[Interlude] : I'm so glad to see you.....but,

Disclaimer : Postingan ini dibuat ketika saya lagi labil ababil, ditambah PMS dengan emosi yang naik turun dan gampang mewek,
jadi kalau ada beberapa (atau mungkin semua) yang lebay baday dan menye-menye termehek-mehek, harap maklum ya.
*udah iyain aja, biar cepet* #MAKSA

Di suatu siang, bis yang kutumpangi hampir tiba di sebuah kota yang jika namanya terdengar di telingaku entah kenapa ada rasa rindu terbersit dalam pikiran.
*padahal baru juga sekali datang kesitu, itu pun cuma transit*
*kangen sama kotanya apa kangen sama seseorang yang tinggal di situuuu?* #ehem
*rindu sama baper beda tipis emang*


“Bis akan tiba di Kota Hamamatsu sebentar lagi”, suara announcer bis menandakan aku semakin dekat dengan kota tempat tinggalmu.

「君の街まであと少し。。。」
Just a little more to your city      (Arashi – Subarashiki Sekai)

Begitu nama kota itu disebut, aku jadi teringat janjiku denganmu di hari esok.
Tanpa berpikir panjang *padahal biasanya kudu mikiiiir dulu berjam-jam kalo mau memulai percakapan*
kuambil handphone dan kubuka salah satu aplikasi chatting, mencari namamu di salah satu history chatting, lalu kuketikkan sepatah kata,
“Besok jadi? Jam berapa?”

Orang yang kukirimi sebuah kalimat chatting di seberang sana masih sibuk kerja, jadinya jawaban chat-ku baru dibalas 30 menit kemudian.
Nggak apa-apa lah, berapa jam pun kutunggu, apalagi ini hanya 30 menit
*padahal hati udah ketar-ketir nunggu jawaban, dan siap ngamuk kalau-kalau kamu tiba-tiba membatalkan janji kita*
*siap-siap lempar trisula*


Balasan chat dari bocah Hamamatsu di seberang sana pun tiba dengan ditandai dari notifikasi handphone-ku yang menyala,
bukannya aku buka, tapi malah kuintip sedikit lewat layar wallpaper di handphone.
“Besok agak sorean nggak apa? Sorry….. tiba-tiba ada keperluan mendadak yang nggak bisa aku tinggalin nih T.T”.

Lagi-lagi, sibuk banget ini orang.
Padahal kemaren keukeuh minta janjian siang hari, tapi di hari H-nya malah minta diundur malem.
Aku menutup layar handphone sambal menghela napas.
Ya sudahlah, masih untung nggak dibatalin juga, setidaknya masih bisa ketemu di malam hari.
*menghibur diri ceritanya*
*padahal udah pengen teriak ketzel sejadi-jadinya*


Akhirnya chat dari dia nggak kubuka, supaya notifikasi “READ” di layar chatting nggak muncul.
Ceritanya aku juga pura-pura sibuk, sampai nggak sempet buka chat dari dia, jadi nggak keliatan ngebet banget #PADAHAL IYA#

Aku yang awalnya pura-pura belum baca chat dari dia, eeeh malah kelupaan.
Karena siang itu memang rencananya main sama temen kuliah yang kebetulan lagi di Hamamatsu, jadinya keterusan jalan-jalan dengan temanku,
dan chatting dari dia bener-bener lupa kubales #dikeplak

Tiga jam tiga puluh menit kemudian aku baru ingat kalau belum balas chat dia.
Masih dengan sedikit rasa kecewa, kubuka aplikasi chatting di handphone dan kubalas dengan satu jawaban dan satu pertanyaan singkat.
“Nggak apa-apa.
Mau jam berapa jadinya?”
tanpa emoji atau sticker apapun, untuk menyembunyikan perasaanku saat itu.

“Jam 6 sore gimana?” kamu bertanya balik, yang kemudian kubalas dengan salah satu sticker yang menandakan OK dengan tawarannya.
“Di Hamamatsu-station ya?” tanyaku lagi.
“Nanti kujemput di South Exit ya!”,
balasmu 2 jam kemudian
*kena karma kayaknya gue, dibalesnya lama banget…haha*

Selama satu hari penuh aku habiskan waktuku dengan teman kuliahku, jalan-jalan, window shopping di department store di sekitar Hamamatsu Station, dan kami pun mengisi perut yang keroncongan setelah capek keliling di salah satu restoran tradisional tidak jauh dari Hamamatsu Station.
Sekitar jam 4 sore, kami pulang ke rumah temanku dan disana aku bertemu suami temanku yang kebetulan orang Jepang.

