[Slice of Life] : Vaksin COVID-19

Hari Sabtu lalu (9/25) gue pergi untuk vaksin COVID-19 untuk yang pertama kalinya.

Iya, gue baru dapet giliran vaksin di akhir September,

yang mana kalo dibandingin beberapa temen, keluarga atau kenalan gue yang lain,

keitung lambat.

 

Vaksin yang gue dapet ini datangnya dari daerah tempat gue tinggal.

Sebetulnya, kantor tempat gue kerja juga menawarkan vaksin,

cuma kuotanya terbatas dan yang didahulukan adalah karyawan yang kerja langsung di lapangan

atau di bagian yang bersentuhan langsung dengan pelayanan publik,

kayak cleaning, kantin, general affairs, dan sebagainya.

 

Karena gue setiap hari work from home (WFH) atau disini lebih sering disebut Telework,

alias nggak perlu datang ke office dan bertemu banyak orang,

so gue dan karyawan sejenis lainnya memiliki prioritas rendah dalam mendapatkan vaksin,

alias dapet giliran paling bontot.

 

Setelah menimbang, memilih dan mikir segala pretelannya,

gue pun memutuskan untuk vaksin di daerah tempat tinggal gue.

Alasannya karena deket rumah, bisa pergi hari libur (sesuai jadwal yang kita booking)

dan pulangnya bisa langsung belenjong, karena tempat vaksin-nya di emoll *Nyahaha*

Lagian, kalo gue vaksin di kantor, kudu datang ke kantor dan cuma menyediakan jam vaksin

di jam kerja alias weekdays.

Males. *dikepret*

 

Vaksin di daerah tempat tinggal gue udah dibuka sejak awal Agustus lalu sebetulnya.

Tapi, ya kembali lagi ke urutan prioritas.

Karena gue nggak termasuk petugas medis, lansia, dan sejenisnya,

maka gue baru dapet giliran vaksin pertama di akhir September.

Sedangkan bagian keduanya nanti di pertengahan Oktober.

 

Di sini (Jepang), prosedur vaksin diawali dengan datangnya pemberitahuan lewat pos dari

kantor walikota setempat.

Pemberitahuan dikirim ke setiap rumah penduduk yang terdaftar di buku besar kota tempat dia tinggal.

Isi pemberitahuan udah sepaket dengan kartu vaksin yang musti dibawa saat vaksin ntar,

cara booking tanggal, tempat dan jam vaksin, beberapa prosedur, petunjuk, peringatan

dan sejenisnya terkait vaksin dan COVID-19, serta formulir apakah bersedia di-vaksin/tidak

dan diagnosa dari dokter apakah memungkinkan untuk divaksin atau tidak.

(Diagnosa ini diputuskan di tempat saat vaksin ntar)

 

Setelah booking lewat aplikasi yang ditunjuk di surat pemberitahuan,

kita tinggal cek lokasi vaksin dan tunggu sampai hari H deh.

 

Lalu, setelah menunggu 13 kali purnama #HALAH,

hari H pun tiba.

 

Gue booking di hari Sabtu jam 12:30.

Sekitar jam 12:00 gue udah cuss dari rumah menuju emoll tempat vaksin,

karena kudu jalan kaki sekitar 20 menit sampai ke tempat vaksin.

Kagak ada gojek ato angkot, mbak.

 

Tempat vaksin ada di AEON Mall deket rumah gue, di lantai 6.

Begitu tiba di emoll, gue melihat jam menunjukkan pukul 12:26,

setdaah gue terlalu nyantey!

Ini Jepang, bro! Kagak ada acara ngaret, semua kudu on time!

Gue pun langsung ngibrit nyari lift untuk menuju ke lantai 6.

 

Begitu gue tiba di lantai 6 dan pintu lift terbuka,

disana gue melihat hall luas yang udah di setting sedemikian rupa jadi tempat vaksin,

lengkap dengan rute dan tenda sementara tempat vaksin plus ruang tunggu.

 

Begitu keluar dari lift, seorang staff pria berumur sekitar 60-an menghampiri gue

dan memandu menuju pintu masuk supaya gue nggak salah jalan.

Tau aja si bapa kalo gue tukang nyasar, bahkan di dalem gedung pun gue mah langganan nyasar.

