Jeritan Hati Seorang Interpreter

28-Dec-15

Menjadi Japanese Interpreter adalah jalan hidup yang aku pilih selama hampir 6 tahun ini. Meski aku amat sangat menikmati profesi ini, tapi yang namanya kerjaan pasti adaaaaa aja yang bikin ketzel dan pengen nelen bulet-bulet orang yang bikin kesel itu. 

Apalagi kalo rasa kesel ini nggak bisa terlampiaskan karena sebagai seorang interpreter nggak boleh terbawa emosi dan kudu selalu bersikap netral tanpa memihak salah satu kubu.

(1)
Di suatu meeting antara manager lokal dan director Jepang.
Manager *pake bahasa Indonesia*  : "Pokonya menurut saya yang benar itu begini. Standarnya yang begini."
Director  *pake bahasa Jepang* : "Salah lo! Yang bener ya kata gue kayak begini!"
Manager : "Bukan! Cara pikir situ tuh salah. Yang bener kayak begini."
Director : "Alaaahh, elu banyak bacot, Men! Dibilangin punya gue yang bener!"
Director Jepang lain ikut nimbrung,
Director 2  *pake bahasa Jepang* : "Eh, eh, gimana kalo pake cara ini aja? Pasti bener."

Manager lokal yang lain pun ikut nimbrung,
Manager 2 *pake bahasa Indonesia : "Kan tadi udah dibilangin yang bener itu yang ini!"
Director 1 : "Salah, yang ini!"
Manager 1 : "Huapaaahh? Sotoy lo! Yang ini yang bener!"
Director 2 : "Yang ini ah!"
Manager 2 : "Salah semuaaa! Gue yang bener!"
Aku : "DIAAAMMMM SEMUA! Mau yang ini kek! Mau yang itu kek! Yang manapun yang bener bodo amat! Kalian debat pake bahasa sendiri-sendiri tanpa berhenti, gimana ane mau nerjemahin?!! Ngomong satu-satu, Woi!"

Sayang sekali yang terakhir itu cuma bisa diteriakkan di dalam hati.

*nyengir kuda*

(2)
Masih dalam suatu meeting.

Bos Jepang : "Nah, untuk report yang ini pakenya Data Jilid Satu-Dua-Tujuh-Puluh."
Aku : "Data Jilid Satu-Dua-Tujuh-Puluh itu apa?"
Bos Jepang : "Ya, pokonya yang itu."
Aku : "Yang mana?"
Bos Jepang : "Yang itu ya pokonya yang itu."
Aku : "Satu-Dua-Tujuh-Puluh itu singkatan kan? Kepanjangannya apa?"
Bos Jepang : "LUPA."
Aku : "FAK!"
*lempar kursi*

Sayangnya, kalimat terakhir dan tindakan terakhir itu hanya terjadi dalam pikiranku.

(3)
Dalam suatu pembicaraan antara Bos lokal dengan Bos Jepang. Pembicaraan ini sebetulnya dilakukan oleh tiga orang, yaitu ditambah aku sebagai interpreter di tengahnya. 

Tapi untuk lebih mengefisiensikan waktu dan tenaga buat ngetik, jadi kita hilangkan saja dialog si Interpreter *nasiiibb....*

