[Slice of Life] : pohon maple dan cemara yang sedikit basah

Seorang teman kuliah yang “berjasa” mengenalkan aku dengan Arashi tiba-tiba mengabarkan kalau dia lagi di Jepang.
Entah karena dia memang lagi berlibur atau ada tujuan lain, yang pasti dia lagi di Jepang.
Anehnya dia tidak mengabarkan apapun sebelumnya, tahu-tahu sudah ada di Jepang.
Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan bertemu sahabat, aku pun janjian dengannya di suatu restoran/café.

Sebuah tempat yang bernuansa kental dengan adat tradisional Indonesia, mungkin lebih ke Jawa atau Bali, adalah tempat yang kami pilih untuk janjian ketemuan.
Tempat itu berupa sebuah rumah berukuran sedang, dengan beberapa kursi dan meja untuk para pelanggan seperti kebanyakan restoran pada umumnya. Kursi dan meja semua terbuat dari kayu jati seperti yang sering kita lihat di rumah-rumah tradisional ala Jawa.
Di dalam restoran itu banyak sekali tanaman yang menghiasi ruangan, dan hampir semua tanaman yang sering ditemui di halaman rumah di Indonesia.

Saking banyaknya tanaman hias, bahkan untuk lewat dan duduk pun agak susah.
“Restoran macam apa ini, mau duduk aja susah, banyak tanaman ngalangin lagi”, keluhku dalam hati sambil menggeser salah satu kursi agar aku bisa duduk.

Setelah mendapatkan posisi duduk yang nyaman, aku pun langsung membuka-buka buku menu yang tersedia di meja.
Entah makanan apa yang waktu itu kupesan, aku tidak begitu ingat, aku langsung memanggil pramusaji dan menyebutkan beberapa nama makanan yang kupesan.

Karena makanan yang kupesan tak kunjung datang, dengan penasaran aku langsung menuju dapur dan mengatakan kalau pesananku belum datang, dimana aktivitas ini amat sangat aneh dan biasanya tidak kulakukan.
Selama apapun pesanan kita tidak datang, seumur hidup aku belum pernah sampai menyusul ke dapur untuk memastikan pesanan :D
Di dapur kulihat satu orang wanita yang usianya sekitar 60an sedang memasak dan seorang pria usia 40an yang sedang menyiapkan sebuah sajian masakan berkuah.

Setelah menyampaikan keluhanku, aku pun kembali ke tempatku semula, dan lagi-lagi mengalami kesulitan untuk menggeser tempat duduk karena banyaknya tanaman hias di sekeliling.
Anehnya, meski saat itu harusnya aku janjian dengan temanku, tapi aku belum melihat dia di sekitar tempat dudukku.
Lagi-lagi karena penasaran, aku berjalan mengelilingi ruangan restoran dan menemukan temanku sedang duduk sendiri di meja lain yang arahnya berlawanan dengan tempat dudukku.

Kulihat dia seperti sedang membaca novel, dan tersenyum ketika melihatku menghampirinya.
“Mending duduk sebelah sana aja yuk, di tempatku. Kita bisa sekalian ngobrol daripada duduk misah gini”, ajakku.
Sebuah percakapan yang menurutku aneh, karena seharusnya dari awal kita duduk bareng karena memang dari awal kita janjian ketemuan.
Tapi kenapa masing-masing duduk terpisah, padahal tidak sedang musuhan.

Tanpa mengatakan apa-apa, temanku beranjak dari kursinya dan tersenyum sembari mengekor di belakangku menuju tempat dudukku.
“Tadi aku udah mesen, tapi karena belum datang juga, aku susulin ke dapurnya, kayaknya mereka masih repot nyiapin makanan. Kamu juga pesen aja dulu”, ucapku selagi berjalan menuju tempat dudukku.

Temanku lagi-lagi hanya tersenyum dan mengangguk tanpa berkata sepatah katapun.

Setelah itu, aku tidak ingat lagi apa yang terjadi.

Karena tiba-tiba sekelilingku berubah, yang tadinya sebuah restoran aneh kini menjadi sebuah ruangan terbuka.
Aku berdiri di suatu tempat terbuka yang di sekelilingnya tumbuh banyak pohon maple dan cemara.
Pohon-pohon maple itu daunnya sudah berubah warna menjadi kuning kemerah-merahan pertanda kalau saat itu adalah musim gugur.
Pohon-pohon cemara dan rerumputan di sekelilingnya nampak sedikit basah, pertanda kalau beberapa saat yang lalu hujan turun.

Aku sedang di Jepang, pikirku.
Tidak tahu apa yang membuatku berpikir seperti itu, tapi dengan suasana dan pemandangan di sekelilingku saat itu, aku yakin kalau aku berada di Jepang.
Selama beberapa saat aku hanya berdiam diri, memandangi pohon maple dan cemara di sekelilingku dengan udara yang sedikit berkabut di depanku.

Panggilan seseorang dari kejauhan membuyarkan lamunanku.
Ketika aku menoleh untuk melihat siapa yang memanggil, rupanya Ibu yang ada di belakangku.
Lagi-lagi entah karena apa dan kenapa, Ibuku kebetulan sedang berada di Jepang, yang tentunya akan sangat aneh karena jangankan pergi ke Jepang sendiri, passport saja belum bikin.

Aku hanya berdiri mematung sambil menunggu Ibu mendekat ke arahku.
Ibu cerita kalau dia sedang jalan-jalan sambil mengambil foto. Tapi sayangnya, karena jalan-jalan sendiri ia tidak bisa mengambil fotonya sendiri, karena Ibuku bukan anak 4L4Y yang jago selfie.

Sambil mendengarkan cerita Ibu, aku mengambil telepon genggamku dari saku dan mulai memotret Ibu dengan latar pemandangan pohon maple dan cemara yang sedikit basah.
Setelah puas memotret, kami pun berjalan berdua menelusuri pepohonan.
Katanya Ibu ingin mengunjungi tempat tinggalku, tapi aku diminta pergi duluan karena beliau mau membeli sesuatu dulu di minimarket.

Aku pun pulang duluan ke apartment dan sedikit terkejut menemukan apartmentku jauh dari bayanganku semula.
Tempatnya sempit, agak kotor dengan banyaknya baju dan jemuran menggelantung dimana-mana, yang membuatku sibuk membereskan seisi kamar dengan buru-buru karena tidak mau Ibu melihat tempat tinggalku yang menyedihkan seperti ini.

Memang sih, apartmentku yang sekarang tidak bisa dibilang mewah dan gorgeous #HALAH,
tapi tentunya tidak sebuluk dan semenyedihkan yang kulihat sekarang.
Minimal kamarnya cukup luas untuk ditempati beberapa orang, dengan kasur dan meja yang rapih tertata tanpa adanya jemuran yang berserakan dimana-mana.
Selagi membereskan baju yang berserakan, aku melihat Ibuku sudah ada di depan pintu.
Kubukakan pintu untuknya agar ia bisa masuk.
Tanpa berkata apapun, Ibuku masuk ke dalam apartment.

