sebuah kertas, kemudian kertas tersebut dilipat membentuk segitiga dan dipajang di atas meja. Fungsinya adalah agar semua peserta training dan trainer bisa tahu nama kita dan siapa yang duduk di meja tersebut.

Hari pertama training diisi dengan perkenalan dan pelatihan mengenai manner, etos kerja, sopan santun dalam bekerja, dan hal-hal mendasar dalam etika bekerja lainnya. Seperti cara memberi salam, mengangkat telepon, mengirim e-mail, bertukar kartu nama, hingga cara berkomunikasi dengan rekan kerja, senior, dan atasan.

Bahkan ada juga pembahasan Sexual Harassment dan Power Harassment yang kerap kali terjadi di lingkungan kerja. Mulai dari cara mendeteksi gangguan-gangguan tersebut, cara menyikapi, contoh-contoh kasus hingga cara lapornya kalau-kalau ada karyawan yang mengalami gangguan tersebut.

Hebat beud!!!
Ini baru namanya training karyawan baru.
Bukan cuma kerja, kerja dan kerja yang ditekankan dan bikin stress karyawan, tapi etika dan sopan santun yang kadang kita anggap remeh justru jadi materi training yang paling awal diberikan.

Setelah itu, pihak trainer memberikan materi berupa profil perusahaan dan peraturan perusahaan.
Yang ini udah pasti disimak
sambil ngantuk 
#dilempar spidol

Training hari kedua diisi dengan materi Carrier Design.
Intinya, ketika nanti udah masuk kerja, kita nggak cuma kerja pagi pulang sore (atau malam bagi penggila lembur bagai qudaaaa), ngerjain laporan, patuh sama atasan lalu terima gaji setiap bulan.

Pihak perusahaan tentunya kepengen karyawannya berkembang dan punya skil yang baik dan bisa terus diasah.
*pisau kali ah diasah* “ABAIKAN
Untuk itu, pihak trainer memberikan saran supaya kita bisa mengembangkan karir sesuai dengan minat dan keahlian, yang dimulai dengan menganalisis apa minat dan kelebihan yang kita punya, dan memahami kekurangan bisa kita perbaiki.

Di sesi ini sang trainer pun mengajak para peserta training untuk menganalisis situasi dan kondisi di lingkungan kerja, misalnya menganalisis rekan kerja atau atasan kita, bagaimana karakternya, bagaimana cara menghadapinya, serta trik bagaimana supaya kalau suatu saat nanti punya junior atau bawahan, kita bisa ngasih mereka kerjaan dan kepercayaan yang tepat sesuai dengan skill dan karakter mereka masing-masing.

Sekali lagi, gue salut deh sama Jepang!
Belum kerja aja udah diberikan pelatihan kayak begini #TEPOKTANGAN

Selain cuap-cuap ngajar dan memberikan materi, sang trainer juga mengadakan diskusi kelompok, dimana aktivitas diskusi ini lebih banyak ketimbang dia ngasih materi, ibaratnya 20% materi dan 80% diskusi aktif, sehingga nggak ada lagi trainee yang ngantuk-ngantuk di belakang sambil bengong #SAPA TUUH #TUNJUNKDIRISENDIRI dan setiap trainee bisa lebih aktif dalam mengungkapkan pendapatnya sendiri, bahkan berani untuk bicara di depan banyak orang.

Kan ada tuh orang yang kerjanya cuma mangut-mangut aja setuju ketika disuruh diskusi atau takut memberikan pendapat, apalagi bagi fresh graduate yang baru banget menginjakkan kakinya di dunia kerja.

Selain diskusi kelompok, kami pun diajak untuk saling menghargai lawan bicara dan orang sekitar. Salah satu yang paling berkesan adalah ketika dalam kelompokku kita diminta menuliskan setiap kelebihan yang dimiliki masing-masing anggota kelompok.
Padahal baru kenal dua hari, tapi disitulah kita diajarkan harus bisa mengamati orang dan karakternya, melihat dia bukan dari segi negatif dan nyinyirin orang mulu, tapi justru lihat dari segi positifnya dan berikan dia pujian.

Selain itu, kita juga diajak untuk lebih banyak mendengar daripada berbicara, terutama mendengarkan pendapat orang lain. Di sini tiap anggota kelompok akan menceritakan soal dirinya, minatnya, hobi, kesukaan atau apapun itu. Dari cerita dia, nanti anggota kelompok lainnya akan memberikan tanggapan atau pertanyaan.
Nah, kan bisa ketahuan mana yang cuma sok-sok dengerin cerita orang sambil mangut-mangut dan bengong doank dan mana yang bener-bener menyimak pembicaraan orang.

