[Slice of Life] : Konser Arashi

Finally, 
gue
DAPET TIKET KONSER ARASHI!!!!
*potong tumpeng*

Bulan lalu gue udah ikutan balout atau undian untuk dapetin tiket konser.
Nggak kayak konser-konser sebelumnya, konser kali ini peraturannya lebih ketat.
Kalo sebelumnya bisa ajak temen yang bukan member buat ikutan balout tiket, sekarang cuma member yang bisa ikutan balout.
Boleh sih kita ajak temen, tapi si temen juga harus member fanclub.
Gegara itu, temen gue nggak bisa ikutan.
Jadinya akik cuma seorang diri.
Nah, setelah registrasi untuk ikutan balout, hari Jumat kemaren diumumin apakah kita menang balout atau nggak.

Gosip yang gue denger, katanya konser 20th anniversary kali ini lebih diutamain fans yang udah jadi member fanclub dari lama.
Karena anggota fanclub membludak naujubileh setelah pengumuman hiatus mereka kemaren.
Gue jadi anggota fanclub sebelum pengumuman hiatus sih, tapi tetep aja ketar-ketir karena gue juga masih terhitung newbie.

Di Jumat siang, pas gue lagi di cafetaria menikmati makan siang, ada notif e-mail di hape dari fanclub Arashi.
Deg-deg-an nggak karuan donk.
Begitu gue buka e-mail-nya, mereka ngasih selamat karena gue menang balout!!!
Yang artinya gue bisa nonton konser Arashi!
Yang artinya gue bisa ketemu mas-mas badai yang ketjeh itu!!!
Yang artinya mimpi gue selama 14 tahun ini akhirnya bisa terwujut!!!
Saat itu gue pengen ngejerit dan loncat dari meja, kalo perlu sekalian polo dance di atas meja cafetaria pun gue jabanin!
*langsung digusur satpol PP*
SAKING SENENGNYA.
Akoh terharuuuu.
*lap ingus*

Masih nggak nyangka gue bisa nonton konser mereka, gue bisa ketemu mereka, dan denger suara mereka langsung.
Masih belum tau apakah gue bisa ngeliat wajah mereka langsung dan jelas, karena seat-nya belum diumumin.
Selama 14 tahun, gue cuma bisa ngeliat mereka di layar lapie dan tipie, cuma bisa berkhayal dan ngiri sama rangorang yang nonton konsernya langsung.
Tapi sekarang GILIRAN GUE yang bakal mewujudkan mimpi itu!

Oke, cukup disitu senengnya.
Kenapa? Karena setelah itu gue harus rada ngelus dada ketika ngelihat di daerah mana tiket konser yang gue dapetin.
Saat balout, ada 3 option yang bisa dipilih.
Dan gue pilih Tokyo Dome untuk ketiga-tiganya.
Lalu, ada pilihan keempat, yaitu dimana dan kapan aja.
Artinya, gue akan diundi dan dikasih tiket konser untuk di daerah manapun dan tanggal kapanpun terserah yang ngundi.
Dan tiket yang gue dapatkan adalah tiket di option terakhir.
Yang Tokyo Dome nggak ada satupun yang nyangkut.
Dan hasilnya adalah
JENG! JENG! JENG!
Gue dapet di Hokkaido!

Maaaak, jauuuh amiiir.
Ibaratnya, kalo gue tinggal di Jakarta, gue bakalan nonton konser di Sulawesi.
Antara senang dan sedih. Haha.
Tapi, demi Arashi jangankan ke Hokkaido, lha gue dari Indonesia aja terbang ampe Jepang tokh!
Kemana pun gue akan datang!
Tunggu akyuuu mas-mas badaaaai.
Lagian gue udah pernah ke Hokkaido 3 kali, jadi nggak terlalu asing lah ya.
Atau mungkin, ini adalah panggilan terselubung supaya gue juga sekalian piknik #ALIBI
Yang pasti gue udah punya cuti sekarang, jadi bisa nonton kapanpun tanpa khawatir potong gaji.
Hoho.

Hari Sabtunya gue langsung transfer buat bayar tiketnya.
Pokoknya gue nggak mau kesempatan yang MUNGKIN hanya datang sekali seumur hidup ini lewat begitu aja.
Apalagi mereka mau hiatus tahun depan.
Apalagi ini konser 20th anniversary mereka, hukumnya wajib fardua'in buat nonton konser mereka.