 

Setelah menemukan papan petunjuk bertuliskan "PINTU MASUK"

gue pun menuju area tersebut dan disana sudah menunggu staff lain yang dengan sigap

memberitahu gue kalo area ini untuk vaksin type Pfizer, sedangkan untuk type Moderna

ada di lantai lain.

Setelah meyakinkan kalo gue dapet kartu vaksin untuk type Pfizer,

staff tersebut langsung ngukur suhu badan gue dan memberikan hand sanitizer.

 

Setelah itu gue dipandu sama staff lainnya menuju area pendaftaran.

Disana sudah menunggu staff yang akan meminta gue untuk menunjukkan kartu vaksin,

formulir diagnosa yang udah diisi sebelumnya di rumah, dan kartu identitas.

Gue juga diminta untuk menyebutkan nama lengkap sebagai konfirmasi

dan mencocokkan dengan kartu identitas.

 

Setelah semua persyaratan yang gue bawa lengkap dan nggak ada masalah,

gue pun diminta untuk menuju bagian pendaftaran kedua (entah apalah ini namanya),

yang pasti disini gue dikasih nomor urut vaksin, dan dicek lagi kelengkapan dokumen gue.

 

Dengan mengantongi nomor urut vaksin, gue pun menuju tenda-tenda kecil di bagian tengah hall

yang bakal dipake untuk tempat menyuntikkan vaksin.

Sebelum masuk ke tenda, gue diminta menunjukkan nomor urut,

lalu gue dipandu ke salah satu tenda untuk mendapatkan suntikan vaksin.

 

Di dalam tenda, gue diminta menunjukkan nomor urut dan kartu vaksin.

Lalu, petugas medis tanya lengan kanan atau kiri yang mau disuntik.

Lha ya gue mah yang mana aja sih...

Tapi petugas medis bilang, kalo kita biasa pakai tangan kanan,

sebaiknya yang disuntik tangan kiri.

Dan gue pun nurut.

 

Selagi petugas medis menyiapkan vaksin, dokter akan mengajukan beberapa pertanyaan

sebagai bahan pertimbangan apakah gue memungkinkan untuk mendapatkan vaksin hari itu

atau tidak.

Seorang dokter pria berumur sekitar 60-an mendatangi gue dan membaca formulir diagnosa.

Ketika dia baca nama gue yang disitu langsung ketahuan kalo gue orang asing,

dese lalu tanya, "Ini dipanggilnya apa?" karena bingung nama gue panjang banget.

 

Setelah gue memberikan nama panggilan, bapa dokter itu nanya lagi.

"Bahasa Jepang OK?"

"Yoi, Dok" *sok ikrib emang*

"Bahasa Inggris?"

"No problem, Bro!" *lama-lama dikepret pake stetoskop dah gue*

"Dari negara mana?" dia nanya lagi

"Indonesia"

"Oooh, Indoneshaay" entah kenapa si bapa dokter satu ini ngucapin Indonesia pake logat Cinta Laura.

 

Setelah beberapa pertanyaan lanjutan, kayak apakah gue punya alergi,

apakah gue memiliki riwayat penyakit berat, apakah gue sedang dalam masa penyembuhan

atau minum obat dari dokter,

yang semuanya gue jawab NO,

bapa dokter pun memutuskan bahwa gue memungkinkan untuk mendapatkan vaksin di hari itu.

Ditambah gue pun menyetujui untuk diberikan vaksin.

 

Petugas medis yang tadi nyiapin vaksin pun datang dan gantian dengan dokter

yang pergi ke tenda selanjutnya untuk mendiagnosa orang berikutnya.

Beberapa detik kemudian, jarum suntik udah mendarat dengan mulus di lengan kiri gue

dan vaksin COVID-19 pun masuk meresap ke seluruh jiwa dan raga gue #HALAH

 

Setelah proses penyuntikan vaksin yang nggak sampe semenit itu selesai,

gue pun keluar tenda dan dipandu sama staff lainnya untuk menuju ruang tunggu.

Setelah vaksin disuntikkan, kita harus nunggu selama 15 menit untuk melihat reaksi vaksin.