Sebetulnya aku agak sungkan menginap di rumah temanku, apalagi mereka masih pengantin baru #HAHA
tapi karena temanku keukeuh minta supaya aku menginap di rumahnya, akhirnya kuterima juga ajakannya.
Lumayanlah, bisa ngobrol dengan temanku dan suaminya, bisa agak menyibukkan pikiranku dari rasa nggak karuan karena janji penting besok.

Sebut saja aku lebay dan kekanakan, setiap jam yang berlalu selalu kuhitung mundur hingga nanti akhirnya bisa bertemu denganmu.
Setiap jam yang kuhitung mundur, perasaanku semakin nggak karuan dan selalu kualihkan dengan kesibukan lain.

Besoknya, aku, temanku dan suaminya pergi jalan-jalan di sekitar Hamamatsu.
Kami berkeliling ke Unagi Pie Factory, Danau Hamanako dengan ropeway dan pemandangan danau yang menakjubkan, mengunjungi toko pernak-pernik yang cantik, dan terakhir pergi makan di salah satu family restoran “SAWAYAKA” yang katanya terkenal di Kota Hamamatsu.
Sebetulnya setelah makan, kami berencana melanjutkan jalan-jalan ke Hamamatsu Castle atas request-ku yang memang lagi suka banget mengunjungi castle yang ada di seluruh Jepang.
Sayangnya, karena tadi ngantri cukup lama di SAWAYAKA, waktupun tidak terasa sudah hampir jam 4 sore.

Meski jam janjian dengan dia adalah jam 6 sore, tapi aku pengen balik dulu ke hotel untuk nyimpen barang-barangku.
Kan nggak asik kalo kentjan sambal bawa-bawa gembolan yang isinya baju kotor, underwear, anduk basah, oleh-oleh dari Unagi Pie Factori, sampai catokan dan seperangkat alat dendong yang ada di dalam ransel.
Ditambah lagi aku juga pengen mandi dulu, supaya kelihatan segar dan kinclong ketika nanti malam ketemu dia #eeaak
*padahal mandi nggak mandi juga sama aja cupu*

“Udah hampir jam 4 sore, bukannya temanmu mau pulang jam 3 sore. Nggak apa-apa telat nih?”, suami temanku bertanya.
“Oh iya, sorry ya jadi telat….”, temanku menambahkan. Mereka tahunya kalau aku janjian jam 3 dengan dia.
“Nggak apa-apa, santey aja. Aku udah bilang sama dia supaya jam janjiannya digeser”, jawabku santai.
“Dijemput dimana sama temanmu?”
“Di Hamamatsu Station. Tenang aja, rumah dia deket dari stasiun sekitar 10 menitan, jadi bisa datang kapan aja”, kataku coba menenangkan.
“Eeeh??!! Temenmu itu orang Hamamatsu juga?” suami temanku kaget.
“Hehehe, iya.”
“Iya. Cowok. Cowok Hamamatsu juga”, temanku menambahkan, yang sebetulnya nggak perlu^^

Sekitar jam 16:40 aku sampai di Hamamatsu Station.
Setelah mengucapkan terima kasih pada temanku dan suaminya, plus pamitan pada mereka, aku pun segera meluncur menuju Hamamatsu Station dan mencari hotel tempatku menginap.
Tidak sampai 10 menit, aku tiba di hotel, check in, lempar tas dan mandi.
Beberapa menit setelah aku siap, tiba-tiba dia mengirim chat lagi.
“Kayaknya nggak bakalan keburu pas jam 6, mundur dikit 30 menit nggak apa-apa?”, lagi-lagi orang sibuk satu ini minta geser jam janjian.
Karena isi kepalaku saat itu hanya memikirkan YANG PENTING BISA KETEMU, aku pun dengan santainya mengiyakan.

Duh, yaowloooo kenapa susah banget ya ketemu satu orang ini.
Dari dua tahun lalu, setahun lalu bahkan di hari H pun adaaaaa aja halangan buat ketemu bocah satu ini.
Semoga, semoga kali ini semuanya dilancarkan dan betulan bisa ketemu dengannya, meski hanya sebentar,
doaku di dalam sholat di sore hari sebelum pergi menemui dia.