Rasanya nggak sabar nunggu ntar November.
See you in, Hokkaido!!!



[Slice of Life] : Ganti alamat rumah

Hari ini gue masuk kantor siang.
Sekitar jam 13:30 baru nyampe office.
Kenapa?
Karena gue harus ke kantor balaikota dulu untuk mengurus beberapa hal.

Sekitar jam 8:30, gue pergi dari rumah menuju stasiun.
Tadinya mau pergi jam 8-an, supaya nggak terlalu siang dan bisa cepet beres.
Tapi rencana tinggal rencana, gue terlalu males dan ngantuk untuk bangun di pagi itu.
Ditambah lagi nggak sholat, jadinya kan bablas ya.
Dari Stasiun Honatsugi, gue menuju Stasiun Ebina.
Dari situ ganti kereta dan jalur, gue naik kereta Soutetsu-Line menuju ke Stasiun Hoshikawa.
Gue nyampe Hoshikawa sekitar jam 9:40-an

Rencana pagi ini ke balaikota adalah buat update dan ngurus perubahan alamat rumah dan pritilannya.
Kalo di Jepang, ketika kalian pindah rumah, harus laporan atau registrasi ke kantor balaikota terdekat.
Sebelum laporan ke balaikota di tempat tinggal yang baru, sebelumnya gue harus ke kantor balaikota di tempat tinggal yang lama buat minta surat rujukan yang menginformasikan kalau gue akan meninggalkan kota yang bersangkutan dan pindah ke kota dimana tempat tinggal gue yang baru berada.
Setelah mengisi beberapa item di formulir yang disediakan, kita akan dikasih selembar surat yang berisi keterangan alamat tempat tinggal baru dan lama, nama siapa-siapa aja yang tinggal di situ, kewarganegaraan, no.identitas dan kebangsaan (untuk warga asing).
Karena gue tinggal sendiri, jadi yang gue daftarin nama gue doank.
*yaiyalah, masa mau gue masukin juga nama Matsumoto Jun?*
#PENGENNYA

Proses ini cuma makan waktu 5-10 menit.
Harusnya.
Tapi, karena gue ojan banget dalam ngisi-mengisi formulir, gue harus ngisi ulang sampai dua kali karena salah.
Jadinya, rada lama deh.
Proses ini juga nggak dipungut bayaran, alias gratiss.
Pelayanan di balai kota amat sangat cepat, canggih, taktis dan dilayani dengan baik sama petugas di sana.

Setelah dapet surat keterangan pindah, selanjutnya gue meluncur menuju balai kota di kota yang gue tinggali sekarang.
Di sana lagi-lagi gue harus mengisi formulir yang berisikan keterangan dan beberapa data, yang isinya kurang lebih sama dengan yang gue isi di balai kota sebelumnya.
Untungnya kali ini nggak salah lagi, jadinya dalam beberapa menit gue udah menuju resepsionis dan siap untuk diurus.
Kalo tadi cuma ngisi formulir,
kali ini ditambah ngajuin surat keterangan pindah yang tadi gue dapatkan, ditambah Residence Card (KTP-nya orang asing yang tinggal di Jepang).
Gue juga sekalian minta dibikinin Surat Keterangan Penduduk, buat jaga-jaga siapa tau perlu suatu saat, jadi nggak usah balik lagi ke balai kota.
Proses kali ini agak lama, mungkin karena harus daftarin nama gue di sistem, bikin Surat Keterangan Penduduk, dan mencetak alamat baru gue di bagian belakang Residence Card.
Semua proses memakan waktu sekitar 40 menit.
Dan biaya pembuatan plus administrasi adalah 300 Yen (sekitar 40 ribu rupiah).

Lagi-lagi, pelayanannya cepat, canggih, taktis dan ramah.
Padahal hari ini banyak banget yang datang ke balai kota, tapi semua tertib, dilayani dengan cepat dan baik, dan yang pasti nggak dijutekin sama petugas #PENTING
Flow-nya kira-kira begini :
isi formulir, kasih ke resepsionis (penerimaan), dikasih nomor antrian, duduk manis nunggu dipanggil, begitu dipanggil bakal diminta untuk cross-cek data yang bakal dibuat, lalu diminta nunggu lagi, dipanggil, bayar administrasi, bawa pulang berkas yang udah jadi,
beres deh.
Nggak perlu bulak-balik, nggak ada acara kudu potokopi ini-itu, nggak dipingpong sama petugas, bahkan di beberapa balaikota, bayarnya nggak di kasir secara manual, tapi bayar di mesin otomatis, jadi lebih cepet dan praktis.
Semoga di Indonesia juga bisa (atau udah?) kayak gini ya.
Udah lama nggak ngurus-ngurus surat atau bersentuhan sama birokrasi Indonesia, jadi nggak tau udah semaju apa disana :D