Karena dikhawatirkan setelah vaksin ada yang merasa pusing, mual, lemas tidak berdaya gundah gulali.

 

Kartu vaksin yang gue bawa tadi diserahkan ke staff untuk dikasih tanda (kayak stiker gitu)

sebagai bukti bahwa gue udah vaksin.

Bukti vaksin bisa diambil setelah waktu tunggu 15 menit gue selesai.

 

Yang paling menarik dari proses vaksin ini adalah ruang tunggu.

Emang dasar orang Jepang yang selalu teratur, teroganisir, on time, dan nggak suka hal-hal yang mubazir,

semua serba rapih.

 

Gue dipandu ke ruang tunggu dimana disana udah tersedia banyak kursi dan beberapa monitor gede.

Gue duduk sesuai urutan nomor vaksin, dan gue bisa ngeliat nomor urut vaksin gue

di monitor gede ditambah notifikasi berapa sisa waktu tunggu gue.

 

Orang yang waktu tunggu-nya udah habis alias udah 15 menit,

maka si monitor bakal otomatis mengumumkan nomor vaksinnya sudah bisa cuss meninggalkan ruang tunggu,

lalu ngambil kartu tanda sudah vaksin dan meninggalkan tempat vaksin.

 

Di monitor terpampang countcown waktu tunggu.

Mulai dari 15 menit, 10 menit, 5 menit ampe 2 menit lagi gue bisa meninggalkan ruang tunggu pun

ada notifikasinya.

Setdaaah detail amat ya! Hebat dah Jepang!

Jadi semuanya dapet waktu tunggu sama rata 15 menit,

kagak ada yang curi-curi waktu pengen cepet-cepet pulang,

kagak ada juga yang lupa gue udah nunggu disini berapa menit?

Udah pas 15 menit kah atau ternyata udah 15 taun nggak pulang-pulang? #HALAH

 

Di sekitar ruang tunggu pun banyak staff yang stanby untuk memonitoring,

sapa tau ada yang ngerasa kondisi badannya kurang baik sesudah vaksin.

Jadi bisa gercep ngasih pertolongan.

 

Setelah tepat 15 menit dan nomor urut gue terpampang di monitor yang menandakan

gue udah bisa meninggalkan tempat vaksin,

gue pun beranjak dari tempat duduk dan menuju loket buat ngambil tanda sudah vaksin gue.

Setelah kartu tanda sudah vaksin di tangan, gue pun mengucapkan terima kasih sama staff,

lalu cuss pulang deh.

 

.....

 

Vaksin kedua gue dilakukan di tanggal 16 Oktober, dengan jam booking yang sama.

Prosedur dan tata caranya sama kayak vaksin pertama.

Dan seperti biasa, dokter dan petugas medis yang ngeliat nama gue bukan nama orang Jepang,

langsung tanya-tanya dan ngobrol.

Gue seneng banget kalo diajak ngobrol gini, maklum sejak covid jadi jarang ketemu manusia. Haha.

 

Dokternya kali ini nanya pake bahasa Inggris pulak.

Aya aya wae lah si bapa dokter ini.

Trus dia bilang kalo vaksin kedua ini sebisa mungkin menghindari makan pedes.

Waduuuuh, makanan pedes itu udah jadi jati diri sayah, pa!

Haha.

 

Setelah vaksin kedua selesai, seperti sebelumnya, gue pun dipandu untuk nunggu di ruang tunggu

selama 15 menit.

Setelah kelar nunggu, gue pun cuss ngambil kartu tanda udah vaksin dan cuss pulang...

eh, belenjong dulu deh. Mumpung udah ke emoll. Nyahahaha.





[Holiday] : Fukuoka

 Akhir tahun 2020 lalu, gue pergi ke beberapa kota di area Kyushu-Jepang.

Kalo di peta, kota-kota ini berada di bagian bawah Jepang.

Biasanya di akhir tahun, selama libur musim dingin, gue akan pulkam ke Indonesia.

Tapi, gegara pandemi gue nggak bisa pulang tahun ini.

So, gue pun ngebolang ke beberapa area Jepang untuk menghibur diri gegara nggak bisa

pulang ke tanah air tercinta dan makan cireng bumbu kesukaan gue #PENTING.