Sambil masih membereskan baju, aku bertanya pada Ibu, “sampai kapan di Jepang?”
“Besok pulang”, jawabnya pendek.
Aku langsung menunjukkan ekspresi kecewa.
Padahal baru beberapa saat yang lalu aku bisa bertemu dan ngobrol dengan Ibu, tapi besok ia harus pulang.
Ibu bilang sudah seminggu ia disini dan harus kembali karena ada pekerjaan.

Rasanya aneh, sudah seminggu di sini tapi kenapa baru sekarang kami bisa bertemu?
Apakah karena aku terlalu sibuk bekerja sehingga selama seminggu kemarin ia melewati waktunya di Jepang seorang diri tanpa sempat kutemani?
Padahal kalau tahu Ibu akan ada di sini selama seminggu, aku pasti akan meninggalkan semua pekerjaanku dan menemaninya.
Apalagi ia sampai jauh-jauh ke Jepang.

Rasanya aneh
dan sedih.


Setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi.
Entah Ibu benar-benar kembali, entah kami memang benar-benar sedang di Jepang,
dan satu lagi,
entah apa yang terjadi dengan temanku sebelumnya.

Aneh.
Memang, karena semua itu hanya mimpi.
Itu mimpiku tadi malam.

Seperti yang pernah kuceritakan sebelumnya, hampir setiap malam aku selalu memimpikan orang-orang dekatku.
Dan dua orang inilah yang paling sering muncul di mimpiku.
Yang anehnya aku selalu bisa mengingat mimpiku dengan jelas, bahkan hingga siang ini semua masih berbekas.
Tidak hanya wajah dan ekspresi mereka, bahkan suasana dan latar pemandangan pun masih teringat dengan jelas.

Iya.
Aku rindu kalian.
Aku ingin bertemu dengan kalian.
Aku ingin pulang, meski hanya sebentar.
Apalagi ketika tadi malam kucek harga tiket pesawat yang makin mahal seiring semakin dekatnya akhir tahun.
Aku semakin ingin pulang.

Akhir tahun ini nampaknya kemungkinan bisa pulang makin kecil.
Rasanya sedih ya, mau pulang ke rumah pun susah.
Nasib anak rantau 😅




[Work] : bahasa jepang dan orang Vietnam

Karena di tempat kerja yang sekarang banyak orang Vietnam, seringkali aku memperhatikan cara mereka bicara.
Terutama saat mereka bicara dengan Bahasa Jepang.

Sebetulnya orang-orang Viet ini Bahasa Jepang-nya bagus, dan selalu menggunakan grammar yang baik dan benar,
yang orang Jepang asli saja belum tentu pakai,
tapi sayangnya pelafalan mereka sedikit asing di telingaku, sehingga kadang aku nggak ngerti apa yang mereka ucapkan dalam Bahasa Jepang.

Dari analisis sotoy saya selama kurang lebih satu bulan kerja bareng orang-orang Viet, kira-kira begini pelafalan mereka saat ngomong pake Bahasa Jepang.
(yang sebelah kiri pelafalan yang benar, sedangkan yang sebelah kanan pelafalan dari lidah orang Vietnam)

Hitotsu  Hitochu
Juken → Zuken

“Tsu” jadi “Chu”, dan “J” jadi “Z”.
Ada pelafalan yang lain juga sih, tapi dua itu yang sering keluar.
Dari dua pelafalan yang amat sangat beda itu aja udah bikin puyeng.
Ditambah lagi pelafalan mereka yang sengau (ngirung, kalo kata orang Sunda mah), jadinya makin nggak jelas.

J jadi Z itu berasa kayak orang Sunda kebalik ya.
Kalo orang Sunda kan dari Z jadi J.
Zebra jadi Jebra :D

Dalam Bahasa Viet nampaknya nggak ada pelafalan pake huruf J, jadinya mereka nggak bisa bilang huruf J.
Rasa-rasanya jadi pengen ngenalin mereka sama orang Sunda, supaya bisa bilang huruf J.
Dan orang Sunda pun jadi lebih fasih bilang huruf Z.
Haha.
Kidding :D



[Slice of Life] : mimpi

Selama beberapa bulan terakhir ini hampir tiap hari aku memimpikan orang-orang yang aku kenal.
Yang paling sering, bahkan hampir tiap malam datang dalam mimpiku adalah keluarga dan teman.
Mereka datang bergantian tiap malam.

Misalnya, dua malam yang lalu mimpi sedang ngobrol sama Ayah, meski ujung-ujungnya kita bertengkar dan diem-dieman dalam mimpi.
Yang bikin aku merasa bersalah ketika bangun^^
Lalu kemarin malam aku mimpi ketemu teman-teman kuliahku.
Kami berpelukan karena sudah lama tidak bertemu, lalu ngobrol, makan bareng dan foto bareng.

Oiya, setelah sholat aku tidur lagi, dan kali ini yang datang menghampiriku dalam mimpi adalah Ibu.
Ceritanya aku punya rejeki lebih dan membelikan Ibu rumah baru yang baguuuus (amiiin J) dan banyak saudara serta tetangga yang datang untuk berkunjung.
Rumahnya cukup besar dan bersih, tapi agak jauh dari keramaian.
Yang paling kuingat saat berada di rumah baru itu, aku mengeluh dalam hati betapa repotnya membersihkan rumah ini nantinya.
Apalagi kalau aku sedang tidak di rumah, akan jauh lebih repot lagi untuk Ibuku saat membereskan rumah, apalagi Ibu tidak suka pakai ART.

Well, banyak cerita dalam mimpiku setiap malam yang selalu diisi oleh keluarga dan teman.
Semua ceritanya sederhana, tentang keseharian seperti ngobrol bersama, berkunjung ke rumah saudara/teman, belanja bareng, atau beberapa cerita yang agak fiksi seperti menyelamatkan seseorang dari penjahat dan sejenisnya J.

Anehnya, aku selalu bisa mengingat dengan jelas mimpiku ketika aku terbangun paginya.
Sekaligus merasa sedih karena ternyata semua itu hanya mimpi.
Terasa begitu nyata karena orang-orang yang datang dalam mimpiku adalah orang yang kukenal baik.
Di dalam mimpiku pun mereka berperan dan bersikap seperti mereka biasanya. Mulai dari cara bicara, tertawa sampai marah.