I like this training!!!!

Setelah sesi ini selesai, berikutnya sang trainer meminta perwakilan dari tiap kelompok untuk merangkum apa saja yang tadi dibicarakan dan disampaikan setiap anggotanya, lalu menceritakan kembali di hadapan semua peserta training.
Secara nggak langsung, disini kita dilatih untuk bisa merangkum poin-poin penting dari hasil diskusi, mempresentasikan sesuatu dengan baik serta belajar mengusir demam panggung.

Perwakilan setiap kelompok ini digilir tiap tema diskusi, jadi nggak orang itu-itu mulu yang presentasi, tapi tiap orang pasti dapet giliran dan nggak bakalan lolos. Supaya setiap orang bisa merasakan gimana tegangnya bicara di depan banyak orang yang baru dikenal dan melatih untuk melawan demam panggung.

KEREN!!!

Hari ketiga alias hari terakhir training masih diisi dengan sebagian besar sesi diskusi. Oiya, setiap harinya kita bakal diminta untuk mengambil nomor undian sebelum training dimulai, yang akan menentukan dimana kita duduk dan dengan siapa. Jadi, tiap hari nggak diskusi sama orang itu-itu mulu, tapi kita juga dilatih untuk menghadapi berbagai macam orang dengan karakternya masing-masing.

Di dunia kerja pun kan gitu, bakal banyak karakter orang yang bakal kita hadapi, dan tentunya nggak semuanya nyenengin. Hoho.

Materi di hari ketiga dimulai dengan tata cara berbicara yang baik, apalagi di Jepang memilliki tata bahasa yang berbeda ketika menghadapi orang seumuran, yang lebih tua, bahkan saat menghadapi customer. Jangankan ane yang bukan orang Jepang, bahkan hampir kebanyakan orang Jepang kesulitan di sesi ini.

Yah sama kali ya kayak orang Indonesia yang malah kesulitan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar :D

Sang trainer ampe nyindir : “Kalian orang Jepang bukan siiih? Malu ah!”
Dan gue serta beberapa peserta training dari negara lain cuma bisa nyengir.

Keren ya!
Sampai tata Bahasa pun mereka perhitungkan, padahal kalo di Indonesia boro-boro dapet training kayak begini. Malah gue pernah ketemu ada manager yang Bahasa Indonesianya paraaah, dia ngomong aja kadang gue nggak ngerti.
Ngomong aja masih belepotan, kok bisa orang kayak begini jadi manager. Hahay!

Sesi terakhir diisi dengan menuliskan harapan dan target kita dimasa depan. Dengan skill dan minat yang sekarang dimiliki, apa sih yang mau kamu capai? Kalaupun target kamu masih jauh dari skill yang kamu punya sekarang, usaha nyata apa yang bakal kamu lakukan untuk mewujudkannya?
Lagi-lagi di sini para trainee dilatih agar memiliki target dan tujuan, nggak cuma kerja datang-pulang-terima gaji dan gitu seterusnya sampai pensiun.

Setelah menuliskan target dan ambisi #CAILEH dalam sebuah kertas, rupanya kita diminta untuk keliling ke setiap kelompok dan membaca setiap target dari anggota kelompok lain.
Diharapkan dengan melihat target orang lain, siapa tahu kita bisa lebih termotivasi, atau bahkan yang saat ini belum kepikiran bikin target, bisa jadi salah satu inspirasi.

AMAJING!!!

Training 3 hari berturut-turut selama 7 jam sehari pun tidak terasa sudah selesai.
Rasanya pengen teruuuus training kayak gini, nggak bosen dan malah dapet banyak ilmu sih. Apalagi trainer nya juga asik dan humoris, serta bisa menguasai kelas dengan baik.

Mungkin salah satu rahasia Jepang bisa maju dan para social person-nya bekerja dengan professional adalah karena mereka menerima pelatihan yang begitu baik dan detail seperti ini.
Kapan ya di Indonesia ada perusahaan yang mengadakan training kayak gini?

Dua perusahaan Jepang di Indonesia yang pernah gue ‘singgahi’ sekalipun hanya memberikan training satu hari (itu pun nggak full karena setengah harinya abis buat keliling tempat kerja dan nyobain seragam, hahaa).
Training satu hari itu pun cuma diisi dengan penjelasan peraturan perusahaan, pengertian ISO dan endeswey endesbrey yang sebetulnya nggak usah dijelasin, cukup baca di buku panduan pun bisa.