 

Area yang gue datangi buat ngebolang adalah Fukuoka, Kumamoto dan Okinawa.

Oiya, gue ngebolang sendiri aja alias solo traveling, coz gue lagi pengen sendiri #eaak

dan nggak mau diganggu saat bengong di perjalanan. Haha.

Ditambah lagi karena pandemi, kayaknya lebih leluasa aja kalo ngebolang sendiri :D


[Si Bolang siap bertualang]

 

Kita mulai cerita gue dari area yang pertama gue datangi : Fukuoka.

 

Dari tempat tinggal gue, Kanagawa Perfecture, gue menuju Fukuoka dengan pesawat

dari Narita Airport.

Dua hari sebelum keberangkatan, gue pergi ke Bus Center untuk booking bis menuju Narita Airport.

Sebetulnya bisa naik Narita Express dari Yokohama Station, tapi dari rumah gue ke Yokohama Station

rada ribet, trus gue harus naik-turun kereta.

Sedangkan kalo naik bus, gue tinggal ke halte bus deket rumah (jalan kaki 12 menit),

lalu naik bis, duduk manis, dan nyampe deh di Narita. Praktis kan?!

 

Begitu tiba di Bus Center, gue dengan pedenya menuju loket dan pesen tiket untuk ke Narita Airport.

Sekarang udah nggak ada bis ke Narita, kata si petugas loket yang

langsung bikin gue pucat pasi.

Whaaaat?!

Kenapa? tanya gue ke si ibu petugas loket.

Sejak April lalu, sudah tidak ada bis ke Narita, cuma ada ke Haneda Airport.

 

Oooh, gue cuma bisa ber-ooh dengan lesu dan pergi meninggalkan loket dengan kuciwa.

Kalo sejak April, itu artinya sejak pandemi.

Nampaknya pandemi memberikan dampak cukup besar untuk pariwisata dan transportasi,

sampe-sampe bus yang ngangkut ke Narita aja ampe dihilangin.

Btw, pesawat yang biasanya take-off dari Narita adalah maskapai domestik dan LCC,

ada juga beberapa maskapai tujuan luar jepang kayak Garuda.

Sedangkan yang cus dari Haneda, biasanya yang ANA dan beberapa maskapai yang high-price :D

 

Nggak nyerah, gue pun searching bus lain yang pergi dari stasiun lain deket rumah.

Gue cari stasiun sebelah dan sebelahnya, sampai ke 3 stasiun deket rumah.

Dan hasilnya NIHIL!

Semua bus menuju Narita Airport atau sebaliknya udah nggak beroperasi efek dari pandemi.

Cuma ada yang menuju Haneda Airport. 

 

Setelah searching sana-sini dan compare biaya transport dari berbagai macam transport,

gue pun menemukan yang paling cucok, paling praktis dan paling aman dari semua tranport.

Jadi, rencananya gue akan ke Stasiun Shinjuku - Tokyo dulu dengan kereta biasa,

lalu dari Shinjuku lanjut naik Aiport Bus menuju Narita Airport.

Kalo dari Shinjuku, Alhamdulillah masih ada bus yang beroperasi menuju Narita.

Bisa aja gue ngeteng naik kereta atau Narita Express,

tapi rutenya kalo dari rumah gue ribet dan harus berkali-kali naik-turun kereta.

Ongkosnya pun lumayan gede dibandingkan naik bus.

 

Toh gue ngebolang santey, banyak waktu, sendirian pulak.

Jadi ngga usah kompromi sama siapapun, bisa sesuka gue ngatur waktu,

so gue pun pilih naik bus dari Shinjuku supaya santey.

 

Pesawat gue menuju Fukuoka take-off jam 10-an, yang artinya gue harus tiba di Narita jam 9-an.

Bisa sih mepet sampai 20 menit sebelum take off, tapi gue nggak mau buru-buru dan

gue nggak tau bakal ada apa di jalan, jadinya gue targetin nyampe Narita jam 9.

Airort Bus dari Shinjuku memakan waktu 2 jam perjalanan sampai Narita.

So, gue udah stenbay jam 7 pagi di Shinjuku Bus Terminal.

Selalu yang gue salut sama Jepang, semua on time!