Mungkin aku rindu kalian semua.
Sangat rindu.
Sehingga semua rasa rinduku yang bertumpuk menjadikan alam bawah sadarku menghasilkan mimpi setiap malam.
Aku rindu ngobrol, makan bareng dan tertawa bersama kalian semua, tapi saat ini semua itu belum bisa kulakukan.
sehingga alam bawah sadarku menciptakan khayalan bersama kalian dalam bentuk mimpi.

Semoga,
dalam waktu dekat aku bisa segera bertemu dengan kalian
di dunia nyata,
bukan hanya dalam mimpi.




[Slice of Life] : berisik

Pagi ini, orang Sales di kantor yang biasa “ngurusin” segala keperluanku ngirim e-mail.
Dia bilang katanya ada komplain dari tetangga yang tinggal di lantai bawah apartment-ku kalau aku berisik.
Suara berisik yang mereka komplain adalah suara orang jalan yang kedengeran sampai lantai bawah.

Begitu baca e-mail itu, aku cuma bisa nyengir.

Mereka nggak salah sih, cuman kalo boleh kukoreksi itu bukan suara orang jalan atau langkah kaki.
Lagian gue kalo jalan mah santey beud, nggak grasak-grusuk kayak orang Jepang, apalagi sampai bikin gaduh.
Malahan kadang rada ngesot kalo lagi males gerak :D

Yang benar adalah itu suara gue lagi stretching pagi.
Di dalam stretching itu ada beberapa gerakan yang mengharuskan aku lompat-lompat dan lari di tempat.
Mungkin saat itulah suaranya gaduh dan kedengeran sampai bawah.

Iye iye, gue minta maaf buat penghuni di bawah.
Besok-besok gue ganti gerakan stretching-nya, jangan lari atau lompat deh.
Ganti jadi terjun dari atap gedung, biar ANDA PUAS!

Cuman yang bikin rada dongkol adalah entah kenapa jadi keingetan saat gue masih tinggal di apartment sebelumnya.
Waktu itu tetangga yang tinggal di lantai atas gue setiap jam 10 malam pasti berisik. Suara berisiknya adalah suara langkah kaki yang keras dan cepet.
Kayak lagi dikejar setan atau apalah itu.
Kalau mood gue lagi baik, biasanya gue biarin si kamvret itu.
Tapi kalo lagi puyenghai, biasanya gue bales dengan ngelempar sesuatu atau gedar-gedor pake payung ke atap kamar supaya kedengeran sampai lantai atas.

Gue baru tahu kalau tetangga kita berisik bisa komplain lewat agen real estate yang me-manage apartment kita.
Jadinya nggak perlu ketok pintu dan nyemprot si tetangga yang bikin berisik, alias nggak usah ketemu muka.
Biarkan saja orang real estate itu yang nyampein komplain kita.

Tau gitu gue juga komplain aja waktu di apartment lama.
Sayangnya, karena nggak tahu, gue pindah apartment tanpa sempet komplain, jadinya rada dongkol gimana gitu :D
Rasanya rugi gimanaaa gitu. Haha.




[Slice of Life] : rumah dan pindahan

Dalam satu tahun terakhir ini, aku pindah tempat tinggal sampai 4 kali!
Rekor!
*potong pita*
Di Indonesia aja nggak segitunya, bahkan pernah selama 4,5 tahun tinggal di kosan yang sama.

Dari keempat apartement yang aku tinggali itu banyak yang terjadi tentunya, baik itu kenangan manis atau pahit. #uhuk
dan tentunya plus-minus dari masing-masing apartement itu.
Sekadar flash back dan mengingat kembali apa saja kenangan-kenangan itu, mari kita bahas satu persatu.
*mumpung gue lagi magabut kagak ada kerjaan, dan Bos lagi dinas selama 3 hari*
*dilempar staples*

(1)   Chofu, Tokyo
Ini tempat tinggal pertama ketika baru nyampe di Jepang dan masih kerja di tempat lama.
Tempat tinggal berupa mansion sederhana di lantai satu dan sebelahan langsung sama office, plus tetanggaan pula sama si Bos Jepang kala itu.
Jadi, kalo Bos ane lagi boring dan di rumahnya nggak ada siapa-siapa lantaran anak sama istrinya belom pulang kerja, sedangkan dia butuh temen curcol, alhasil gue dan temen kerja gue yang saat itu tinggal satu atap pun didatengin sama si Bos buat jadi tempat curhat.

Tempatnya enak, adem dan nyaman. 
Ditambah lagi deket ke halte bis, strategis dan sebelahan sama Botanical Garden plus Jindaiji Temple yang bersejarah.
Saking deketnya sama taman, makan siang pun kadang ngesot ke taman bareng temen sambil menikmati bunga Sakura.

Sayangnya, karena mansion ini pada dasarnya diperuntukkan untuk office, jadinya nggak ada tipi.
Alhasil, meski udah tiba di Jepang, selama beberapa bulan akik belum bisa nonton acara TV Arashi dan drama-drama Jepang serta anime.
Untungnya ada Wi-Fi kenceng dan gratis, ditambah lapie yang bisa dipake sepuasnya, setidaknya masih ada hiburan.
Karena tinggal berdua sama temen kantor, dan tau sendiri akik paling susah kalo share tempat tinggal sama orang yang baru kenal, jadinya agak canggung.
Untungnya si teman baeeek dan asik banget orangnya, jadi meski baru kenal beberapa hari tapi tetep nyaman.
*Hi, Etty! Kangen kamu nih*

(2)   Kumagaya, Saitama
Karena nggak mungkin menetap terus di tempat yang sebelahan sama office tempat kerja, dan aku juga pengen bebas tinggal sendiri maka aku pun mulai nyari apartement.
Entah kenapa Bos Indonesia nyuruh gue buat tinggal di Kumagaya, yang notabene-nya jauh amiiiir dari Tokyo (pake kereta bisa 2 jam-an). Padahal kerjaan saat itu nggak cuma di Saitama, tapi bisa diberbagai tempat. Alhasil, meski kerjaan cuma bentar tapi pulangnya itu yang bikin pe-er karena satu kali jalan aja bisa ampe 3 jam.
Udah gitu, semua tetek bengek bahkan sampai deposit buat biaya apartment 100% gue yang tanggung dan menjadikan gue kismin selama setahun tanpa punya tabungan dan uang.

Tapi yah sudahlah mari kita lupakan semua sakit hati dan merananya gue selama setahun tinggal di Kumagaya.
Anggap aja sebagai pengalaman supaya ntar-ntar lebih hati-hati *hati-hati dalam milih tempat kerja hohoho*
Toh dibalik itu banyak kok hal baik selama tinggal disana.
Apartment Kumagaya deket banget sama stasiun, mall dan tempat makan.
Semua tersedia di sana, bahkan setarbak kesukaan akik pun ada di dalam stasiun. Semua serba praktis.
Selain itu, karena kebanyakan anak magang yang gue pegang ada di sekitaran Saitama dan Gunma, jadinya kalo mau maen nggak terlalu jauh.
*For Sarah, Mutia, Agita, Amel, Intan, Furi, Yuna, Wita miss you gaess!*

(3)   Yokohama, Kanagawa
Dari dulu, entah kenapa aku pengeeen banget tinggal di Yokohama.
Suka berangan-angan kalo suatu saat bisa tinggal di Jepang, akik pengen milih tinggal di Yokohama.
Alhamdulillah kesampaian jugaaa!