Justru pelatihan kayak manner, etos kerja, target di masa depan hingga cara menghadapi orang-orang di lingkungan kerja nggak pernah aku dapatkan.
Begitu selesai training satu hari, besoknya dilepas begitu aja kerja seperti biasa, meski sambil cengo karena masih bingung.

Memang sih dari bagian HRD suka ada periodical training, seperti training leadership atau sejenisnya. Tapi, dari beberapa perusahaan yang pernah jadi tempat kerja gue, trainernya cuma cuap-cuap di depan proyektor berisi power point presentasi materi training, dan udah pasti para trainee dengerinnya sambil ngantuk, apalagi kalo training-nya diadakan setelah makan siang, sekitar jam 2-an, perut kenyang trus dikasih dongeng yang mendayu-dayu di dalam ruangan ber-AC, dalam hitungan menit udah ada di alam mimpi deh #PENGALAMAN #HAHA

Oiya, di tempat kerjaku yang dulu ada sih yang ngadain training yang menurutku bagus banget, yaitu Training Business Manner dengan berbasis pada manner-nya orang Jepang, karena mereka perusahaan Jepang. Training-nya juga nggak cuman sekali dan angin-anginan, tapi dilakukan rutin beberapa bulan sekali, supaya bisa me-refresh para karyawan dan nggak cuma sekadar angin lalu.

Baidewey,
selidik punya selidik, ternyata kalau kita mau mendapatkan pelatihan lengkap kayak ceritaku di atas dengan biaya sendiri, bisa memakan biaya hingga 3 juta rupiah perorang lho!
Set dah!

“Perusahaan sangat menghargai karyawannya dan mengganggap kalian adalah aset yang berharga, sehingga mereka rela mengeluarkan biaya besar untuk training karyawan ini agar bisa membentuk karyawan yang baik secara etika dan unggul dari segi kemampuan.”
Itulah kalimat penutup dari Mbak Trainer yang gokil abis dan sering menyelipkan cerita lucu disela-sela beliau memberikan materi pada kita.





[Work] : kerjaan baru

Meski sudah resmi keterima di kantor baru, aku masih belum dikasih kerjaan tetap. Selama beberapa minggu di kantor baru, tepatnya di Headoffice, kerjaan ane cuma ngurusin beberapa dokumen dan prosedur karyawan baru kayak asuransi, pensiun, MCU, perpanjang visa dan residence card, serta training karyawan baru.

Di awal bulan September lalu, pihak staff kantor dari bagian Sales menghubungiku dan bilang kalau ada sebuah perusahaan software di sekitaran Shinjuku lagi memerlukan penterjemah.

Perasaan di sekitaran Shinjuku belom pernah denger ada perusahaan yang kerjasama sama Indonesia sehingga perlu penterjemah Indonesia-Jepang. Atau memang ane kurang gahol kali ya?
Lagian Shinjuku kan luas dan puadeeeet banget sama gedung kantoran, jadi yaa mungkin aja ada perusahaan yang kerjasama sama Indonesia nyelip di antara mereka.

Karena mulai jenuh gegara job desk belum jelas juga, akhirnya aku mengiyakan tawaran staff Sales yang bernama Ogawa-san dan pergi menuju Head office untuk janjian sama beliau dan staff lainnya.

Rencananya hari ini aku, Ogawa-san dan seorang staff bakalan menuju kantor klien di Shinjuku yang memerlukan penterjemah tersebut.
Begitu tiba di head office, Ogawa-san bilang kalo klien yang hari ini bakal dikunjungi memerlukan penterjemah Bahasa Inggris⇔Jepang.

What....WAIT!!!
Sebentar nona!
Enyong bilang penterjemah English?

Belom sempat aku mencerna kata-kata si Mbak Ogawa, apalagi menolaknya, dia udah langsung ngasihin data diri gue buat diapalin buat ntar disampaikan di depan klien, in English of course beibeh.

"Oiya, ntar klien kita yang butuh penterjemah itu orang India. Dia cuma bisa ngomong bahasa Inggris, jadi ntar kamu yang nerjemahin ke Bahasa Jepang." tambah Ogawa-san.

Dan sayah makin cengo.

Yaowloooo!!!
Jadi penterjemah pake bahasa Indonesia aja gue masih belepotan dan masih banyak salahnya.
Ini "dipaksa" jadi penterjemah English dan Japanese yang notabene dua-duanya bukan bahasa asli negara gue sendiri.