Jam 7 pagi bus berangkat, kagak ada ngetem-ngeteman nyari penumpang,

dan jam 9 kurang gue udah nyampe di Terminal 3 Narita.


[Akhirnya nyampe juga di Narita]


Masakapai yang gue pakai adalah Peach, maskapai LCC untuk tujuan domestik.

Dari pengalaman gue, Peach selalu nongki di Terminal 3 Narita,

jadinya gue pun turun di Terminal 3.

Begitu gue masuk terminal 3, ternyataaaa maskapai Peach dipindahin ke Terminal 1.

Masyalaaaaaa jauh pulaaak!

Untungnya gue spare waktu banyak alias nggak mepet-mepet nyampe di bandara,

dan untungnya lagi ada shuttle bus yang datang tiap 10 menit sekali dan on time cencunya

yang ngangkut gue sampe terminal 1 dan haratiss #PENTING.

 

Belum nyampe Fukuoka, tapi banyak banget kejadian tidak terduga yang bikin

gue ketar-ketir.

Ini pertama kalinya gue ngebolang di saat pandemi dan kerasa banget banyak perubahan.

Harap-harap cemas sih, tapi excited juga ngebayangin hal baru apa lagi yang bakal gue temui

selama perjalanan gue ngebolang ini.

 

Perjalanan menuju Fukuoka memakan waktu sekitar 1 jam 20 menit.

Gue dapet kursi di lorong, bareng dengan dua cowok usia sekitar duapuluhan di sebelah gue.

Karena cuma 1 jam lebih, palingan gue baca buku, dengerin musik dan tidur sepanjang perjalanan.

Apalagi gue bangun subuh demi ngejar bis dari Shinjuku tadi pagi, jadinya pules deh.

 

Alhamdulillah pesawat mendarat dengan selamat dan mulus di Fukuoka Airport.

Lagi-lagi, karena pandemi, penumpang yang turun pun harus diatur.

Yang pertamakali turun adalah seat bagian depan, lalu setelah penumpang seat depan turun semua,

seat tengah baru boleh turun, dilanjutkan sengan seat paling belakang.

Nggak ada yang buru-buru berdiri, ambil bagasi dan mejeng di gang

setelah lampu tanda seatbelt mati dan grasak grusuk pengen turun duluan.

Mau nggak mau harus ngantreee ya cyin.

Karena seat gue ada di paling belakang, gue pun turun paling akhir.

 

Gapapa, gue mah nyantey, kan ngebolang santey :D

 

Tiba di Fukuoka Airport, yang pertama gue cari adalah makan siang.

Bok ya lapeeer akika, pagi tadi cuma sempet sarapan onigiri sama protein drink.

Pengen nasi sebakul kayaknya ini mah.

 

Gue pun menuju stasiun kereta terdekat dan menuju ke Hakata,

pusat kota paling rame (katanya) di Fukuoka.

Sebetulnya dua tahun lalu gue pernah ke Fukuoka, untuk urusan kerjaan.

Tapi cuma beberapa jam alias transit doank di Fukuoka Airport lalu naik pesawat menuju Tokyo.

Jadinya meneketehe gue tentang Fukuoka, dan sejak saat itu akik bersyumpah untuk balik

lagi ke Fukuoka buat liburan, not on duty!

 

Yang paling terkenal dari Hakata adalah Hakata Ramen atau Tonkotsu Ramen.

Tapiiiii, itu ramen pake pork. Dari namanya aja Tonkotsu (Ton=babi),

yang otomatis akika ngga bisa makan.

So, pilihan gue jatuh ke rumah makan Jepang yang menyajikan menu sashimi.

Jauh-jauh ke Fukuoka, makannya sashimi juga, di Tokyo juga banyak keleuus.

Bodo amat lah, gue ngebolang buat santey, bukan buat berburu kuliner.

Lagian gue laper setengah metong, yang penting isi perut dulu.

 

Alhamdulillah, rumah makan yang gue datengin dengan random ini uenaaak banget.

Menu sashimi-nya komplit dan endeuuus.

Gue sampe pesen nasi porsi kuli. Haha.


[Isi amunisi dulu supaya kuat lanjut ngebolang]

 

Setelah perut kenyang dan tenaga terisi, gue pergi jelong-jelong sekitaran Hakata.

