biarlah tetap menjadi rahasia

4-Dec-14

Pagi ini tiba-tiba Bos memanggilku ke ruang meeting. 
Aku tahu. 
Pasti dia akan membahas soal rencanaku resign akhir tahun nanti. Tanpa basa-basi aku pun mengekor atasanku itu menuju tempat yang ditunjuk.

Seperti sudah menebak isi pikiranku, dia bertanya, "Sudah tahu kenapa dipanggil ke sini?" Aku hanya menggangguk dan berkata, "Soal rencana saya resign akhir tahun nanti."

Karena Bos-ku ini bukan tipe orang Jepang kebanyakan, yang suka basa-basi dan muter-muter kalau membicarakan sesuatu, dia langsung menuju pembicaraan inti. Dia bilang kalau sebetulnya dia sangat shock ketika mendengar aku akan resign. Bayangkan saja, 4 tahun aku bekerja dengannya, 4 tahun selalu duduk di sampingnya, 4 tahun mensupport-nya, kemudian tanpa ada pembicaraan atau bahkan tanda-tanda seorang yang ingin berhenti kerja (seperti karyawan kebanyakan yang berniat resign, biasanya dia akan mulai sering tidak masuk kerja, kinerja menurun, dan banyak gangguan lainnya) tiba-tiba aku mengajukan surat resign.

Satu hal yang membuat dia shock, atau mungkin agak sakit hati untuknya [walaupun dia tidak bilang langsung, tapi aku tahu dari ekspresinya] adalah aku mengajukan resign tidak langsung padanya yang notebene atasannya, malahan ke HRD, baru setelah itu HRD menyampaikan pengajuanku padanya.

Kalau pinjam istilah temanku, ibaratnya aku tiba-tiba ingin putus dengan pacarku tapi tidak mau bicara langsung padanya, malah bilang pada temanku supaya dia bilang pada pacarku aku ingin putus. 
Ribed deh ah.

Yeah, something like that. 
Bos-ku pun memberikan perumpamaan yang mirip ketika tadi kami bicara empat mata.

Ya, 4 tahun memang bukan waktu yang sebentar. Walaupun bagiku terasa seperti baru kemarin aku melamar kerja, interview dengannya dan memasuki hari pertama bekerja serta berkenalan dengan semua karyawan di sini. Banyak orang bilang, aku adalah interpreter dan sekertaris Bos yang paling lama bertahan. Karena sejak dulu, kebanyakan hanya 1-2 tahun yang mampu bertahan bersama Bos dengan semua sifat galak, tegas, dan disiplin tingkat dewa yang dia miliki.

Well, aku tidak masalah dengan semua aturan dan disiplin yang dia berikan. Toh, dari kecil aku sudah terbiasa dengan didikan ayahku yang keras. Aku juga suka keteraturan dan sudah hatam dengan budaya Jepang yang amat mementingkan disiplin dan kebersihan. Aku menikmati semua itu.

Aku juga tidak pernah bermasalah dengan sesama rekan kerjaku atau atasan-atasan yang lain. Meskipun dulu ketika pertama kali masuk aku pernah di bully oleh salah seorang seniorku, toh itu kuanggap sebagai pembelajaran supaya aku bisa belajar lebih baik lagi. Tapi, hingga hari ini para rekan kerjaku bisa bekerja sama dengan baik.

Kalau boleh sedikit berbangga, aku tidak pernah diberi peringatan keras oleh atasan, tidak pernah melanggar aturan perusahaan, bahkan saking rajinnya masuk kantor dan amat sangat jarang mengambil cuti, aku sampai-sampai tidak tahu bagaimana prosedur pengambilan cuti di perusahaanku sendiri.

Dengan semua image baik yang kubangun selama 4 tahun ini, semua orang menganggap aku SANGAT enjoy dengan posisi dan pekerjaanku saat ini.

Sehingga, ketika mereka tahu aku akan resign sebentar lagi, banyak yang kaget dan hampir semua berkata, "Kenapa resign? 'Kan udah nyaman disini. Kamu keliatannya enjoy banget. Udah jadi karyawan tetap lagi."