Yakali kalo cuma percakapan sehari-hari pake bahasa Inggris mah gue bisa lah ngeles-ngeles sedikit.
Lha ini gue kudu nerjemahin bahasa teknik yang berkaitan dengan per-IT-an dan per-software-an, yang bahkan dalam bahasa Indonesia-nya aja gue kagak ngarti.
Ditambah lagi nerjemahin orang India.

Komplit banget ya "penderitaan" gue.

Orang India kan logatnya kentel banget kalo ngomong English, mana mudeng lah akika. Yang ada ntar bukannya nerjemahin dia, gue ajak joget puter-puter pohon di Shinjuku atau nonton bareng Jodha Akbar aja lah.

Dari dulu gue selalu nolak kerja bareng orang India, bukan karena rasis, tapi emang menghindar aja karena masih bingung gimana harus berinteraksi sama mereka dengan menyesuaikan budaya mereka. Apalagi aku suka nggak ngerti kalo mereka ngomong English.

Karena gue selalu menghindari orang India, pada akhirnya malah dikasih klien orang India tulen.
Itulah karma 😂

Akhirnya, karena gue nggak mungkin nolak perintah atasan dan senior, apalagi gue orang baru, ntar disangka songong dan nggak butuh gaji, jadinya dengan berat hati dan dag-dig-dug, gue pun menuju Shinjuku bersama kedua temen kantor.

Oiya, sebelum cuss menuju kantor klien, aku sempet disuruh latihan dulu buat mengenalkan diri dan pengalaman kerja pake bahasa Inggris bareng salah seorang staff Jepang yang jago banget bahasa Inggrisnya.
*Kenape nggak elu aja yang jadi penterjemahnye, mbak?*
*Seret dia ke kantor klien*

Setahun tinggal di Jepang, boro-boro latihan ngomong pake bahasa Inggris, jadinya English gue belepotan naujubileh saat latihan. Istilah-istilah perkantoran yang umum aja kayak Business Trip, Purchase, Graduate from University, arrangement hotel and ticket, SEMUA BUYAR dan LUPA. Yang keluar malah bahasa Jepangnya.

Karena mindset ane di setting buat ngomong bahasa Jepang setiap harinya, jadilah si English kagak mau muncul dan tersendat di tenggorokan.
Beginilah jadinya kalo tiba-tiba ditodong kudu ngomong pake English yang isinya Business Conversation, apa kabar nanti pas ketemu klien.

Kembali ke TKP.

Begitu tiba di kantor klien, kita ketemu dengan dua orang klien Jepang, dan beruntung hari itu orang India-nya lagi nggak ada.
Itu artinya GUE NGGAK USAH NGOMONG PAKE BAHASA INGGRIS!!!
*nari-nari di atas meja office*

Karena cuma orang Jepang yang hadir di meeting sama klien hari itu, so gue cukup pake bahasa Jepang untuk memperkenalkan diri dan approach pengalaman kerja. Dalam hati, semoga klien ini nggak percaya sama gue kalo gue bisa jadi penterjemah English mereka, jadinya gue nggak akan diterima jadi penterjemah di sini dan nggak usah susah-susah ngomong pake English.
Serta serentetan pikiran plus keinginan negatif lainnya.

Ketika ngobrol dengan klien, salah satu dari mereka ternyata pernah ke Indonesa, bahkan dia kaget begitu tahu aku berasal dari Bandung, karena dia juga pernah ke Bandung, tepatnya ke ITB (Institut Teknologi Bandung).
Trus, klien satunya lagi rupanya pernah kerjasama dengan salah satu tempat kerjaku dulu, yang otomatis bikin dia juga surprise.

Entah memang udah ditakdirkan, entah si klien merasa aku punya kesamaan dengan mereka gegara kebetulan di atas, atau entah mereka udah putus asa buat nyari penterjemah, tanpa disangka tanpa dinyana MEREKA MENERIMA SAYAH JADI PENTERJEMAH di kantor mereka.

Duh Gusti,
harusnya gue bersyukur ya, dapet tempat kerja yang bagus dan bonafit, klien yang baik pula, tapi kok malah serentetan perasaan nggak enak yang menghinggapi diri ini #HALAH.

Setelah klien menyetujui dan mulai menyusun schedule kerjaku di tempat mereka nanti, kami pun pulang.
Staff Sales pulang dengan riang dan gembira karena itu artinya dia dapet klien dan dapet pemasukan. Sebaliknya, aku pulang dengan penuh perasaan cemas.

