[Slice of Life] : Vaksin COVID-19

Hari Sabtu lalu (9/25) gue pergi untuk vaksin COVID-19 untuk yang pertama kalinya.

Iya, gue baru dapet giliran vaksin di akhir September,

yang mana kalo dibandingin beberapa temen, keluarga atau kenalan gue yang lain,

keitung lambat.

 

Vaksin yang gue dapet ini datangnya dari daerah tempat gue tinggal.

Sebetulnya, kantor tempat gue kerja juga menawarkan vaksin,

cuma kuotanya terbatas dan yang didahulukan adalah karyawan yang kerja langsung di lapangan

atau di bagian yang bersentuhan langsung dengan pelayanan publik,

kayak cleaning, kantin, general affairs, dan sebagainya.

 

Karena gue setiap hari work from home (WFH) atau disini lebih sering disebut Telework,

alias nggak perlu datang ke office dan bertemu banyak orang,

so gue dan karyawan sejenis lainnya memiliki prioritas rendah dalam mendapatkan vaksin,

alias dapet giliran paling bontot.

 

Setelah menimbang, memilih dan mikir segala pretelannya,

gue pun memutuskan untuk vaksin di daerah tempat tinggal gue.

Alasannya karena deket rumah, bisa pergi hari libur (sesuai jadwal yang kita booking)

dan pulangnya bisa langsung belenjong, karena tempat vaksin-nya di emoll *Nyahaha*

Lagian, kalo gue vaksin di kantor, kudu datang ke kantor dan cuma menyediakan jam vaksin

di jam kerja alias weekdays.

Males. *dikepret*

 

Vaksin di daerah tempat tinggal gue udah dibuka sejak awal Agustus lalu sebetulnya.

Tapi, ya kembali lagi ke urutan prioritas.

Karena gue nggak termasuk petugas medis, lansia, dan sejenisnya,

maka gue baru dapet giliran vaksin pertama di akhir September.

Sedangkan bagian keduanya nanti di pertengahan Oktober.

 

Di sini (Jepang), prosedur vaksin diawali dengan datangnya pemberitahuan lewat pos dari

kantor walikota setempat.

Pemberitahuan dikirim ke setiap rumah penduduk yang terdaftar di buku besar kota tempat dia tinggal.

Isi pemberitahuan udah sepaket dengan kartu vaksin yang musti dibawa saat vaksin ntar,

cara booking tanggal, tempat dan jam vaksin, beberapa prosedur, petunjuk, peringatan

dan sejenisnya terkait vaksin dan COVID-19, serta formulir apakah bersedia di-vaksin/tidak

dan diagnosa dari dokter apakah memungkinkan untuk divaksin atau tidak.

(Diagnosa ini diputuskan di tempat saat vaksin ntar)

 

Setelah booking lewat aplikasi yang ditunjuk di surat pemberitahuan,

kita tinggal cek lokasi vaksin dan tunggu sampai hari H deh.

 

Lalu, setelah menunggu 13 kali purnama #HALAH,

hari H pun tiba.

 

Gue booking di hari Sabtu jam 12:30.

Sekitar jam 12:00 gue udah cuss dari rumah menuju emoll tempat vaksin,

karena kudu jalan kaki sekitar 20 menit sampai ke tempat vaksin.

Kagak ada gojek ato angkot, mbak.

 

Tempat vaksin ada di AEON Mall deket rumah gue, di lantai 6.

Begitu tiba di emoll, gue melihat jam menunjukkan pukul 12:26,

setdaah gue terlalu nyantey!

Ini Jepang, bro! Kagak ada acara ngaret, semua kudu on time!

Gue pun langsung ngibrit nyari lift untuk menuju ke lantai 6.

 

Begitu gue tiba di lantai 6 dan pintu lift terbuka,

disana gue melihat hall luas yang udah di setting sedemikian rupa jadi tempat vaksin,

lengkap dengan rute dan tenda sementara tempat vaksin plus ruang tunggu.

 

Begitu keluar dari lift, seorang staff pria berumur sekitar 60-an menghampiri gue

dan memandu menuju pintu masuk supaya gue nggak salah jalan.