Aku hanya tersenyum.

Tersenyum karena selama 4 tahun ini aku berhasil memberikan mereka image seorang karyawan yang baik dan enjoy dengan pekerjaannya.
Tersenyum karena aku berhasil mengelabui mereka.
Tersenyum karena topeng yang setiap hari kugunakan ternyata sangat manjur.
Tersenyum karena akting-ku rupanya tidak kalah dengan aktris-aktris hebat di luar sana 
#ditoyor

Kembali ke pembicaraan antara aku dan Bos, setelah meminta maaf karena aku sudah menyinggung perasaannya dengan tidak mengutarakan keinginanku resign secara langsung, kami pun melanjutkan pembicaraan.

Aku utarakan alasan kenapa aku tidak langsung menyampaikan maksudku padanya. Awalnya, aku ingin berkonsultasi dulu dengan HRD. Kebetulan manager HRD-ku perempuan sehingga kupikir jika sesama perempuan kami bisa diskusi dari hati ke hati mengenai bagaimana caranya agar saat menyampaikan pada Bos, aku tidak salah bicara dan bisa tersampaikan dengan baik. Salahnya, saat itu HRD mungkin kurang paham maksudku. Ia malah langsung menyampaikan maksudku pada Bos dan bilang, "Saya sudah sampaikan pada Bos, jadi anda tidak perlu sampaikan apa-apa."

Padahal niatku setelah diskusi dengan HRD, aku mau menyampaikan langsung pada Bos. Tapi, karena HRD bilang seperti itu, ya sudah.

Ketika HRD menyampaikan alasanku resign pada Bos, dia tidak percaya.

Waktu itu aku memberikan alasan bahwa aku memiliki kepentingan keluarga yang amat sangat mendesak dan perlu waktu lama untuk menyelesaikannya. Aku khawatir jika kepentinganku akan mengganggu pekerjaan, sehingga aku lebih baik berhenti bekerja agar bisa fokus.Bos tetap tidak percaya.

Dia menganggap alasanku dibuat-buat dan sebenarnya aku resign untuk pindah ke perusahaan lain. Saat itulah ia setengah memaksa agar aku mengatakan alasan yang sebenarnya [susah memang kalau punya Bos kepo tingkat khayangan...].

Jawabanku, aku memang punya keperluan mendesak. Nenekku sakit dan aku harus mendampingi beliau terus disisinya. Dari sekian banyak cucu, akulah yang paling dekat dengan nenekku. Aku ingin terus berada di sampingnya. Untuk itulah aku resign.

Saat itu, kupikir Bos tidak akan menerima alasanku yang terdengar seperti cerita drama atau sinetron murahan. Tapi ternyata di luar dugaan, ia langsung percaya dan melepaskanku agar aku bisa berada di samping nenekku. Bahkan, ia bercerita bahwa ia pun sama sepertiku, cucu kesayangan neneknya. Ketika neneknya meninggal, ia tidak ada di sampingnya karena saat itu ia sedang berada di Indonesia. Ia tidak bisa melihat neneknya untuk yang terakhir kalinya. Karena itu, ia tidak mau kejadian yang sama menimpaku dan berpesan agar aku selalu berada di samping nenekku.

Detik berikutnya, mata Bos-ku tiba-tiba berkaca-kaca dan air mata mengalir membasahi pipinya.

Bos yang selama ini kukenal amat sangat galak, keras, disiplin, bahkan tidak pernah menunjukkan emosinya di hadapan siapapun, kini ia sedang menangis di hadapanku.

Sambil terus berpesan agar aku menjaga nenekku dengan baik, ia menyeka air matanya yang tidak berhenti mengalir. Aku yang melihat pemandangan itu hanya bisa menatapnya sambil berusaha menahan air mataku tanpa bisa berkata apapun [walaupun pada akhirnya ikutan nangis juga, sih....]