Jadi penterjemah itu berat, beud!
Apalagi di bidang IT dan software yang pertama kali aku lakoni.
Apalagi kudu pake English.

Karena tuntutan kerjaan baru inilah, mau nggak mau aku mulai menata hidup bahasa Inggrisku. Mulai belajar lagi dari nol, perbaiki grammar yang acak-acakan, latihan conversation dan listening tiap hari, dan nulis diary pake bahasa Inggris buat melatih writing karena kerjaan kali ini lebih banyak nerjemahin dokumen ketimbang cuap-cuap.

Aku yang biasanya manja kalo nonton film barat kudu pake subtittle, sekarang mau nggak mau nonton tanpa subtittle buat melatih listening dan pemahaman.
Karena biasa pake subtittle, awalnya berat beud ketika harus nonton film atau drama seri western tanpa teks. Jangankan film, bahkan nonton kartun Donal Bebek sama Mickey Mouse aja kening gue ampe berkerut-kerut gegara kagak ngarti. Haha.

Practice makes perfect.
Gue percaya banget itu.
Segalanya butuh proses, nggak ada yang instant.
Bahkan bikin mie instant aja perlu proses tiga menit^^
Untuk itu gue nggak mau menyerah, meski berat tapi kalo gue bisa melewati ini, pasti hasilnya pun akan sepadan.

Gue merasakan berat banget hari-hari dan minggu-minggu awal saat jadi penterjemah English-Japanese. Gue kangen nerjemahin pake bahasa Indonesia-Jepang yang tinggal meluncur keluar dari mulut tanpa harus menyusun tata bahasa dan nyari-nyari kosakata.

Bahkan ketika nerjemahin dokumen ke dalam bahasa Inggris, gue masih butuh banyak advice dan hasil terjemahan gue buanyaak banget yang dikoreksi.
Dan tau nggak siapa yang ngoreksi? Bukan bule Amerika atau Eropa, bukan juga orang India, tapi orang Jepang yang jadi klien gue sendiri!

Disitulah saya merasa kalo English gue memang perlu diperbaiki dari nol, dari dasar, pokoknya belajar belajar dan belajar lagi.

Meski berat, tapi entah kenapa aku menikmati proses ini.
Rasanya kayak lagi belajar bahasa Jepang di awal-awal jaman kuliah dan ketika debut pertama kali jadi interpreter.

Karena akik paling males belajar lewat buku teks, waktu awal-awal belajar bahasa Jepang gue tontonin semua film, drama, acara TV (90% yang berhubungan sama Arashi sih...haha) bahkan sampai berulang-ulang. Baca komik, majalah, sampai artikel nggak penting. Dengerin musik bahkan sampai acara radio gue jadiin lagu ninabobo sebelum tidur. Pokoknya tiada hari tanpa bahasa Jepang lah.

Bedanya kali ini semua itu pake bahasa Inggris.
Untungnya gue "nemu" drama sitcom Friends yang bisa gue tonton buat belajar bahasa Inggris, dramanya juga menghibur banget, apalagi ceritanya ringan dan seputar kehidupan sehari-hari.
Iye-iye, itu drama seri juaduuuul banget, tahun 1994, tapi akika sukaaaakkk dan akhirnya jadi kecanduan nonton itu.

Well, meski masih banyak yang perlu dilatih dan dipelajari, dan aku juga nggak tahu sampai kapan klien gue butuhin penterjemah di tempat mereka, tapi selama gue dikasih kesempatan buat belajar, kenapa nggak.
Paling tidak coba dijalanin dengan ikhlas aja.

Dan jangan lupa senyum 😃


[Slice of Life] : pengalaman berharga

Setelah akhir bulan Juni lalu aku resmi keluar dari tempat kerja yang lama, maka aktivitas menyambut kerjaan baru pun dimulai di bulan Juli.
Setelah keterima di tempat kerja baru, rupanya nggak langsung cuss kerja masuk kantor seperti yang dibayangkan.

Pihak kantor baru menyatakan kalo aku bakalan resmi start kerja di tempat mereka per tanggal 1 Agustus, so selama sebulan akupun nganggur alias cengo nggak ada kerjaan.

Seneng?
Dapet banyak libur?

Ndasmuuu!

Yakali kalo nganggurnya di Indonesia, masih bisa leha-leha dan santey-santey selama sebulan.
Kalo di Jepang, yang ada mati kering, bok!
Apalagi selama sebulan ane kagak punya pemasukan.