Tau aja si bapa kalo gue tukang nyasar, bahkan di dalem gedung pun gue mah langganan nyasar.

 

Setelah menemukan papan petunjuk bertuliskan "PINTU MASUK"

gue pun menuju area tersebut dan disana sudah menunggu staff lain yang dengan sigap

memberitahu gue kalo area ini untuk vaksin type Pfizer, sedangkan untuk type Moderna

ada di lantai lain.

Setelah meyakinkan kalo gue dapet kartu vaksin untuk type Pfizer,

staff tersebut langsung ngukur suhu badan gue dan memberikan hand sanitizer.

 

Setelah itu gue dipandu sama staff lainnya menuju area pendaftaran.

Disana sudah menunggu staff yang akan meminta gue untuk menunjukkan kartu vaksin,

formulir diagnosa yang udah diisi sebelumnya di rumah, dan kartu identitas.

Gue juga diminta untuk menyebutkan nama lengkap sebagai konfirmasi

dan mencocokkan dengan kartu identitas.

 

Setelah semua persyaratan yang gue bawa lengkap dan nggak ada masalah,

gue pun diminta untuk menuju bagian pendaftaran kedua (entah apalah ini namanya),

yang pasti disini gue dikasih nomor urut vaksin, dan dicek lagi kelengkapan dokumen gue.

 

Dengan mengantongi nomor urut vaksin, gue pun menuju tenda-tenda kecil di bagian tengah hall

yang bakal dipake untuk tempat menyuntikkan vaksin.

Sebelum masuk ke tenda, gue diminta menunjukkan nomor urut,

lalu gue dipandu ke salah satu tenda untuk mendapatkan suntikan vaksin.

 

Di dalam tenda, gue diminta menunjukkan nomor urut dan kartu vaksin.

Lalu, petugas medis tanya lengan kanan atau kiri yang mau disuntik.

Lha ya gue mah yang mana aja sih...

Tapi petugas medis bilang, kalo kita biasa pakai tangan kanan,

sebaiknya yang disuntik tangan kiri.

Dan gue pun nurut.

 

Selagi petugas medis menyiapkan vaksin, dokter akan mengajukan beberapa pertanyaan

sebagai bahan pertimbangan apakah gue memungkinkan untuk mendapatkan vaksin hari itu

atau tidak.

Seorang dokter pria berumur sekitar 60-an mendatangi gue dan membaca formulir diagnosa.

Ketika dia baca nama gue yang disitu langsung ketahuan kalo gue orang asing,

dese lalu tanya, "Ini dipanggilnya apa?" karena bingung nama gue panjang banget.

 

Setelah gue memberikan nama panggilan, bapa dokter itu nanya lagi.

"Bahasa Jepang OK?"

"Yoi, Dok" *sok ikrib emang*

"Bahasa Inggris?"

"No problem, Bro!" *lama-lama dikepret pake stetoskop dah gue*

"Dari negara mana?" dia nanya lagi

"Indonesia"

"Oooh, Indoneshaay" entah kenapa si bapa dokter satu ini ngucapin Indonesia pake logat Cinta Laura.

 

Setelah beberapa pertanyaan lanjutan, kayak apakah gue punya alergi,

apakah gue memiliki riwayat penyakit berat, apakah gue sedang dalam masa penyembuhan

atau minum obat dari dokter,

yang semuanya gue jawab NO,

bapa dokter pun memutuskan bahwa gue memungkinkan untuk mendapatkan vaksin di hari itu.

Ditambah gue pun menyetujui untuk diberikan vaksin.

 

Petugas medis yang tadi nyiapin vaksin pun datang dan gantian dengan dokter

yang pergi ke tenda selanjutnya untuk mendiagnosa orang berikutnya.

Beberapa detik kemudian, jarum suntik udah mendarat dengan mulus di lengan kiri gue

dan vaksin COVID-19 pun masuk meresap ke seluruh jiwa dan raga gue #HALAH

 

Setelah proses penyuntikan vaksin yang nggak sampe semenit itu selesai,

gue pun keluar tenda dan dipandu sama staff lainnya untuk menuju ruang tunggu.