Karena waktu check-in hostel tempat gue nginap masih beberapa jam lagi,

so gue pun explore area sekitaran Hakata.

Sekali lagi gue ikrarkan, bahwa ngebolang kali ini gue nggak berambisi untuk pergi ke spot

wisata terkenal, wisata kuliner khas area tersebut, beli oleh-oleh dan sebagainya.

Gue lempar gugel map dan trip advisor jauh-jauh.

Gue cuma akan pergi kemana kaki ini ingin melangkah #AHZEEG

 

Gue cuma pengen bengong, pergi sendirian ke tempat yang belum pernah gue datengin,

menikmati suasana dan alam sekitarnya, berlama-lama duduk sambil menerawang dan

nggak mikirin waktu.

Ketika gue lapar, gue akan pergi ke rumah makan terdekat (yang tanpa babi tentunya),

ketika gue capek di tengah perjalanan, gue akan cari cafe terdekat untuk nyeruput kopi

dan beristirahat sejenak.

Gue nggak peduli apakah rumah makan itu terkenal, apakah cafe yang gue datangi itu

viral dan pernah diliput di TV.

Gue cuma mengikuti insting gue selama ngebolang ini.

 

Dari Hakata Station cuma butuh 7 menit naik kereta sampai ke hostel,

so gue punya banyak waktu untuk jelong-jelong di sekitaran Hakata.

Gue menemukan ada taman yang nggak begitu gede tapi ada kolam dan banyak bebek berenang.

Gue pun menghentikan langkah gue sejenak dan foto-foto bentar, lalu duduk di pinggir kolam

sambil bengong dan ngeliatin bebek-bebek berenang.

Yaowlooo, ngeliatin bebek berenang aja bahagyaah sayah.




 

Setelah itu, gue menelusuri jalan setapak di taman itu yang ternyata nama tamannya adalah

Maizuru Park, dan sampailah gue ke sebuah bangunan mirip castle.

Gue lupa apa nama castle-nya *digetok*, yang pasti pas gue datang ke sana castle-nya

lagi direnovasi dan gue nggak bisa masuk.

Jadinya cuma foto-foto dari luar aja.

Setelah itu gue jalan-jalan lagi di sekitaran situ sambil ngejar-ngejar burung merpati

yang jinak-jinak dan lagi asik maen di taman depan castle.

*hidup yang damai itu adalah saat kamu merasa kejar-kejaran sama merpati pun udah bahagyah*

 

Dari Maizuru park, gue ngesot menuju Nakasu-kuwabata river yang nggak jauh dari situ.

Sungainya bersiiih, nggak ada tuh sampah apalagi tokai saling bergumul di dalam sungai.

Kalo ngeliat sungainya, jadi inget drama-drama Jepang,

anak-anak SMA pada nongkrong di pinggiri sungai, bolos sekolah dan pada mancing

sambil becanda-becanda.




 

Gue jalan kaki menelusuri sungai sampe ke ujung dan bertanya-tanya apa yang ada di ujung sungai ini.

Di ujung sungai, gue menemukan ada.....

Pusat Perbelanjaan alias EMOLLL!

Haha.

Karena nanggung udah nyampe mall, ya udah gue masuk dan liat-liat sekitaran mall.

Ternyata mall-nya punya sungai buatan dan air mancur yang baguuus banget.

Kebetulan, pas gue nyampe sana, pas lagi ada pertunjukkan air mancur.

Wiiiih, lucky me!

Dan gue pun menikmati pertunjukan air mancur selama beberapa menit.

Baguuus banget!

 

Karena dari tadi jalan kaki mulu, gue pun memutuskan untuk istirahat sejenak.

Gue cari cafe di sekitaran mall, dan menemukan Muji Books & cafe.

Asiiik, ada cafe cozy dan tenang.

Gue pun memesan Cafe Americano dan istirahat sambil nyeruput kopi dan baca buku.

 

Hari makin sore, dan kaki gue juga udah mulai pegel untuk diajak jelong-jelong.

Ditambah udara musim dingin yang mulai menusuk kulit dan angin yang makin kenceng di musim dingin.

Mana gue udah laper lagi #setdaah

Tadi nasi porsi kuli sama sashimi satu piring cuma lewat doank kayaknya.