Setelah resign dari tempat kerja yang lama, kemudian keterima di tempat baru dan dikasih tempat tinggal *ini baru perusahaan yang baik, karyawannya diperhatiin dan dikasih tempat tinggal, bukannya diporotin suruh bayar apartement sendiri #masihesmosi*, dan nggak tanggung-tanggung langsung dikasih di Yokohama *sun tangan*.

Kenapa segitu ngebetnya pengen tinggal di Yokohama?
Entahlah ya, rasanya keren aja dan lebih gaya ketika ada yang nanya,
“Tinggal dimana?”
“Yokohama”
Daripada ketika aku jawab “Tokyo”.

Ternyata bukan cuma isapan jempol aja, tinggal di Yokohama tuh asik banget.
Tempat belanja buanyaaaak dan luas banget. Tempat rekreasi pun banyak yang terkenal kayak Minato Mirai yang famous sama Bianglala yang guedeeee dan sering mejeng di gambar-gambar kalender. Belum lagi tempat-tempat terkenal lainnya kayak Redbrick, Noodle Museum, Yokohama Arena dan tentunya Yokohama Port.
Ketika ada yang nanya dimana gue tinggal dan dijawab Yokohama, rata-rata reaksi orang menunjukkan mereka ngiri dan pengen juga tinggal di Yokohama dengan fasilitas dan brand-nya itu.
*langsung idung kembang-kempis bangga dweh*

Sayangnya, harga-harga di Yokohama lebih mahal ketimbang di Saitama.
Mungkin karena kota besar dan terkenal kali ya.

Oiya, apartement yang kutinggali juga bagus.
Yang paling mantabh adalah kamarnya udah tersedia barang-barang elektronik dan furniture standar, plus Wi-Fi kenceng dan internet TV yang menjadikan akik bisa nonton Arashi lagi pake tipi, meski nggak pake lapie dan HDD.
Sayangnya, dinding apartement-nya tipis, jadi suara gedebak-gedebuk dari tetangga di sebelah dan atas kedengaran, yang kadang bikin gue kesel dan cuma bisa geleng-geleng kepala.
Akses menuju stasiun juga rada rempong, karena harus melewati tanjakan maut yang sudutnya bisa ampe 30 derajadh!
Jadinya tiap menuju rumah kudu narik betis dan ngos-ngosan, yang berimbas gue jadi males keluar rumah. Haha.
Tempat belanja pun jauh, cuma ada dua supermarket kecil dan mekdi doank.
Jauh dari setarbak dan department store, tapi imbasnya akik jadi lebih hemat.
Antara senang dan sedyih yah. Haha.

(4)   Atsugi, Kanagawa
Meski tinggal di Yokohama memiliki kebanggaan tersendiri, tapi lumayan jauh untuk pulang-pergi ngantor.
Dari apartement sampai kantor memakan waktu sekitar 1 jam 15 menit pake kereta dan bis. Meski keretanya kosong karena berlawanan arah dari Yokohama Station yang artinya gue nggak usah berjibaku dengan rush hour Jepang yang amit-amit itu, tapi pihak perusahaan menyarankan supaya gue tinggal lebih dekat dengan tempat kerja.
Alhasil, akik pun dipindahin lagi ke Kota Atsugi, tempat tinggal yang sekarang.
Masih sebelahan sama Yokohama sih, jadinya nggak terlalu jauh kalo mau nongki ke sono.

Dari semua apartment yang pernah ditinggali, apartement di Atsugi ini adalah THE BEST!
Kamarnya luaaas, bersih, semua tersedia bahkan sampe ada kursi malas segala. Wi-Fi juga kenceng dan gretong bok!
Cuman nggak ada internet TV doank sih, jadinya kudu beli adaptor buat nyambungin Wi-Fi ke TV.
Akses ke stasiun pun deket, cuma 10 menit jalan kaki, ditambah lagi akses ke tempat kerja cuma 15 menit jalan kaki.
Stasiunnya pun lengkap, mulai dari mall, Uniqlo, toko elektronik, mekdi, KFC, Yoshinoya dan tentunya setarbak adaaaa semua.
Supermarket pun ada dua, guedeee dan murmer lagi!
Minimarket pun deket dari rumah, ada dua pulak. *karena sayah nggak bisa hidup tanpa minimarket nyahahaa*
Nikmat mana lagi yang kau dustakan? :D

Kalo sebelumnya kudu bangun subuh, abis sholat langsung mandi dan ngibrit naik kereta, sekarang abis sholat bisa nonton dulu lah, sarapan dengan santey lah atau kalo masih ngantuk bisa bobo chantieq lagi.
Karena nggak usah khawatir macet atau kereta telat, pergi ngantor pun santey, 20 menit sebelum bel masuk dan bisa jalan kaki sambil dengerin musik di pagi hari.
Karena di kantor duduk melulu seharian, lumayan kan bisa sekalian olahraga saat pergi dan pulang kerja.

Indahnya hidup ini!
Haha.

Selama seminggu tinggal di apartement baru, sejauh ini belum ada kekurangan yang bikin sebel dan kesel.
Satu doank sih, nggak ada fasilitas buat ngeringin baju di dalam rumah.
Tempat tinggal sebelumnya ada kayak pengering/sirkulasi udara yang bakal ngeluarin udara panas di dalam kamar mandi buat ngeringin baju.
Gapapa lah ya. Semua pasti ada plus minusnya, nggak ada yang sempurna^^
Karena sempurna itu hanya milik Allah dan lagu Andra and The Backbone #HALAH

Ohiya, apartement yang baru ternyata kompornya terlalu canggih sehingga frypan sama panci ane yang lama kagak bisa dipake.
Jadinya di hari kedua pindahan buru-buru nyari Home Center buat belanja peralatan masak.
Dari dulu kepengen beli alat masak baru karena yang lama emang udah buluk, good timing lah ya J


Well,
Semoga langgeng, betah dan berkah di tempat tinggal yang baru ini.
Amin.




laptop, tiket pesawat dan peraturan perusahaan

Setelah sekian lama, akhirnya bisa ngeblog lagiiii!!!
*potong tumpeng*

FYI, saat ini ane masih belum bisa ngulik blog pake lapie, karena lapie tersayang masih di Indonesia, dan kerjaan yang sekarang kagak perlu bawa-bawa lapie ampe rumah, jadinya saya hidup tanpa lapie selama beberapa bulan ini.