Setelah vaksin disuntikkan, kita harus nunggu selama 15 menit untuk melihat reaksi vaksin.

Karena dikhawatirkan setelah vaksin ada yang merasa pusing, mual, lemas tidak berdaya gundah gulali.

 

Kartu vaksin yang gue bawa tadi diserahkan ke staff untuk dikasih tanda (kayak stiker gitu)

sebagai bukti bahwa gue udah vaksin.

Bukti vaksin bisa diambil setelah waktu tunggu 15 menit gue selesai.

 

Yang paling menarik dari proses vaksin ini adalah ruang tunggu.

Emang dasar orang Jepang yang selalu teratur, teroganisir, on time, dan nggak suka hal-hal yang mubazir,

semua serba rapih.

 

Gue dipandu ke ruang tunggu dimana disana udah tersedia banyak kursi dan beberapa monitor gede.

Gue duduk sesuai urutan nomor vaksin, dan gue bisa ngeliat nomor urut vaksin gue

di monitor gede ditambah notifikasi berapa sisa waktu tunggu gue.

 

Orang yang waktu tunggu-nya udah habis alias udah 15 menit,

maka si monitor bakal otomatis mengumumkan nomor vaksinnya sudah bisa cuss meninggalkan ruang tunggu,

lalu ngambil kartu tanda sudah vaksin dan meninggalkan tempat vaksin.

 

Di monitor terpampang countcown waktu tunggu.

Mulai dari 15 menit, 10 menit, 5 menit ampe 2 menit lagi gue bisa meninggalkan ruang tunggu pun

ada notifikasinya.

Setdaaah detail amat ya! Hebat dah Jepang!

Jadi semuanya dapet waktu tunggu sama rata 15 menit,

kagak ada yang curi-curi waktu pengen cepet-cepet pulang,

kagak ada juga yang lupa gue udah nunggu disini berapa menit?

Udah pas 15 menit kah atau ternyata udah 15 taun nggak pulang-pulang? #HALAH

 

Di sekitar ruang tunggu pun banyak staff yang stanby untuk memonitoring,

sapa tau ada yang ngerasa kondisi badannya kurang baik sesudah vaksin.

Jadi bisa gercep ngasih pertolongan.

 

Setelah tepat 15 menit dan nomor urut gue terpampang di monitor yang menandakan

gue udah bisa meninggalkan tempat vaksin,

gue pun beranjak dari tempat duduk dan menuju loket buat ngambil tanda sudah vaksin gue.

Setelah kartu tanda sudah vaksin di tangan, gue pun mengucapkan terima kasih sama staff,

lalu cuss pulang deh.

 

.....

 

Vaksin kedua gue dilakukan di tanggal 16 Oktober, dengan jam booking yang sama.

Prosedur dan tata caranya sama kayak vaksin pertama.

Dan seperti biasa, dokter dan petugas medis yang ngeliat nama gue bukan nama orang Jepang,

langsung tanya-tanya dan ngobrol.

Gue seneng banget kalo diajak ngobrol gini, maklum sejak covid jadi jarang ketemu manusia. Haha.

 

Dokternya kali ini nanya pake bahasa Inggris pulak.

Aya aya wae lah si bapa dokter ini.

Trus dia bilang kalo vaksin kedua ini sebisa mungkin menghindari makan pedes.

Waduuuuh, makanan pedes itu udah jadi jati diri sayah, pa!

Haha.

 

Setelah vaksin kedua selesai, seperti sebelumnya, gue pun dipandu untuk nunggu di ruang tunggu

selama 15 menit.

Setelah kelar nunggu, gue pun cuss ngambil kartu tanda udah vaksin dan cuss pulang...

eh, belenjong dulu deh. Mumpung udah ke emoll. Nyahahaha.





No comments:

Post a Comment

Are you listening?

 “Kita dianugerahi dua telinga dan satu mulut, bukankah itu berarti kita sebaiknya lebih banyak mendengar daripada bicara?” Saya sering deng...