Aku, menjadi merasa bersalah.
Merasa bersalah, karena saat ia menangis, pikiran jelekku malah mengatakan, "Apakah dia benar-benar menangis, atau hanya akting agar aku bersimpati padanya?"

Aku segera mengenyahkan pikiran buruk itu jauh-jauh dan mengubur dalam-dalam sifat skeptis-ku yang sudah kadung akut ini.

Pada teman-teman dekatku, aku bilang kalau alasanku resign karena butuh suasana baru, tempat kerja yang lebih nyaman dengan orang-orang baru dan tantangan baru, serta rasa gerah karena aku harus jadi mata-mata jejadian di tempat kerja.

Sedangkan pada orang lain, aku menyebutkan alasan yang sama seperti yang kukatakan pada Bos.

Mana yang benar? Well, dua-duanya benar.

Aku butuh suasana baru. Nenekku memang sedang sakit dan untuk itu aku tidak akan langsung bekerja di tempat baru. Akan kusempatkan sekitar 3-4 minggu untuk rehat dan mendampingi nenekku.

Tapi, alasan tetaplah alasan. Terkadang ada beberapa hal yang tidak memerlukan alasan. Biarlah apa adanya.Biarlah hanya aku sendiri, dan Tuhan tentunya, yang tahu ALASAN SEBENARNYA aku resign. Cukup sudah aku bicara dan bercerita dengan banyak orang. Alasan itu cukup kusimpan sendiri saja dan menjadi rahasia berdua antara aku dan Tuhan.

Alasan yang amat sangat sederhana, atau bahkan sebetulnya tidak perlu, yang justru TIDAK AKAN PERNAH kukatakan pada siapapun.Maaf teman, Ayah, Ibu, Nenek, bahkan blog kesayanganku.
Ada kalanya aku tidak mau mengungkapkan apapun.

Ada kalanya aku hanya ingin menyimpannya sendiri bersama Tuhan di dasar hatiku yang paling dalam yang tidak akan pernah kubuka.

Setelah sesi curhat berakhir, dan Bos sudah kembali tenang, ia menawarkan pilihan lain padaku.

Jika aku memang harus kembali ke Bandung dan mendampingi nenekku, ia tidak memaksa. Tapi, tentunya aku pasti butuh pemasukan untuk merawat nenekku, bukan? Tanyanya. Ia menawarkan, bagaimana jika aku bekerja di rumah sebagai freelance untuk menterjemahkan e-mail dan dokumen yang ada di perusahaan. Aku bisa bekerja di rumah sambil tetap mendampingi nenekku dan tetap dibayar. Karena untuk komunikasi, Bos-ku sebetulnya tidak memerlukan penterjemah, paling hanya untuk saat ia pidato atau briefing general. Ia akan membayar honor terjemahanku, biaya internet yang terpakai untuk mengirim dokumen by e-mail, ongkos ke kantor saat aku dipanggil untuk briefing general sebulan sekali, dan sebagainya.

Nampak menggiurkan. Karena aku bisa berada di rumah tapi tetap mendapatkan penghasilan.

Tapi bukan itu masalahnya.
Aku sudah memutuskan untuk melepas semuanya tanpa ada sedikitpun yang tersangkut. Semua. Tanpa tersisa sedikitpun.

Untuk itu, besok seperti yang kujanjikan, akan kuberikan jawaban atas tawaran Bos-ku, bahwa aku senang dengan kepedulian beliau dan tetap memberiku pilihan meski aku sudah mengajukan resign, namun aku tidak bisa menerimanya.

Maaf, bos. Aku dengan amat sangat terpaksa menolaknya. Semoga anda maklum.

Semoga kita bisa bekerja sama lagi di lain waktu dan kesempatan, tentunya tidak dalam waktu dekat ini....




No comments:

Post a Comment

Are you listening?

 “Kita dianugerahi dua telinga dan satu mulut, bukankah itu berarti kita sebaiknya lebih banyak mendengar daripada bicara?” Saya sering deng...