Jepang : "Untuk pengangkatan karyawan, diperlukan hasil evaluasi dari manager."
Lokal : "Iya, nah ini hasil evaluasinya."
Jepang : "Siapa yang bikin? Yang menilai siapa?"
Lokal : "Asisten Manager."
Jepang : "Kan tadi ane bilangnya kudu manager yang evaluasi. Rule-nya gimana sih?"
Lokal : "Iya. Saya sebagai manager udah sign, tapi yang evaluasi Asmen."
Jepang : "Kamu sendiri tau nggak rule-nya?"
Lokal : "Makanya, saya sudah sign, trus asmen yang bikin evaluasi."
Jepang : "Rule-nya tau nggak?"
Lokal : "Kemaren udah minta asmen yang evaluasi."
Jepang : "Rule-nya tau nggak, ojaaaaannn?! Saya cuma tanya RULE! RULE! Aturaaaan!"
Lokal : "Harusnya si karyawan ini udah diangkat jadi...."
Jepang : "Jawab aja, TAU atau NGGAK!"
Lokal : "Makanya saya kan....."
Jepang : "Saya cuma mau jawaban : TAU atau NGGAK. Diluar itu jangan ngomong!"
Lokal : "Kan kemaren udah...."
Jepang : "Heh, ontohod! Kamu cuma boleh ngomong TAU atau NGGAAAAKKK!? Saya nggak butuh jawaban lain."
Lokal : "Yaa, saya nggak tau rule-nya, Bos."
Jepang : "Nah! Daritadi kek! Apa susahnya bilang gitu doank. Situ manager apa bukan sih? Cuma ditanya gitu aja kagak bisa jawab! Eh, yang barusan jangan ditranslate ya. Haha."
Mungkin manager itu kudu belajar tata bahasa dulu, supaya apa yang ditanya dan apa yang kudu dijawab bisa sinkron.
Susyah emang kalo punya manager oon.

Eh, yang barusan jangan di translate ya.

(4)
Acara sambutan tahun baru.

Bos Jepang : "Jadi untuk meningkatkan perusahaan, kita semua perlu begini begitu. Jangan sampai ada hal yang sia-sia. Cost down, kaizen harus diberdayakan. Apalagi untuk departemen A, untuk section B juga kudu begini kudu begitu. Belum lagi pertumbuhan ekonomi dewasa ini, terutama di bidang otomotif. Apalagi krisis di negara eropa, belum lagi Asia. Lanjut dengan company group di negara lain, apalagi beberapa waktu lalu ada event TC Circle, lalu nanti ada New Model, endeswey endesbrey...."

Aku : "Bos, booosss, ini sambutan tahun baru, Bos! Nape sih kagak kasih sambutan yang ringan-ringan aja. Semisal kayak semoga di tahun baru ini kita semua dikasih kesehatan agar bisa bekerja lebih baik. Semoga nggak ada huru-hara, semoga nggak ada demo pake anarkis, semoga banyak profit jadi bonus kita pun gede, semoga saya bisa nonton konser Arashi di Jepang, gituuuu. Lagian ini yang hadir operator semua. Mana ngerti laaah mereka soal pertumbuhan ekonomi ato krisis. Mereka mah yang penting gaji naik, bonus gede. Udah gitu aje, cuy!"

Eh, kok malah aku yang panjang lebar ngomongnya....


Yah, itulah sekelumit cerita yang bisa ditemukan sehari-hari dalam menghadapi dua kubu dengan budaya dan pola pikir yang berbeda. 

Paling susah jadi interpreter itu adalah ketika harus selalu berada di tengah, harus selalu bersikap netral, harus selalu jaga emosi meski dua kubu sepanas apapun nggak boleh terbawa emosi, dan harus selalu lempeng alias datar dan nggak boleh sampe meninggikan suara. Apalagi ketika lawan bicara yang ditranslate-nya sama-sama kayak si Ojan, sama-sama nggak mau kalah, kalo boleh lempar kursi ato gebrak meja, kayaknya kursi ama meja kantor udah abis ane lempar kesana kemari.

Tapi, itulah seninya menjadi seorang interpreter.

Tidak hanya belajar bahasa yang harus diterjemahkan, tapi kita bisa belajar bagaimana berkomunikasi, bagaimana menyesuaikan diri saat bicara dengan berbagai macam karakter lawan bicara, bagaimana mengontrol emosi, bagaimana menggunakan bahasa yang baik dan benar, serta teruuusss belajar, belajar dan belajar. 

Karena belajar bahasa itu nggak ada habisnya, bahasa itu luas dan harus dipakai setiap hari :)

Meski berat, but I love this job!
Fight!!!




No comments:

Post a Comment

Are you listening?

 “Kita dianugerahi dua telinga dan satu mulut, bukankah itu berarti kita sebaiknya lebih banyak mendengar daripada bicara?” Saya sering deng...