Kalo di Indonesia mungkin masih bisa bayar kosan, jajan, makan, bahkan nge-emol atau nongki di coffee shop dari uang tabungan atau uang yang diterima pas kita resign dari tempat kerja lama (kalo ada).
Atau kalo nggak cukup bayar kosan, bisa pulang kampung.
Tapi di Jepang, uang segitu palingan cuma cukup buat makan seminggu.
Yang paling bikin urat leher putus sih bayar apartement kali ya. Nggak dibayar takut diuber sama debt collector *mana di negara orang lagi, yang ada ntar ane didatengin Yakuza*, tapi kalo dibayar apa kabar hidup gue sebulan ke depan. Mau makan apa? Nyabutin bunga di taman buat dijadiin lalapan?

Belom lagi buat bayar listrik, gas sama air yang nggak cukup cuma dengan beberapa ratus ribu rupiah apalagi dengan token.
Ditambah biaya internet, karena di Jepang internet udah kayak oksigen; No internet --> lo mati gaya broh! Semua serba pake internet dan kudu online, dan lagi kan kudu tetep terkoneksi sama orang rumah di Indonesia sono.

Akhirnya, selama nunggu masuk kerja di kantor baru, mau nggak mau akik harus nyari kerja part time demi memenuhi kebutuhan hidup, sekalian mencari segenggam beras dan seember berlian #AHZEG

Setelah nyari part time kesana kemari yang bersedia menerima orang asing dan bisa kerja dalam jangka pendek (kurang dari sebulan), akhirnya aku nemu perusahaan outsourcing yang bisa jadi perantara buat dapet kerja part time, kerjanya pun bebas pilih hari. Mau cuma sehari atau beberapa hari, mau hari apapun dan jam berarapun bisa diseusuaikan dengan kebutuhan.
Honornya pun lumayan lah bisa menopang hidup sebulan ini.

Baidewey, nyari part time untuk orang asing di Jepang rupanya nggak gampang. Dari puluhan tempat kerja mulai dari pabrik, gudang, jasa transport, restoran fast food, supermarket/minimarket, hingga restoran udah ane coba, tapi hasilnya cuma sedikiiit banget yang mau menerima orang asing.

Minimarket kayak Lawson atau Sevel bersedia nerima orang asing sebagai part timer di tempat mereka, tapi minimal untuk 3 bulan atau lebih. Nggak bisa bentaran. Biasanya mahasiswa asing yang kerja part time di sini.
Sedangkan restoran fast food kayak Burger King bisa nerima orang asing, cuman syaratnya kudu punya sertifikat JLPT Level 1 (Japanese Language Proficiency Test) buat kerja part time di sana.
Anjaaay, Burger King songong amiiir beud!
Cuma kerja jadi waitres aja kudu punya JLPT Level 1. Yakali kalo gue punya JLPT Level 1, mending ngelamar jadi interpreter aja, gaji oke kerjaan juga jelas. Hoho.
*ikutan songong*
*mentang-mentang baru lulus JLPT*

Anyway, akhirnya aku dapet kerja di sebuah gudang produsen baju yang namanya udah nggak asing buat pecinta branded Jepang, Uniqlo.
Di sini tugasku picking dan packing produk-produk Uniqlo yang dipesan online oleh customer.

Selama beberapa minggu, tapi nggak rutin tiap hari karena akik kadang males kumatnya, aku pun mendapatkan penghasilan dari kerja part time.
Nampak ringan dan santey kan kerjanya?
Ternyata kenyataannya berat beud.
Selama 7 jam akik kudu terus berdiri, bahkan jalan keliling gudang yang luasnya naujubileh buat picking alias ngambilin produk-produk Uniqlo berdasarkan list order dari rak, masukin ke troley atau keranjang lalu di packing.
Bayangin aja, jalan tanpa henti sambil dorong-dorong trolley empat tingkat ngelilingin gudang selama 7 jam nonstop.

Hari pertama part time, betis gue berasa mau meledak dan pegel tingkat khayangan.

Aku salut dan kagum banget buat temen-temen yang setiap hari kerja dan harus berdiri/berjalan berjam-jam lamanya.
*sun tangan*

Alhamdulillah, setelah 3 hari berjalan, kaki dan badan udah mulai bisa beradaptasi meski langsung tepar begitu nyampe rumah.
Apalagi ditambah saat itu lagi musim panas, gudang nggak ada AC-nya, cuman kipas angin yang disimpen di beberapa titik gudang aja *mana kerasa laaah*

Selama masa-masa part time inilah aku mendapat banyak pelajaran dan pengalaman berharga.
Betapa beratnya nyari kerja dan mengumpulkan uang demi menyambung hidup, apalagi di negara orang yang notabene-nya jauh dari orang tua, kalo nggak ada duit mau pinjem ke mana, cuma diri sendiri yang bisa diandalkan.