Baidewey, postingan ini ane tulis di lapie kantor, dengan cara ngetik materi postingan di sela-sela jam kerja *diselepet dokumen sama Bos*, lalu dikirim ke e-mail pribadi dan baru diposting begitu udah di rumah pake henpon.

Kenapa kagak posting aja langsung pas di kantor?
Pasalnya, tempat kerja yang sekarang KETAT BANGEDH melebihi ketatnya legging loreng yang dipake emak-emak waktu senam Minggu pagi di depan department store. 
Ketat banget soal akses internet dan penggunaan henpon pribadi.

Cuma manager doank yang dikasih akses internet, sedangkan apalah beta inih hanya rakyat jelata, sehingga sama sekali nggak bisa akses internet selama di office.
Bahkan gugel translate pun kagak bisa, dan hanya bisa translate pake kamus elektronik yang disediakan khusus di web internal perusahaan.
Itupun cuma translate JPN  ENG.
Kalo Bahasa Jepangnya gue kagak ngerti, trus ditranslate ke English yang ternyata artinya jadi aneh, ya udah wassalam yu dadah yu babay dan gue pun cuma bisa cengo.
Selama jam kerja pun penggunaan henpon pribadi dilarang keras.
Bahkan saat jam istirahat, kalo mau ngulik-ngulik pake hape kudu keluar office dulu, nggak bisa maen hape di dalem kantor.
MATI GAYA SAYAH.

Yah, risiko sih ya kalo kerja di tempat bikin mobil, apalagi bagian design, semua informasi serba rahasia dan tertutup^^

Tapi teuteup aja ada beberapa karyawan yang sembunyi-sembunyi pake hape pas lagi di toilet.
Bahkan orang Jepang sekalipun tetep aja ngelanggar aturan ye.
Jadinya kan gue ikutan juga. Muahahahaa.

Btw, kembali ke soal lapie.
Selama 4 bulan (sejak resign dari tempat lama) gue hidup tanpa lapie (kecuali di tempat kerja, itupun kagak bisa dibawa ke rumah).
MERANA?
Awalnya akik pikir bakalan nelangsa, pokoknya hidup berasa hampa tanpa lapie di rumah yang jadi kebutuhan primer buat hiburan apalagi buat memandangi mahluk-mahluk berwujut indah.
Udah stress duluan aja begitu membayangkan nggak bakalan ada lapie selama berbulan-bulan.

Tapi rupanya dunia belum berakhir, pemirsah!
Selalu ada jalan menuju tempat para idola #HALAH
Ketika lapie nggak ada, rupanya akik dapet apartement baru lengkap dengan WiFi berkecepatan MANTABH plus internet TV!
Dengan sedikit effort, gue bisa nonton video-video Arashi (terutama konser) lewat yutub tanpa harus pake lapie dan HDD.
Pake tipi pulak! Tanpa harus berkerut-kerut mantengin layar henpon yang kecil.
*sujud sukur*

Jadi apa inti dari postingan ini?
Nggak ada.
Hahaha. *blogger nggak niat*
Saking lamanya nggak ngeblog, saking banyaknya yang ingin ditumpahin *aer kali ah, ditumpahin*
jadinya bingung mau mulai dari mana, makanya sekarang posting sesuatu yang saat ini lagi ada di kepala aja.

Well, semoga libur musim dingin di akhir tahun ini bisa pulang ke Indonesia.
Lebih tepatnya duit ane cukup buat beli tiket pesawat, yang ternyata kalo dari Jepang ke Indo tiketnya bisa naujubileh mahalnyaaa.
*bakar maskapai*

Karena gue tidak terlahir di keluarga Bakrie, mau nggak mau kudu nabung jauh-jauh hari buat beli tiket pesawat.
Akik pikir harga tiket masih sama-sama aja kayak hari biasa. Lha wong pas liburan musim panas, Golden Week bahkan musim lebaran aja harga tiket nggak beda jauh.
Kenapa pas tahun baru bisa ampe tiga kali lipat gitu?!
Bahkan Air Asia aja harganya bisa lebih mahal dari JAL.
*nangis di tengah alun-alun*
*nangis di pojokan udah terlalu mainstream soalnya*

Padahal udah bela-belain bikin kartu kredit, buat ngutang dulu beli tiket pesawat supaya ntar pas udah tahun baru bisa dibayar.
Tapi saking mahalnya harga tiket, bahkan limit kartu kredit pun nggak nyampe.
*bakar kartu kredit*

Yowislah, semoga awal Desember ntar harga tiket nggak semakin melambung, dan semoga tabungan gue udah cukup.
Semogaaaa.




[Holiday] : Explore Yokohama


Hari Minggu kemarin, seorang teman kita sebut saja di Amel, bukan Mawar apalagi Melati, ngajak main di sekitaran Yokohama.
Sebetulnya rencana hangout bareng ini udah diskejulkan sejak dua minggu lalu, tapi apa daya kemaren-kemaren lagi banyak angin topan yang membuat dua bolang ini membatalkan rencana dan memilih untuk berlindung di rumah daripada kebawa angin ribut.

Selain Amel, ada Agita juga yang pengen ikut ngebolang ke Yokohama. Apalagi Agita udah sering maen ke sekitaran Yokohama, jadi dia bisa kita manfaatkan buat jadi guide bagi sayah dan Amel yang masih newbie soal Yokohama.
*itulah gunanya teman, ya Git*
*ditampol*

Oiya, Amel dan Agita ini salah satu siswa internship alias peserta magang yang berdomisili di Saitama – Jepang. Aku ketemu mereka waktu masih kerja di tempat lama dan kebetulan kebagian ‘ngurusin’ bocah-bocah ini.
Meski udah resign dari tempat lama, tapi pertemanan kita tentunya nggak bakalan terhenti sampai situ donk #caileeh jadinya mumpung lagi pada libur dan sekalian melepas kangen, maka kita pun ketemuan di Yokohama.

[Ketiga bolang yang siap ngubek-ngubek Yokohama; Agita, Me and Amel]



Setelah ketemu Amel dan Agita di Yokohama Station, kami pun langsung ngesot menuju spot-spot terkenal di Yokohama, setelah sebelumnya ketemu dulu sama temennya Amel yang jauh-jauh backpackeran dari Indonesia.

Seperti diceritakan di atas, Ane dan Amel belum tahu jalan di seputaran Yokohama.
*padahal rumah gue sekarang di Yokohama*
*tapi nggak tau jalan*
*maklum, saya anak rumahan* #ALIBI
Sehingga Agita pun jadi guide dadakan di hari itu.