Sebetulnya prosesnya cepet, sehingga cuma makan waktu kurang dari 1 jam untuk dua kali 
bulak-balik balai kota yang berbeda.
Tapi, karena perjalanan yang makan waktu hampir 2 jam PP, jadinya berasa lamaaa.
Semua beres sekitar jam 12:30, dan gue langsung ngibrit menuju halte bis supaya nyampe kantor jam 13:00 tepat.
Sayangnya, lagi-lagi si ojan ini nunggu di halte bis yang salah, mana bisnya cuma ada 20 menit sekali pulak.
Jadinya, gue baru dapet bis jam 13:30 dan nyampe office jam 13:46.

Imbasnya, gue nggak sempat makan siang dan tidur siang #PENTING
Cuma makan roti satu biji yang gue beli di supermarket dan dimakan sambil nunggu bis.
Satu roti lagi gue makan begitu nyampe office.
Gue beli dua kopi starbucks (ukuran gelas, yang dijual di minimarket).
Kebetulan ada varian baru, jadi gue cobain.
Tapi tetep aja masih kelaperan.
Kopi-nya enak sih, tapi nggak seenak yang dijual langsung di Setarbak.
Rasanya terlalu manis
untuk dilupakan #SLANK KALI
Dan sekarang gue kelaparan *gerogotin meja*

Seharusnya, pengurusan kepindahan dan perubahan alamat itu dilakukan pas hari kepindahan, atau beberapa hari sebelum atau sesudahnya.
Gue pindah bulan Desember lalu, dan baru ngurus sekarang di bulan Maret.
Telat 3 bulan ya.
Haha.
Waktu itu gue lagi rempong dan nggak ada waktu (baca : MALES) buat ngurus ke balai kota.
Apalagi cuma bisa diurus pas hari kerja, sedangkan gue kan kerja juga, belum punya cuti pulak.
Nah, karena kebetulan sekarang T-Yama sama Iiduka-san lagi nggak ada, jadi gue bisa masuk siang.
Apalagi staff yang lain nggak pernah ambil pusing mau masuk jam berapa, karena mereka kagak pernah ikut campur urusan orang.
Prinsipnya, yang penting kerjaan beres dan nggak ngerepotin orang sekitar, masalah situ mau masuk siang atau tengah malam pun,
TERSERAH!
Hoho.

Selain karena alasan "mumpung T-Yama lagi dinas", alasan gue ngurus perubahan alamat ini gara-gara gue rada parno ketika tahu kalo alamat yang tertera di KTP gue masih yang lama.
Akhir-akhir ini gue lagi giat-giatnya ikut undian di fanclub Arashi, supaya bisa ikut syuting bareng mereka.
Kalo menang undian, gue harus bawa identitas asli.
Karena member fanclub gue pake alamat baru, sedangkan di kartu identitas masih pake alamat lama, takutnya kalo gue menang undian, malah dibatalin sama penyelenggara.
Kan GONDOK ya, udah susah-susah dapet undian, eeeh malah batal cuma gegara alamat di kartu identitas.
Ntar disangka alamat palsu.
*lalu nyanyi bareng Ayu Ting Ting* #ABAIKAN
Sekalian juga, supaya tenang aja sih.
Karena nampaknya gue bakalan lama dan semoga seterusnya tinggal di tempat yang sekarang.
Jadi, mending diurus aja ya, biar plong gitu.


[Slice of Life] : Medical Check Up

Hari ini harusnya bangun siang, guling-guling di rumah, dan nonton sampai malam.
Sayangnya, karena hari ini ada Medical Check Up (MCU), jadinya harus bangun pagi,
ngesot ampe stasiun sambil menggigil kedinginan dan berangkat menuju Shinjuku-Tokyo.
Apalagi katanya hari ini bakal turun salju, yang artinya pasti dingin banget di luar, makin emohlah aku keluar rumah.