Aku bahkan pernah merasakan berada di titik terendah dan bener-bener di ujung tanduk.

Ceritanya, hari itu aku dapet kerja part time di gudang Seven Eleven, yang tugasnya memilah-milah produk Sevel sesuai orderan di online shopping mereka.
Hari itu aku bener-bener nggak punya uang karena honor part time belum ditransfer.
Uang di dalam dompet cuma cukup buat beli onigiri 2 biji buat makan siang dan ongkos pergi ke tempat part time.
Lha, pulangnya begimana? Dari rumah ampe tempat part time lumayan jauh, kudu dua kali naik kereta dengan durasi waktu sekitar 1 jam, belum lagi ditambah naik bis dari stasiun sampe gudang.

Tapi, karena kebetulan hari itu adalah hari gajian *kerja part time ane dibayar seminggu sekali setiap Selasa*, maka aku pikir ya udah ntar siang atau paling lambat sore pun honor udan ditransfer, so akik bisa narik uang di ATM minimarket buat ongkos pulang.

Begitu makan siang, aku pun ngecek notifikasi dari pihak outsourcing buat ngeliat honorku udah di transfer atau belum.
Anehnya, meski berkali-kali kucek, honor belum masuk juga.
Setelah ngulik aplikasi part time dari outsourcing tersebut, akhirnya ketahuan bahwa minggu ini bertepatan dengan libur panjang musim panas di Jepang yang artinya bagian keuangan libur selama beberapa hari dan otomatis honorku pun baru akan ditransfer minggu depan.

MAMPUS!!!

Sisa uang di dompet tinggal 200 yen, IC Card buat bayar tiket kereta pun belom diisi, sisanya tinggal 700 yen, sedangkan untuk nyampe rumah diperlukan 900 yen lebih, belum kudu naik bis, bener-bener nggak punya uang!
Apa kabar gue pulang ntar?!

Disaat itulah aku berharap ada Doraemon mau minjemin pintu kemana saja.

Akhirnya, dengan lunglai aku pun pasrah nerima keadaan.
Pulang ntar jalan kaki ampe gempor deh.
*elus-elus betis*

Tepat jam 18:00 kerja part time selesai.
Dan aku cuma bisa memandang nanar pada orang-orang yang ngantri untuk naik bis di ujung halte sana.
*lempar granat ke halte*

Biasanya naik bis sampe stasiun terdekat cuma makan waktu sekitar 17 menit, tapi kalo jalan kaki bisa ampe 50 menit.
Itu pun baru perkiraan dari google map Jepang yang ngambil rata-rata kecepatan jalan orang Jepang *tau donk orang Jepang jalannya grasak-grusuk kayak gimana*, itu artinya kalo gue yang jalan kali bakalan memakan waktu 1 jam lebih.

Wokeh!
Singsingkan lengan baju, mari kita jalan kaki selama 1 jam sampe stasiun!
Untungnya hari itu cerah, angin juga lumayan sejuk, dan matahari sudah tenggelam yang berarti nggak terlalu panas.

1 jam lebih kemudian, akhirnya gue tiba di stasiun dengan selamat.
Alhamdulillah.
Disitu akik keingetan kalo masih punya saldo 400 yen di ATM, itu artinya masih bisa naik kereta ampe rumah.
Hebatnya ATM di Jepang, ngana bisa narik uang di ATM hingga saldo 0 alias ampe recehannya, tapi dengan syarat kudu di ATM dengan bank yang sama tempat ngana nabung.

Sayangnya, uang recehan nggak bisa diambil lewat ATM minimarket, karena minimal nominal yang bisa ditarik disana adalah 1000 yen.
Dan sayangnya lagi, di deket stasiun nggak ada ATM bank tempat ane nabung, jadi ya udahlah babay deh.
*elus-elus betis lagi*

Begitu nyampe stasiun, gue menghitung jumlah saldo di IC Card dengan uang di dompet, jika dihitung-hitung totalnya ada 920 yen.

Tapiiii, uang yang diperlukan untuk benar-benar nyampe ke stasiun dekat rumah adalah 940 yen.
Di saat itulah aku merasa bahwa uang 20 yen (sekitar 3000 rupiah) AMAT SANGAT BERHARGA.

