Keracunan Makanan

6-Nov-14

Hari ini kantor sepi, khususnya bagian office. 
Hampir 50% Departement Head dan 60% staff office plus Big Bos yang biasanya nonkrong di sebelahku pun tidak masuk kerja. Office yang biasanya hilir mudik penuh orang dan Bos yang mondar-mandir mengawasi anak buahnya bak elang sedang mengincar mangsanya, hari ini tidak ada.

Kemana?
Bukan. 
Bukan lagi nonton persib di Stadion Bandung Lautan Api.
Bukan juga lagi demo buruh menuntut kenaikan UMR 2015 sebanyak 100% [maunya!]

Tapi, semua staff berikut departement head juga Big Bos tidak masuk hari ini dikarenakan keracunan makanan catering kantor.

Dua hari lalu, menu makanan catering adalah ikan bawal, sayur yang isinya kol dan kacang panjang dengan kuah santan encer warna kuning, oreg tempe, tahu goreng dan kerupuk. Aku hapal menu catering dua hari lalu [bahkan seminggu lalu] karena tiap hari rutin bikin jurnal makanan buat mengontrol asupan gizi :).

Esok paginya, dimulai dari Big Bos yang merengek minta obat sakit perut ke HRD. Aku pikir dia sakit perut gegara makan makanan Indonesia yang nggak bersahabat sama perut orang Jepun, jadinya mules-mules. Tapi, beberapa jam kemudian mulai berjatuhan korban dari staff office. Sekitar 5 staff ditambah beberapa karyawan produksi juga quality mulai mengeluhkan gejala yang sama dengan Bos. Mual, muntah, sakit perut, bulak-balik ke toilet dan demam tinggi.

Ketika para karyawan baru menunjukkan gejala awal, Bos udah tumbang duluan. Wajahnya pucat dan lemes, alhasil beliau pun cuma bisa rebahan di ruangan atas. Sedangkan staff dan karyawan lain pun menunjukkan gejala yang sama, sampai tidak kuat untuk melanjutkan pekerjaan, dan mereka pun dipulangkan.

Esoknya [alias hari ini], korban pun bertambah banyak [kesannya kayak bencana alam aja...]. Beberapa staff dan karyawan yang kemarin dipulangkan, otomatis hari ini tidak masuk karena masih mengalami gejala yang sama. Bos pun sama. Bahkan, beberapa staff yang kemarin masih baik-baik saja, hari ini pun ikut-ikutan mules dan lemes, sehingga tidak masuk.

Dari hasil analisis awam, disinyalir penyebab karyawan dan Bos mules lemes ini dikarenakan ikan bawal yang dimakan dua hari lalu nampaknya udah nggak segar dan berbau [ada yang bilang warnanya udah ijo atau biru pucat]. Entah benar atau tidak, yang pasti karena hampir 30% karyawan mengalami gejala yang sama, maka dipastikan penyebabnya adalah dari makanan. Karena tidak dipebolehkan membawa makanan dari luar, sedangkan makanan yang ada hanya catering, jadi DIA-lah suspect utamanya.

Kebenaran hanya ada satu! Andalah pelakunya, wahai Mr. Catering!!! 
#tunjuk-tunjuk ala Conan 
#kebanyakan baca Conan

Keracunan makanan ini bukanlah yang pertama kali. 
Dulu [sekitar awal tahun 2013 atau akhir 2012] terjadi hal serupa, bahkan lebih parah. Hampir 90% karyawan mengalami gejala sama. Mual, pusing, muntah dan bulak-balik ke toilet. Banyak karyawan yang tidak masuk, tapi ada juga yang memaksakan masuk demi insentif akhir tahun yang dihitung berdasarkan absensi harian [segitunyaaa, kesehatan lebih penting, Mbak-mbak, Mas-mas!].

Suspect pun dipastikan dari makanan catering.Pihak catering meminta maaf dengan memberikan minuman C 1000 dan obat diare pada seluruh karyawan keesokan harinya. Cepiritnya kemaren, dikasih obatnya baru hari ini? Udah ngalir kemana kali aahh.

Setelah itu? Selesai.

Tidak ada acara pembahasan apapun, pembicaraan apapun, atau bahkan pengajuan perbaikan dan janji-janji bahwa hal serupa tidak akan terulang kembali baik dari pihak penyedia catering maupun pihak HRD sebagai penghubung supplier catering dengan karyawan. Semua seolah selesai hanya dengan sogokan sebotol C 1000.
Yeah, we all that cheap!

Bahkan, setelah membuat hampir 90% karyawan tumbang, pihak HRD sama sekali tidak mengganti penyedia catering. Hingga hari ini, bahkan hingga peristiwa keracunan itu terulang kembali, penyedia catering yang sama tetap digunakan.

Entah memang HRD enggan mencari penyedia lain, atau karena sudah terikat kontrak, atau karena catering yang ini paling murah dibandingkan catering lain [murah tapi beracun sih ya sama aja bunuh diri], atau ada alasan lain.

Entahlah.
Kami rakyat biasa hanya bisa menerima catering yang disajikan tanpa bisa protes apalagi demo.

Setelah pelarangan membawa makanan dan minuman dari luar diberlakukan, lalu adanya peristiwa keracunan makanan catering, terus bagaimana dengan asupan gizi karyawan? Bagaimana kalau ada karyawan yang trauma dan jadi nggak mau makan? Dari mana dia bisa dapet makan? Sedangkan bawa makanan dari rumah pun dilarang...

Management bisa saja nyuruh-nyuruh supaya karyawan kerja, kerja, kerja dengan semangat dan nggak boleh absen atau sakit. Tapi, dengan asupan gizi dari makanan yang seharusnya jadi sumber energi untuk kerja dengan giat itu justru malah berbalik membuat karyawan sakit, gimana donk?

Kaizen nih kaizen!

Aku langsung ngajuin formulir permintaan kaizen nih, agar mengganti pihak penyedia catering dengan supplier yang lebih baik dan bisa dipercaya. Atau setidaknya, bikin perjanjian kalau peristiwa yang sama terulang kembali, pihak penyedia catering akan memberikan kompensasi baik itu berupa uang berobat hingga sembuh, atau memberikan gratis makanan bergizi dan enak [nggak pake racun tentunya] selama sebulan penuh atau kompensasi lain yang dinilai layak menggantikan rasa sakit yang diderita karyawan.

Dari 2 kasus keracunan ini, alhamdulillah aku tidak terpengaruh sama sekali alias tetep sehat segar bugar tanpa kekurangan satu apapun [paling kekurangan uang...]. Mungkin aku udah kebal gara-gara kebanyakan nenggak racun dosis tinggi, jadi racun makanan mah nggak ngepek kali ya 
#dijambak orang sekantor

Yang paling gawat adalah peristiwa keracunan kali ini berdekatan dengan acara Family Gathering tahunan yang bakal diadakan 2 hari lagi! Kalau sampai dua hari kedepan karyawan terutama Bos belum sehat, bisa ancur deh ini acara. Semoga nggak ya. Semoga semuanya sehat dan semangat lagi saat acara nanti.

Amin-nya mana kakaakks? :D




No comments:

Post a Comment

Are you listening?

 “Kita dianugerahi dua telinga dan satu mulut, bukankah itu berarti kita sebaiknya lebih banyak mendengar daripada bicara?” Saya sering deng...