Tempat MCU ini sebelumnya udah ditunjuk sama kantor dan dibooking-in tanggal serta jamnya.
Sebetulnya, sebelum diterima jadi karyawan di kantorku sekarang, aku harus nyerahin hasil MCU yang paling baru.
Tapi karena males kudu MCU, mana mahal pulak kalo di Jepang, jadinya ane selalu berkelit kalo ditanyain hasil MCU.
Alasan lupa-lah, belum booking-lah, sibuk pindahan-lah, atau kliniknya udah full-booked dan seabrek alasan lain.
Nah, begitu udah keterima kerja, nampaknya bagian administrasi lagi beres-beres berkas,
dan menemukan kalo ada satu karyawan baru yang bandel dan belum nyerahin hasil MCU.
Maka, salah satu staff ngirim e-mail ke gue yang berisikan instruksi buat MCU di salah satu klinik kesehatan di Shinjuku.
Karena tanggal dan jam-nya udah di bookingin, maka akik pun nggak bisa mengelak lagi.
Apalagi ketika staff kantor bilang,
"Biaya MCU sudah ditanggung oleh perusahaan, jadi tidak perlu melakukan pembayaran
di kasir", yang bikin gue semangat untuk MCU
*yang gratis memang selalu bikin semangat*
Haha.

Aku tiba di klinik sekitar jam 09:10 pagi *setelah sedikit nyasar seperti biasa*,
karena MCU-nya dibooking jam 09:20.
Begitu tiba di klinik yang ada di suatu gedung di lantai 7, aku langsung disambut oleh resepsionis yang ramah.
Begitu nyebutin nama, mbak-mbak resepsionis yang kesulitan baca nama lengkap gue, langsung memandu ke bagian resepsionis khusus MCU.
Di sana pun lagi-lagi akik disambut sama mbak-mbak yang ramah dan ngasih penjelasan prosedur MCU.
Mulai dari tempat nyimpen sepatu, loker, ruang ganti baju dan beberapa data yang harus diisi.
Setelah penjelasan selesai, gue dikasih kunci loker lengkap dengan barcode yang menempel di kunci tersebut.
Fungsi barcode ini adalah ketika nanti nama kita dipanggil sama perawat buat pemeriksaan, tinggal nunjukin barcode, di scan sama perawat, maka data kita pun masuk ke sistem.
Nggak perlu tulis-tulis di kertas lagi.

Karena nantinya bakal di roentgen, mbak resepsionis tadi bilang supaya gue melepas jaket dan cuma pake underware sama kaos/baju satu lapis aja.
Setelah ganti baju dan nyimpen tas di loker, gue pun balik lagi menuju resepsionis.
Di sana ada mbak-mbak perawat *yang nggak kalah ramahnya* udah menunggu gue.
Dia meminta akik buat cek urine sambil ngasih paper cup khusus urine.
Sebelumnya si mbak perawat ini nanya dulu apakah urine gue bisa keluar alias apakah gue lagi kepengen pepsi atau nggak.
Karena emang dari tadi gue nahan pipis, gue pun mengangguk.
Kemudian perawat memandu akik ke ruangan khusus untuk ngambil urine.
Ruangannya nggak beda jauh sama toilet pada umumnya, hanya saja di belakang tempat pipis ada jendela yang bisa digeser dan terhubung langsung sama ruang tes urine.
Jadi, ketika urine kita udah dimasukkin ke dalam paper cup, nggak usah rempong bawa-bawa urine ke luar ruangan.
Cukup geser jendela, simpen di rak yang sudah disediakan, dan nanti petugas di seberang sana bakal ngambil urine lewat jendela tersebut.

MANTEBH IH!
Tetep higienis, nggak perlu jinjing-jinjing air pipis keluar, nggak perlu takut tumpeh apalagi ketuker *karena di cup udah ada nama sama barcode kita*
Jadi inget kalo MCU di Indo, gue harus bawa-bawa botol/cup plastik dari toilet ampe tempat ngumpulin urine.
Males banget kan ya bawa-bawa air pipis gitu.
Trus kudu balik lagi ke toilet buat cuci tangan.
Kok di Indonesia nggak kepikiran kayak gitu ya?
Atau di Indonesia udah ada yang menerapkan kayak gitu? Semoga udah ada ya.