Spot pertama yang kami kunjungi adalah Yokohama Cosmo World, yang selanjutnya disebut Cosmo World.
Untuk menuju Cosmo World, dari Yokohama Station kita bisa ambil kereta JR di jalur Keihin Tohoku Line dan turun di Sakuragicho Station, cukup melewati satu stasiun dengan waktu tempuh 3 menit saja.

Atau alternative lain menuju dari Yokohama Station ke Cosmo World adalah dengan kereta Minato Mirai Line, turun di Minato Mirai Station.

Kalau kita turun di Sakuragicho Station, begitu keluar stasiun kita akan langsung disambut Bianglala atau bahasa kerennya Ferris Wheel yang luar biasa megahnya. Jadi, dijamin nggak bakalan nyasar. Kita tinggal jalan kaki menuju ke arah Bianglala tersebut.



Sebelum menuju ke Cosmo World, rupanya perut Amel berontak minta diisi, apalagi saat itu sudah lewat jam makan siang. Tanpa ba bi bu, ketiga bolang inipun masuk ke salah satu mall di sebelah stasiun untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan dan dinikmati.
Bukan bunga, apalagi rumput tentunya.
Tapi kalau ada cowo ketjeh, bolehlah kita nikmati #EH

Tapi, namanya juga mall gede di lokasi wisata terkenal pulak, pastilah harga makanan tidak murah. Apalagi food court dan area resto di situ berada di lantai atas dengan view kota Yokohama yang keren. Pasti makin mahal dah.
Ketiga bolang yang masih jauh dari tanggal gajian pun akhirnya menyerah dan mengurungkan niatnya untuk makan di mall. Mereka melanjutkan perjalanan menuju Cosmo World sambil menahan perih karena lapar.
*jangan sampe dah bunga-bunga di pinggir jalan ntar dicemilin gegara kelaperan*

Sepanjang jalan menuju Cosmo World, kita akan disuguhi pemandangan spektakuler mulai dari sungai yang jernih, gedung-gedung pencakar langit yang bikin leher pegel, sampai sebuah kapal laut berukuran guedeee dan nggak kalah keren dari kapal bajak laut-nya Luffy di anime One Piece.

Padahal jarak dari stasiun ke Cosmo World hanya sekitar 200 meter dan bisa ditempuh dengan jalan kaki, apalagi disediakan escalator, tapi kami baru tiba di Cosmo World sekitar 30 menit kemudian.
Apalagi kalo bukan gara-gara kebanyakan selfie dan foto-foto spot-spot di situ.
Mulai dari escalator, jembatan, Bianglala dari kejauhan, pot bunga, tangga, sampai di depan kapal laut pun entah udah berapa ratus foto yang diabadikan.
Padahal posenya itu-itu doank, kalo nggak nyengir, pose dua jari, atau pose sok-sok candid-nggak-ngeliat-kamera-bergaya-menerawang-masa-depan.

Kalo nggak inget laper, mungkin ampe subuh deh kita di situ cuma buat foto.


[Camera by Agita, Pengarah Gaya Absurd by Amel]


Cosmo World ini adalah sebuah area yang berisikan berbagai wahana permainan outdoor yang dipisahkan oleh sungai di tengahnya. Yang paling terkenal dan cetar tentunya si Bianglala ukuran raksasa dan jadi ikon Cosmo World. Di bawah Bianglala terdapat wahana Roller Coaster dengan track unyu berwarna pink. Sedangkan disebrangnya ada beberapa wahana sejenis Ontang-Anting (kalo di Dufan), atau sejenis Vertigo (kalo di Trans Studio). Maap ye, nama-nama wahananya lupa.

Selain wahana pemicu adrenalis, ada juga wahana cetek untuk anak-anak. Seperti Jet Coaster mini, perahu dayung/boat race, dan rumah es yang suhu di dalamnya bisa mencapai minus 30 derajat.
“Beuh, di luar aja yang cuma 18 derajat gue menggigil, cuma orang-orang yang nggak ada kerjaan yang masuk ke ruangan bersuhu minus 30 derajat, mana pake bayar lagi.” Protes Amel.

Masuk ke Cosmo World ini tidak dipungut bayaran, tapi jika ingin naik wahana harus beli tiket per-permainan. Untuk permainan cetek harga tiket perorangnya 500 Yen untuk satu kali naik, sedangkan untuk wahana yang lebih menantang harganya 600 Yen.

Sore itu aku dan Amel mencoba uji nyali dengan menaiki salah satu wahana yang diputer-puter sambil naik ke atas dan dibalik 180 derajat. Sorry lupa nama wahananya. Sayah dan Amel mengikrarkan diri sebagai pecinta wahana pemicu adrenalin, jadi dengan songongnya kami pun berjalan dengan tegap menuju pintu masuk wahana setelah membeli tiket dulu tentunya.

Karena Agita paling anti sama wahana yang begituan, beliaw cuma nunggu di bawah aja sambil duduk manis.

Kedua bolang songong ini pun dengan pedenya menaiki wahana tersebut dan dengan excited-nya siap-siap meluncur.
Di putaran pertama akika dan Amel masih sempet ketawa-ketawa dan jerit-jerit kelojotan saking senengnya naik wahana. Apalagi kami udah lama nggak jerit-jerit sampe tenggorokan hampir putus *maklum, stress bertumpuk pemirsah!*



[Dua bolang songong yang sok jago ceritanya mau naik wahana sekalian uji adrenalin]


Karena beberapa putaran awal wahana masih berada di bawah dan hanya puter-puter biasa, aku dan Amel masih bisa menikmati wahana yang kami naiki.
Tapi begitu wahana menukik ke atas dan posisi kami di dalam yang tadinya duduk vertical jadi horizontal, ditambah dengan gaya gravitasi yang menekan dari ujung kepala sampai ujung kaki yang bikin kepala beratnya jadi ratusan kali lipat, Amel yang duduk di belakangku tiba-tiba jadi senyap dan menghentikan teriakan excited-nya, berubah menjadi jeritan histeris di menit berikutnya.

Sebetulnya wahana yang kami naiki itu seru banget, kalo gaya gravitasi yang neken badan bisa dikurangi. Entahlah apa yang bikin wahana itu jadi petaka, padahal masih lebih serem Roller Coaster di seberang.

Begitu wahana berhenti berputar, aku, Amel dan penumpang lainnya turun dari atas wahana. Kulihat wajah Amel pucat bahkan dia jalan sempoyongan. Ibu-ibu yang duduk di belakang kita pun sama pucatnya dan bilang “Tadi serem amaat ya.”

Selain wahana yang bikin sakit kepala dan puyenghai, nampaknya perut kosong dan kelaparan menambah rasa mual kami sore itu.
Dua bolang songong yang tadi sok jago naik wahana, kini tinggalah dua bolang yang kepayahan dan bermuka pucat.
“Pusing pala Betmen!”
*karena pusing pala Barbie udah terlalu mainstream*

“Tuh kaaan, untung gue nggak ikut naik”, celutuk Agita yang menyambut kami di pinggir area wahana begitu ngeliat Amel aduh-aduhan mengeluh pusing.