 

Di perjalanan menuju hostel, gue mampir ke minimarket buat beli makan malam.

Dengan kondisi badan yang udah capek, kayaknya nyampe hostel ntar

gue bakalan langsung mandi, sholat, lalu rebahan.

Udah males nyari makan di luar, jadinya beli makan di minimarket dan dimakan di hostel aja.

 

Tempat gue nginap selama di Fukuoka adalah Webase Hakata Hostel.

Hostel ini ada di area Nakasu-kuwabata, Hakata-ku, Fukuoka.

Dari Fukuoka Airport tinggal naik kereta menuju Nakasu-kuwabata Station sekitar 7 menit,

lalu turun dari station cukup ngesot jalan kaki sekitar 5 menit.

Hostelnya pun mudah dikenali, karena di depan hostel ada patuh kucing gede pake kostum astronot :D




 

Gue pilih type dormitory room khusus untuk cewek, dengan satu kamar berisi dua bed.

Saat gue nginep di sana, gue sekamar sama satu cewek Jepang.

Gue nggak tau wajahnya kayak gimana, karena nggak sempat nyapa atau say hello.

Ketika gue nyampe di kamar, dese lagi keluar.

Dan ketika dese masuk kamar, gue udah pules.

Pun ketika gue bangun pagi, dese masih pules.

Yang gue inget, room-mate gue rada-rada berisik di tengah malem.

Dia beresin kopernya grasak-grusuk dan ngegunting kuku tengah malem. Ada-ada aja.

 

Hostel tempat gue nginep punya shower room yang luaaaas dan bersih banget.

Lengkap dengan powder room alias ruangan buat dendong, amenity lengkap di tiap shower room,

plus hairdryer dan catokan gratis #PENTING.

Oiya, kalo mau minjem catokan, harus ke resepsionis dulu karena nggak disimpen di powder room.

 

Di lantai paling atas, lantai 9, ada lounge yang bisa dipake bareng-bareng.

Di lounge tersedia beberapa kursi dan meja untuk makan (karena nggak boleh makan di kamar),

ada satu tipi gede, dan kitchen beserta kulkas, piring, dan semua kelengkapannya.

Ada coffee machine juga dan kita dikasih satu kali coffee gratis untuk setiap satu malam nginep.

Kalo cuaca lagi bagus, di luar lounge ada balkon dan beberapa kursi buat nongki

sambli memandang bintang di langit #eaaak

Tapi berhubung lagi musim dingin, mahluk tropis kayak akik ini lebih memilih di dalem lounge ajah.

 

Gue stay di Fukuoka cuma dua hari satu malam, tepat saat Christmas Eve, 24 Desember.

Bertepatan pulak dengan tayangnya episode terakhir VS Arashi.

So, gue pun makan malem sambil nongkrongin acara VS Arashi di lounge.

Untungnya lounge-nya lagi sepi, sehingga TV bisa gue kuasai seorang diri

*lalu tertawa jahanam*

Ada sih beberapa guest yang lain, tapi mereka pada asik sendiri.

Ada yang ngobrol berdua di balkon, ada yang lagi ketak-ketik sama lapie-nya di pojokan,

atau cuma datang ke kitchen, masak mie instant, makan dan balik lagi ke kamar.

Dan gue asik ngunyah kimchi sama onigiri sambil memandangi mas-mas badai di tipi :D

 

Sekitar jam 22:00, mata gue udah semaput.

Ditambah kaki pegel dan badan capek abis penerbangan tadi pagi.

Acara VS Arashi sebetulnya masih lanjut sampe jam 23:00, tapi kondisi badan gue udah

nggak bisa diajak kompromi.

Akhirnya gue nyerah dan memutuskan balik ke kamar buat bobo chantieq.

Acara VS Arashi ntar gue donlot aja buat ditonton kelanjutannya. Haha.

 

Jam 05:00 gue bangun.

Semalam gue nggak bisa tidur nyenyak gegara suara room-mate gue yang gunting kuku tengah malem.

Cetak cetik cetuk, berisik banget dah.

Gue nggak tau bisa tidur jam berapa tadi malam.

Untungnya gue cuma satu malam nginep di sini.