Setelah urine selesai, akik pun keluar dari toilet khusus itu, dan nyamperin lagi perawat yang tadi.
Mbak perawatnya meminta gue buat nunggu di ruang tunggu sambil ngasihin tablet.
Tablet gadget ya cyin, bukan obat.
Sambil nunggu dipanggil, gue diminta untuk mengisi beberapa hal di tablet tersebut.
Kayak history penyakit yang pernah diderita, pengalaman kecelakaan/luka, sampai gaya hidup sehari-hari, misalnya makan teratur atau nggak, olah raga atau cuman guling-guling di rumah aja, sampai kebiasaan merokok dan minum alkohol.
*waduuuh, semalem abis ajep-ajep nih gue, gimana donk?!*
*SERAH LO DEH*
Setelah selesai, tablet-nya gue balikin ke resepsionis dan balik lagi ke kursi.

Nggak sampai 5 menit, perawat lain memanggil gue untuk pengecekan mata, yang cuma makan waktu paling 3 menit.
Setelah selesai, gue duduk lagi.
Nggak lama berselang, perawat yang berbeda manggil gue.
Kali ini untuk cek tensi dan ngambil darah.
Entah udah berapa tahun gue nggak cek tekanan darah, dan dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, gue selalu bermasalah saat pengambilan darah.
Selalu susyeh dan darahnya nggak keluar-keluar.
Ketika gue masuk ke ruangan untuk cek tensi, disana gue nggak menemukan alat pompa yang bisa dipakai buat cek tensi.
Itutuh alat berupa belt yang dililitkan di lengan, terus dokter/perawat bakal memompa udara buat menekan lengan kita, trus jadi kendur, lalu nanti bakal muncul berapa tekanan darah kita.
Yang ini BEDA, bro dan sis!

Masih sama pake belt di lengan, udah gitu si belt itu memompa dengan sendirinya alias otomatis.
Nggak ada acara perawat mompa-mompa gitu, malahan dia lagi sibuk nyiapin suntikan buat ngambil darah.
Si belt otomatis menekan lengan, trus ngendur sendiri, trus angka tekanan darah gue muncul di layar komputer deh.
Gue yang norak ini langsung terkagum-kagum dengan alat cek tensi digital ini. Iiihh, praktis dan efisien banget ya.
Bisa menghemat waktu dan tenaga, perawat pun bisa ngerjain hal lain sambil nunggu alat cek tensi ini bekerja.
#TEPOKTANGAN

Setelah cek tensi selesai, berikutnya perawat akan mengambil darah buat diperiksa.
Karena darah yang bakal diambil ini dari lengan, bukan dari leher
*yakali perawatnya Edward Cullen*
sebelumnya mbak perawat nanya dulu biasanya akik pake tangan kanan atau kidal.
Karena hampir sebagian besar aktivitas gue pake tangan kanan, kecuali kalo tangan kanan lagi megang makanan, dan gue pengen ngambil makanan lain, maka gue akan memberdayakan tangan kiri buat nyomot
*rakus itu namanya, Mba!*,
maka yang akan diambil darahnya adalah lengan kiri.
Ketika meriksa lengan kiri gue, perawatnya bilang kalo ada urat di lengan gue yang nampaknya kurang bijak kalo ditusuk-tusuk pake jarum, soalnya bisa bikin lengan pegel dan agak memar udahnya.
Oleh karena itu, perawat memutuskan buat ganti lengan kanan aja yang bakal diambil darahnya.

Setelah mengikatkan karet tebel di lengan atas, supaya gampang ngambil darahnya, mbak perawat pun nusukin jarum ke lengan gue.
Karena gue suka merasa linu kalo ngeliat tangan sendiri ditusuk-tusuk
*tapi kalo ngeliat orang lain ditusuk malah seneng*
*psikopat nggak sembuh-sembuh emang*
maka gue pun memalingkan muka saat jarum kecil itu menembus kulit lengan gue.
Setelah beberapa detik berlalu, dan gue mulai merasa pegel, serta kesemutan melanda seluruh bagian lengan kanan, bahkan telapak tangan gue berasa kesemutan dan mati rasa, mbak perawatnya bilang, "Darah yang keluar cuma dikit."
Dan ketika gue melirik ke arah jarum dan selang tipis yang dipakai buat ngambil darah, emang dikiiiit banget darah yang keluar, bahkan nggak sampai memenuhi selang yang kecil itu.