Daripada melihat Amel tumbang karena kelaparan dan puyeng, kami pun langsung mencari tempat makan di dekat situ.
Karena hanya ada restoran fast food sejenis McD, KFC dan sejenisnya, maka mau nggak mau ketiga bolang pun ngesot ke sana.
Bodo amat lah bosen makan KFC juga, daripada pingsan di jalan.

Setelah perut kenyang dan puas nongkrong, kami pun melanjutkan perjalanan menuju spot berikutnya. Apalagi sekarang Amel udah semangat dan nggak puyeng lagi, jadi ketiga bolang pun jalan dengan riang gembira.
*kayaknya ente mah pusing karena laper, Mel! Bukan karena naik wahana*

Spot berikutnya adalah Yokohama Red Brick, yang sering muncul di drama-drama atau TV Show Jepang.
Dari Cosmo World, kita cukup jalan kaki mengikuti arus jalan dan menyebrang sekali saja. Lebih mudahnya Red Brick ini berada di belakang Cosmo World.

Oiya, selagi berjalan menuju Red Brick kami pun melewati Noodle Museum. Tapi karena nggak ada yang tertarik untuk ke sana, dan hari pun semakin sore, maka disekip dulu ajah.

[Bangunan Red Brick ini isinya restoran *yang nampak mahal*]


Sesampainya di Red Brick, ternyata ruameeeee banget.
Di hari itu kebetulan lagi ada dua event sekaligus yaitu Yokohama Yosakoi Dance Festival dan Yokohama October Fest.
Yosakoi Dance diisi dengan lomba traditional dance dari tiap kelompok, sedangkan October Fest adalah acara bazaar dan festival khusus untuk beer alias mabok berjamaah.
*Astagfirullah*
*lalu berbondong-bondong ikut masuk*

Untuk masuk ke October Fest, kita harus bayar tiket masuk seharga 300 Yen. Tapi begitu tahu kalo isinya bazaar beer dan gue nggak minum beer dan sejenisnya, apalagi ane benci banget bau bir yang bikin puyeng itu, maka sebuah keputusan tepat untuk tidak ikut masuk ke dalamnya.

Ketiga bolang pun cuma foto-foto di sekitaran Red Brick kemudian ngesot menuju pelabuhan yang tidak jauh dari area Red Brick dan October Fest.
Kebetulan di pelabuhan ada satu kapal pesiar yang lagi mangkal. Kapalnya guedeee banget dan akik baru kali ini ngeliat kapal pesiar sedekat itu.
*bawaannya kan jadi pengen berpose Titanic di ujung dek kapal*
*Jack, where are you?*
*udah kelelep dimakan lele mbak si Jack-nya*

Karena di pinggir pelabuhan rame banget sama orang-orang yang kepengen ngeliat kapal pesiar sekalian selfie, maka ketiga bolang pun lama-lama bosan *atau entah kembung masuk angin gegara kelamaan berdiri di pinggir laut*, so kami pun melipir ke pinggir dan nyari tempat duduk.

Karena kebetulan temennya Amel pun lagi ada di sekitar situ, maka kami pun menghampiri mereka dan ngobrol-ngobrol sebentar.

Sayangnya, karena besok akoh harus masuk kerja, jadinya nggak bisa pulang malem. Apalagi ini kaki udah gempor, kepala masih pusing abis naik wahana di Cosmo World, dan perut mulai enek kelamaan di tempat ramai *maklum, introvert akut, energi langsung terkuras kalo dikerubutin orang banyak terus*, jadinya akik pamit pulang duluan.

Sedangkan Amel dan Agita nampaknya masih betah dan bakal nongki di sono ampe gelap sekalian mau ngeliat sunset, apalagi besok mereka libur coz udah ngambil cuti.
Enaknya yang udah dapet cuti, apalah aku mah masih karyawan baru, boro-boro dapet cuti *bakar kantor*.

Setelah dianterin Amel dan Agita sampai jembatan di dekat Cosmo World *padahal udah bilang nggak usah dianterin, soalnya lumayan jauh* dan diwanti-wanti sama Agita soal arah menuju Stasiun *iye iye, gue emang tukang nyasar* kami pun berpisah sore itu.

It was so short, but so fun!
Terima kasih sudah meluangkan waktu kalian sehingga rasa kangenku ketemu temen-temen Indonesia pun terobati.
Semoga bisa hangout lagi dalam waktu dekat ya!!!







[Work] : I miss my old job...


Kemarin salah seorang staff kantor dari Sales Division mengirim e-mail yang berisikan kalo kerjaanku di office Shinjuku bakal selesai hari Jumat ini.

FYI, di kerjaan yang sekarang, meski masih sebagai interpreter dan translator, tapi aku kebanyakan kerja di office perusahaan lain alias nggak berkutat dan duduk di meja kerja office sendiri. Head office perusahaan tempat ane kerja sekarang sebetulnya ada di area Marunouchi, sebelahan sama Tokyo Station. Tapi ya itu, karena yang butuh interpreter itu biasanya klien dari perusahaan lain, jadi akik kerjanya di kantor orang.

Nah, si mbak Sales ini bilang katanya kerjaan di office Shinjuku, di salah satu perusahaan software, selesai di minggu ini. Alasannya karena orang India yang memerlukan translator bakal balik ke negaranya di akhir minggu ini.

Bicara-bicara sama klien sih katanya mereka tetep pengen keep ane di office mereka sebagai translator, tapi pengganti orang India itu baru datang akhir November nanti, yang berarti gue bakal cengo nunggu dan nggak ada kerjaan.

Karena pihak Sales pastinya nggak mau donk gue gak ada kerjaan sedangkan mereka masih teuteup kudu ngegaji ane, untuk itu sembari nunggu pengganti orang India datang, maka gue bakalan ditarik dulu dari office Shinjuku dan pindah sementara ke office atau klien lain yang memerlukan interpreter atau translator.

Jujur, sebenarnya ada rasa lega dan plong gimanaaa gitu saat gue tahu akan meninggalkan office tempat kerja sekarang.
Sebetulnya kalau dari segi lingkungan kerja, nggak masalah sih, orang-orangnya friendly dan nggak pada rese. Ruang kantornya juga nyaman, apalagi ada mesin kopi gretoong yang bisa ambil sepuasnya dengan berbagai macam menu kopi.
*maklum, kalo liat yang gratisan emang suka nggak bisa nahan diri*
Meskipun kualitas kopinya teuteup jauh lah ya sama Setarbak 
#YAIYALAH #YOUTHINK?!