Yaowlooo, dimana gue bisa nemu uang 20 yen aja? Adakah uang jatoh di sekitar sini?
Apa gue kudu ngamen di bis atau dagang Aqua di dalam kereta?

Setelah tung-ngitung dan puter otak sambal ngeliat rute kereta, akhirnya gue dapet ide.
Jadi gini rencananya, dari tempat part time sampe rumah ane kudu ngelewatin 10 stasiun, tapi kurang 20 yen. Untuk itu, gue akan turun di stasiun ke-8 menggunakan IC Card, keluar stasiun lalu jalan kaki menuju stasiun ke-9.
Begitu tiba di stasiun ke-9, gue akan beli tiket kereta dengan sisa uang di dompet menuju stasiun ke-10.

Terdengar mudah dan cetek?
Cetek karena cuma jalan SATU stasiun ajeh?

NDASMUUH!

Kalo stasiun di Tokyo sih palingan makan waktu 20-30 menitan untuk mencapai stasiun berikutnya dengan jalan kaki.
Tapi ini di SAITAMA bok!
Daerah yang sebagian besar isinya sawah dan kawasan industri yang luasnya naujubileh.
Kalo biasanya hanya perlu 5 menit untuk melewati satu stasiun, maka kalo jalan kaki bakalan perlu 45 menit!
Itu buat jalan kakinya orang Jepang.
Gue?
Ya nggak usah ditanya lah ya.
Ditambah lagi ini musim panas.
Baju gue udah basah ama keringet dan bau asyeem.
Mana udah larut malam pulak, untungnya Jepang aman sih, tapi ya teuteup aja rada was-was.
Incess kan nggak biasa jalan sendiri malem-malem, apalagi ngelewatin sawah dan sungai.
*halah, palingan juga dicegat orang-orangan sawah sama burung gagak*

Setelah tadi jalan kaki selama satu jam, sekarang gue kudu jalan kaki lagi satu jam lebih.
Total malam itu gue jalan kaki dua jam lebih (karena dari stasiun ampe rumah masih kudu jalan lagi 10 menit).
Saking pegelnya, kaki bukan sakit lagi, tapi udah kebas.
Bukan lagi waktunya elus-elus betis, tapi kayaknya betis gue udah lepas ini mah.

Begitu nyampe Stasiun Kumagaya yang artinya gue bentar lagi nyampe rumah, rasanya BAHAGIA TIADA TARA YAOWLOH!
Berasa udah seabad nggak menginjakkan kaki di Kumagaya.
Kalo nggak ada orang, rasanya pengen gue sujud syukur di stasiun, tapi gue tahan karena gue nggak mau dideportasi dari Jepang cuma gegara dianggap gila.

Dari pengalaman itu, gue jadi sadar betapa uang sekecil apapun sangat berharga. Kurang 20 yen aja bisa jadi petaka buat ane.
Sejak saat itu gue jadi lebih menghargai uang apalagi yang didapat dari kerja keras sendiri, mulai memakai uang secukupnya karena 10 atau 20 yen pun amat sangat berharga, mencoba nggak boros dan nggak beli ini-itu cuman karena laper mata.

Selain pelajaran berharga soal berhemat, akik juga dapet pelajaran berharga bahwa ternyata gue kuat jalan kaki selama dua jam lebih!
Muahahaha!

Semenjak itu, kalo pergi-pergi dan harus jalan kaki, misalnya jalan kaki sekitar 30 menit, akik yang dulu bakalan males dan langsung nyari bis, sekarang yang ada malah bilang,
“Halah, cuman 30 menit. Gue pernah jalan kaki dua jam. Ini mah cetek!”
*songong nggak sembuh-sembuh ye*
Haha.

Tapi beneran, jadinya nggak manja-manja maniez lagi, karena apalah artinya jalan kaki 30 menit di siang hari yang cerah dan sejuk, dibandingkan jalan kaki DUA JAM lebih di malam gelap seorang diri dengan temperature hingga 30 derajadh!

Terima kasih Ya Allah, sudah memberikan hambamu ini pengalaman dan pelajaran berharga. Aku nggak bakalan boros-boros uang lagi, meski cuma beberapa yen tapi aku bakalan gunakan uang sebaik-baiknya.
Misalnya, buat beli kopi di coffee shop…nyehehehe.
*disambet petir*

*inget woi! Hemat wooi!*




Are you listening?

 “Kita dianugerahi dua telinga dan satu mulut, bukankah itu berarti kita sebaiknya lebih banyak mendengar daripada bicara?” Saya sering deng...