Pantesan dari tadi kok gue ngerasa lamaaaa banget ngambil darahnya.
Taunya nggak keluar.
Susah emang kalo mau ngambil darah biru, keluarnya cuma dikit.
Maklum, langka.
*dijambak perawat*

Perawat pun langsung mencabut jarum dan selang, dan meminta supaya darahnya diambil dari lengan kiri aja.
Untungnya, lengan kiri gue nggak bermasalah dan darah pun keluar dengan lancar. Meski jadinya lengan gue jadi rada biru *kayak abis KDRT* #AMITAMIT
gegara ada urat yang rada keluar tadi.
Sambil ngambil darah di lengan kiri, mbak perawatnya minta maaf berkali-kali karena bikin lengan kanan gue jadi mati rasa dan kesemutan, belum lagi gue harus merasakan ditusuk jarum dua kali.
Dia terus nanya apakah gue nggak apa-apa, apakah gue merasa mual atau pusing, dan nanya apa kondisi lengan kanan gue masih mati rasa atau udah baikan.
Sambil senyum canggung, gue bilang kalo nggak apa-apa.
Lengan kanan gue berangsur-angsur pulih dan kesemutannya ilang, kalo soal mual dan pusing, sebenernya agak pusing sih, bukan karena diambil darahnya, tapi karena gue laper.
*disumpel perban sama perawat*

Setelah proses pengambilan darah selesai, perawat mengikatkan hand-belt di lengan gue, yang fungsinya untuk menahan plester yang menutupi bekas suntikan supaya nggak lepas dan menghentikan pendarahan.
Kalo pasien yang lain cuma dikasih hand-belt di salah satu lengannya, gue dikasih dua, karena insiden darah nggak keluar tadi.
Begitu keluar dari ruang cek darah, dan duduk di kursi ruang tunggu, beberapa pasien di situ ngeliatin gue, tepatnya ke arah hand-belt yang melingkar di kedua lengan gue.
Iye iye, saya tahu apa yang kalian pikirkan, sis.
Orang lain cuma satu kali disuntik aja udah sakit, ini bocah malah dua kali disuntik.
Maruk amat!
Mungkin satu kali rasanya kurang, jadinya minta dua kali biar lebih GREGET.
*psikopat emang udah mendarah daging kayaknya*

Selang beberapa menit, gue dipanggil lagi.
Kali ini waktunya foto roentgent.
Nggak sampai dua menit, proses roentgen selesai.
Nggak perlu sampe buka semua baju, bahkan sampe buka beha.
Cukup pake satu lembar baju dan pakaian dalam, roentgen bisa dilakukan.
Jadinya nggak makan banyak waktu dan cepet selesai.

Setelah itu, waktu pemeriksaan sama dokter.
Melihat nama gue terasa asing untuk orang Jepang, sang dokter pun nanya asal negara gue.
Sambil ngobrol ringan, dokter yang bodor ini meriksa beberapa bagian tubuh, seperti bagian pinggir mata, tenggorokan/kerongkongan dan detak jantung.
Dokter bilang kalau nggak ada masalah dan akik dipersilakan untuk nunggu lagi di ruang tunggu.

Tidak perlu menunggu lama, perawat di ruangan paling ujung memanggil nama gue.
Katanya ini pemeriksaan terakhir, yaitu pengukuran tinggi dan berat badan.
Cara ngukurnya pun canggih.
Gue tinggal buka sandal, berdiri di sebuah pijakan dengan punggung menyender ke sebuah tiang, lalu setelah perawat menekan sebuah tombol, maka berat dan tinggi gue otomatis langsung masuk ke data di komputer.
Nggak sampai 30 detik, semua beres.
Lagi-lagi gue kagum dengan kecanggihan klinik ini.

Setelah data tinggi dan berat badan masuk ke komputer, mbak perawatnya memperlihatkan tinggi dan berat badan gue yang terbaru.
"Apakah ada perubahan dari sebelumnya?" Tanya dia.
Begitu gue melihat ke layar komputer, gue langung terbelalak kaget.
Pasalnya, 4 tahun lalu ketika terakhir MCU tinggi badan gue berada di angka 151 cm.
Tapi sekarang tinggi gue
jadi 149 cm.