Setelah sholat subuh, gue pun ambil jaket dan smartphone beserta earphone dan pergi

ngibrit buat jalan-jalan pagi sambi dengerin musik.

 

Pagi itu masih gelap, karena matahari di musim dingin biasanya nongol lebih lambat.

Sekitar jam 6 atau 6:30 baru terang.

Gue morning walking ke sekitaran Nakasu-kuwabata River yang gue lewatin kemarin sore.

Karena masih pagi buta, suasana masih sepi.

Cuma ada beberapa orang yang lagi nyiapin toko, bersih-bersih nyapu di depan restoran

dan beberapa pedagang ikan segar yang udah buka.

 

Dari area sungai, gue ngesot ke taman yang ada di dekat situ.

Nggak begitu banyak yang bisa dieksplore dari taman itu, tapi lumayan lah buat jalan kaki.

Di samping taman, ternyata ada kuil lumayan gede.

Gue nggak bisa baca kanji di depan gerbang kuil-nya, jadi nggak tau apa nama kuilnya *digetok*



 


Dari beberapa penjelasan yang gue baca, kuil yang gue datengin ini katanya

tempat untuk memohon kelancaran pekerjaan, sekolah atau hubungan dengan relasi.

Makanya, ketika pagi-pagi buta gue datang ke sana,

banyak orang yang datang ke kuil itu sebelum berangkat kerja.

Dari setelannya, kayaknya sih pekerja kantoran gitu.




 

Gue selalu suka suasana pagi-pagi buta, saat orang-orang masih pules tidur,

saat cuma ada semilir angin dan suara kicauan burung,

saat nggak ada banyak orang dan suara kendaraan yang bising,

saat gue bisa bengong menikmati udara pagi tanpa ada yang ganggu,

hanya ditemani lagu-lagu kesukaan gue.





 

Setelah matahari mulai tinggi, dan gue udah mulai laper #teuetupyaa

gue pun kembal ke hostel setelah sebelumnya mampir di minimarket buat beli sarapan.

Enaknya ngebolang di Jepang itu adalah karena banyak minimarket yang buka dari subuh ampe

tengah malam (akhir-akhir ini minimarket yang buka 24 jam berkurang, demi mengurangi

jam kerja yang berlebihan).

Jadi, kita nggak bakalan kelaparan meski laper di pagi-pagi buta

atau nyari makanan di tengah malam.

Apalagi buat gue yang nggak bisa makan babi dan sejenisnya, minimarket jadi pilihan yang aman.


[Pulang dari minimarket, bawa-bawa kresek. Haha]

 

Begitu kembali ke hostel, gue langsung mandi dan sarapan di lounge,

karena hari ini gue akan menuju ke destinasi berikutnya, yaitu area Kumamoto.

Gue check-out jam 10 pagi dan langsung menuju ke Hakata Bus Station untuk menuju

Kumamoto.

 

Fukuoka dan Kumamoto ini masih di area Kyushu, dan jaraknya nggak begitu jauh serta nggak

dipisahkan lautan atau status derajat kita yang bagai langit dan bumi itu #NAOONSIH

Jadinya, dari Fukuoka cukup ditempuh dengan bus sekitar 3 jam.

Karena gue udah beli tiket bus ke Kumamoto kemarin pas nyampe di Fukuoka,

gue tinggal nunggu kedatangan bus di halte yang udah ditunjuk di tiket.

Biaya bus dari Fukuoka ke Kumamoto sekitar 3000 yen sekali jalan.

Bisnya udah pasti nyaman dan tenang, serta on time cencunya.

 

Sebetulnya gue masih pengen lebih lama di Fukuoka

supaya bisa lebih eksplore, nggak cuma sekitar Hakata,

tapi daerah pinggiran-pinggirannya juga.

Tapi, apa daya lah liburan gue terbatas.

Semoga di lain kesempatan gue bisa datang lagi ke Fukuoka.


[Bye Bye Fukuoka!]

 

Cerita ngebolang ke Kumamoto lanjut di postingan berikutnya ya :D





Are you listening?

 “Kita dianugerahi dua telinga dan satu mulut, bukankah itu berarti kita sebaiknya lebih banyak mendengar daripada bicara?” Saya sering deng...