Yang sebetulnya bikin lega bisa pindah dari sini, pertama mungkin dari segi job desk kali ya. Job desk yang sekarang ini rasanya hampa gimanaa gitu *lalu nyanyi bareng Ari Lasso*.
Gue yang biasanya ngomong terus selama kerja *karena interpreter kudu ngomong lah ya*, kini harus berkutat di depan laptop selama 8 jam sehari cuma ngerjain dokumen terjemahan.

Memang sih, akik tipe yang hemat cuap-cuap ngomong, tapi entahlah ya kok rasanya sepi dan hampa aja gitu ketika seharian nggak ngomong sama sekali dan cuma melototin laptop ampe pegel.

Tiap minggu cuma ada satu kali meeting, itu pun cuma 30 menit, dimana kadang gue nggak ngomong sedikit pun *padahal interpreter*, soalnya bapak-bapak Jepang itu udah ngomong pake Bahasa Inggris ke orang India, gue cuman bantuin seperlunya aja. Bener-bener cuma jadi patung arca di ruang meeting dah.

Meeting kelar, balik lagi deh ke meja ngerjain terjemahan dokumen. Gitu terus setiap hari. Bahkan dalam satu hari gue bisa nggak mengeluarkan suara sedikit pun, palingan cuma bilang Selamat Pagi, Permisi, atau pamit pulang.

KRIK KRIK KRIK
Hellooo, anybody is in there?
*kayaknya jangkrik di luar aja masih lebih berisik daripada gue*

Ketika dikasih kesempatan untuk jadi translator Jepang-Inggris, gue seneng donk *meski awalnya ketar-ketir grogol gundah gulali nggak keruan*, karena itu artinya gue punya kesempatan untuk meningkatkan skill Bahasa Inggris dan memperbaiki grammar ane yang amburadul.
Bahkan gue mulai belajar lagi Bahasa Inggris dari awal supaya nggak malu-maluin pas nerjemahin, serta nyoba untuk ikutan tes TOEIC bulan November nanti.

Menurut sayah, belajar Bahasa yang paling afdol adalah dengan banyak bicara alias latihan percakapan, karena percuma kalo teorinya amajing bahkan punya banyak sertifikat kemahiran bahasa, tapi begitu ngomong sama orang asing malah gagap.

Makanya, ketika menyadari kalo kerjaan gue sama sekali nggak ada ngomongnya, gue langsung kurang bersemangat. Gimana mau ngelatih bahasa dan latihan percakapan, kalo tiap hari kagak ngomong apa-apa.
Jangankan Bahasa Inggris, kayaknya Bahasa Jepang gue juga lama-lama karatan.

GASWAT!!!

Aku jadi inget sama rekan kerja di tempat lama.
Dia katanya pernah tinggal di Jepang selama 3 tahun sebagai peserta magang, bahkan dia pun mengantongi sertifikat JLPT level 3, yang artinya kemampuan Bahasa Jepang dia mantap punya donk.

Tapi, begitu diminta buat ngomong apalagi interpreter-in meeting di depan banyak orang, dia nggak bisa. Jangankan ngomong Bahasa Jepang, kadang dia ngomong pake Bahasa Indonesia pun orang-orang susah untuk mencerna isi ucapan dia.
Selidik punya selidik *hasil kepo nanya sama orangnya*, katanya selama di Jepang dia kerja individual, sendiri aja gitu, terima instruksi dari bos, trus ngerjain sendiri. Jarang ada interaksi, percakapan apalagi ngobrol sama orang-orang Jepang di sekitarnya.

Dia bisa dapet sertifikat JLPT ya dari hasil ngapalin dan belajar via teks book, tapi prakteknya dia kurang banget.

DAN GUE NGGAK MAU KAYAK GITU!!!

Meski gue akhirnya berhasil menembus level tertinggi dalam tes kemampuan Bahasa Jepang, tapi gue nggak mau kalo cuma teori, jangan sampai ane jadi gagap dan amburadul ketika ngobrol sama orang Jepang, apalagi saat harus jadi interpreter di sebuah meeting.

Gimana kalo ntar gue ketemu Matsujun trus malah gagap depan dia dan nggak bisa ngomong pake Bahasa Jepang?
Yang ada, si Akang malah bilang gini :
“Ngomong aja masih belepotan gitu lu, apa gunanya itu sertifikat JLPT Level 1? BAKAR AJA! BAKAR, NENG!”

Iyaaa! Caci maki saja diriku bila itu bisa membuatmuuuu,
kembali bersinar dan berpijaaar… *lalu duet sama Duta S07*

*lagian kapan juga situ bakal ketemu Matsujun?*
*tiket konser tahun ini aja gagal dapet*
*aduuuh, plis jangan buka luka lama* #LAPINGUS

Anyway, intinya adalah GUE KANGEN DENGAN KERJAAN YANG DULU.
Meski kadang sering ngeluh *kadang apa sering sik?! Konsisten donk mbaak!*, tapi jujur aku bener-bener cinta sama kerjaanku sebagai interpreter.
Meski kadang pusing harus ngomong sampe berbusa selama berjam-jam, meski kadang suka sebel kalo orang yang gue terjemahin itu rese apalagi bahasa yang dia pake kadang ajaib, meski kadang ngedumel ketika bos ngomong panjang lebar trus minta diterjemahin begitu aja,

Tapi
Tapi,
Aku pengen balik lagi ke kerjaan sebagai interpreter.
Bukan sekadar translator yang cuma duduk depan laptop seharian.

Aku pernah merasa ngiri dengan staff lain yang kerjanya di depan laptop, nggak perlu pusing masuk ruang meeting, nggak perlu ketemu orang-orang ajaib di luar sana.
Tapi sekarang gue tarik kembali kata-kata gue itu!

Mungkin kalo diselidiki lebih dalam lagi, sebenernya gue itu butuh interaksi dengan orang-orang sekitar, mungkin gue merasa kesepian karena nggak bisa berinteraksi.
Karena basic bahasa yang gue punya memang menuntut harus selalu ada interaksi setiap harinya, karena yang namanya bahasa kan lama-lama pudar kalau nggak dipake, meski kita tinggal di negara tempat bahasa asing yang kita pelajari tersebut.

Meski sayah seorang introvert akut yang langsung pusing kalo kelamaan di tempat rame dan paling anti basa-basi sama orang, tapi kalo menyangkut kerjaan nampaknya tetep butuh interaksi rutin ya, terutama untuk menunjang interpersonal dan communication skill yang diperlukan banget dalam kerjaan gue.

Well, semoga di office baru nanti aku bisa mendapatkan job yang lebih suitable buat ane dan nggak stress mojok seorang diri mulu :D





Are you listening?

 “Kita dianugerahi dua telinga dan satu mulut, bukankah itu berarti kita sebaiknya lebih banyak mendengar daripada bicara?” Saya sering deng...