Masa gue menyusut 2 senti selama 4 tahun ini????
Tinggi badan yang udah minimalis ini harus BERKURANG LAGI?!!
Lama-lama gue jadi setinggi termos es ini mah.
Atau mungkin bentar lagi gue bakal bergabung sama Minion.
*lalu makan pisang*

Atau,
mungkin hasil MCU 4 tahun lalu nggak akurat?
*mencoba positive thinking*

Setelah semua pemeriksaan selesai, akik pun kembali ke ruang ganti baju sekalian ngambil tas di loker.
Nggak lupa nyimpen sendal dan ganti dengan sepatu.
Setelah kunci loker dikembalikan ke resepsionis dan ditutup dengan ucapan terima kasih dari mbak resepsionis yang ramah, maka MCU hari itu pun selesai.

MCU dimulai sesuai jam booking, yaitu 09:20.
Lalu selesai sekitar jam 10:30 (udah termasuk ke toilet dan ganti baju).
Semua pemeriksaan memakan waktu 1 jam saja sesuai dengan pemberitahuan pihak klinik di website-nya waktu gue konfirmasi.
Semua cepat, praktis dan taktis.
Semua serba canggih dan paperless.
Tentunya pelayanannya pun friendly banget.
Dokternya juga ramah dan bodor, sehingga gue nggak grogi waktu diperiksa.
Tapi dia tetep meriksa dengan serius.

Datang senang, pulang pun senang.
Karena nggak ada rasa bete gegara dijutekin sama petugas atau perawat.
Dokternya pun nggak asal-asalan meriksa karena pengen cepet beres, dan cencunya nggak ada drama nunggu dokter lama gegara belum datang.

Kalo dari segi kebersihan dan higienis sih nggak usah ditanya lah ya.
Bukan Jepang namanya kalo nggak mengusung estetika dalam setiap aktivitas mereka.
Jangan alat medis yang memang harus higienis, pijakan kaki buat ngukur tinggi dan berat badan aja dilap pake tissue antiseptik setiap ganti pasien.
Aku nggak tahu kalo MCU di tempat lain, apalagi di rumah sakit umum.
Apakah sama kayak gini, atau kurang atau bahkan lebih canggih.
Yang pasti gue puas dengan MCU hari ini.

Jujur, ini MCU gue setelah 4 tahun nggak pernah periksa lagi.
Terakhir MCU adalah waktu keterima kerja di salah satu perusahaan di Purwakarta tahun 2015 lalu. Itupun karena staff HRD-nya udah nunjuk salah satu rumah sakit di sekitaran Purwakarta dan sebagai syarat gue masuk ke perusahaan itu.
Setiap kali ada MCU di kantor, gue selalu kabur.
Apalagi kalo MCU-nya di tempat kerja, petugas dan dokternya dipanggil ke perusahaan, terus seabrek-abrek semua pegawai diperiksa secara serentak.
Kok gue sangsi ya sama keakuratan dan ke-higienisannya ya.
*makanya tinggi badan gue jadi salah kan*
*PEHAPE banget kan jadinya*
*masih esmosi gegara tinggi badan yang dimanipulasi*

Makanya gue selalu menghindar dan nggak pernah 'menghadiri' MCU.
Pernah nih, waktu kerja di Karawang dan ada MCU di tempat kerja, pas mau foto roentgen dan gue sama beberapa teman kudu buka baju di dalam mobil khusus roentgen, petugas cowok malah masuk ke mobil buat ngarahin cara roentgen, padahal gue dan temen-temen gue lagi buka baju.
KAMVRETOS emang, kagak ada prosedur apa yak?
Maen nyelonong masuk aja, SOPAN banget ya kamuh.

Makanya, meski HRD di tempat kerja gue yang dulu udah bawel dan bosen nyuruh gue MCU, nggak pernah gue tanggepin.
Haha, maap ya mbake.

Semoga sih pelayanan di bidang kesehatan di Indonesia udah lebih baik, bukan cuma alat-alatnya aja yang makin canggih, tapi pelayanannya juga diperbaiki.
Percuma kalo alatnya canggih, standar internasional, gedung luas, tapi petugas/perawatnya jutek dan mahal senyum, dokternya ngasal, pengen cepet-cepet beres, dan datang seenaknya ampe bikin pasien nunggu berjam-jam.
Hari ginih mah fasilitas dan sarana sih tinggal beli asal ada modal, tapi pelayanan dan kepuasan pelanggan harus dari hati.
Ya nggak, manteman?
*apaan sik, gue sok banget ya?*
Haha.




Are you listening?

 “Kita dianugerahi dua telinga dan satu mulut, bukankah itu berarti kita sebaiknya lebih banyak mendengar daripada bicara?” Saya sering deng...