…………………………………………………………………………………………………………

Dua tahun yang lalu, di pertengahan 2015 aku bertemu dengannya di tempat kerjaku sebelumnya, di Indonesia saat ia datang sebagai auditor dari kantor pusat di Jepang.
Aku sebagai penterjemahnya saat itu, mulai berkenalan dan mengenal dia sedikit demi sedikit.
Hanya diperlukan waktu sepuluh hari untuk menyadari kalau aku merasa nyaman di dekatnya.
Meski dia suka nge-bully dengan kata-katanya yang pedas dan ceplas-ceplos, entah kenapa aku merasa obrolan dan candaan kami nyambung.

Well, mungkin ini cuma perasaanku yang sepihak saja padanya, entahlah apa yang dia pikirkan tentangku.
Tapi aku tidak peduli.
Aku tahu saat itu, dan berani kukatakan dengan jelas, bahwa aku ternyata menyukainya.

Ooh, I got crush on you.
I hope you feel the way that I do. I get a rush, when I’m with you
        (Crush – Mandy Moore)


Sayangnya, dia tidak lama berada di Indonesia karena harus kembali ke negara asalnya, Jepang.
Setelah kepulangan dia, komunikasi kami berlanjut dengan saling chatting atau kirim-kirim foto *lebih banyak dia yang kirim foto   -foto dia sendiri-   karena bocah satu ini narsis juga…haha*

Setahun kemudian, aku berkesempatan mengunjungi Jepang, tapi sayangnya dia saat itu tidak bisa ditemui karena sibuk dengan kerjaannya #SOKSIBUK
Satu setengah tahun kemudian, lagi-lagi aku pergi ke Jepang, dan lagi-lagi kami tidak bisa bertemu. Selain dia yang sibuk, waktuku yang amat sangat terbatas di Jepang saat itu, serta jarak kami pun cukup jauh.
Sekitar 4 jam perjalanan dengan bis dan waktuku juga tidak banyak *meskipun bisa saja sih ditempuh dengan kereta Shinkansen yang cuma memakan waktu 1 jam setengah*.

Dua kali aku ke Jepang, sama sekali tidak bisa bertemu.
Akhirnya aku menyerah, mungkin Allah memang tidak merestui dan tidak mengijinkan kami bertemu.
Karena sekuat apapun aku berusaha, bahkan hingga terbang melintasi lautan, kami tetap tidak bisa bertemu.
Mungkin memang ini jalan yang diberikan Allah padaku supaya aku melupakan dia dan menyerah, jadinya kami tidak dipertemukan sedikit pun.
Aku pun pasrah.

Seberapa pantaskah kau untuk kutunggu,
cukup indahkah dirimu untuk selalu kunantikan……
    (Seberapa Pantas – Sheila on 7)


Meski komunikasi kami masih berlanjut via chatting dan terkadang dia menelepon *meski cuma tanya soal kerjaan*, tapi saat itu aku benar-benar sudah menyerah dan bertekad tidak akan memperjuangkan perasaanku lagi.
Aku tidak mau kecewa lebih dari ini, aku tidak mau berekspektasi terlalu tinggi yang nantinya pasti akan terluka lagi.
Sebut saja aku pengecut, tapi aku betul-betul takut dikecewakan lagi.

Kemudian,
tiga bulan lalu aku mendapatkan pekerjaan di Jepang dan diberi kesempatan tinggal selama setahun bahkan seterusnya jika aku menginginkannya.
Tidak lupa kuberi kabar padanya bahwa aku akan pindah ke Jepang dan berada di negara yang sama dengannya untuk waktu yang lama.
Sayangnya, kota tempat tinggal kami berjauhan. Aku di Tokyo dan dia di Hamamatsu, masih 4 jam perjalanan dengan bis.
Belum lagi aku yang sibuk dinas luar kesana kemari, yang semakin menjauhkan kesempatanku bertemu dengannya.

Bahkan, ketika dia mengabarkan akan dinas luar ke Tokyo pun, pada akhirnya kami masih tidak bisa bertemu karena di hari itu ia harus segera kembali ke Hamamatsu.
Bahkan, ketika kami sudah di negara yang sama sekalipun, aku masih tidak bisa bertemu dengannya.
Mungkin memang kami tidak direstui untuk bertemu, dan memang aku benar-benar harus MENYERAH.


Setiap pertemuan pasti ada perpisahan.
Well, sering dengar bukan?
Tapi untukku, ada tambahannya.
Jika aku berpisah dengan seseorang, kemudian kami bisa bertemu lagi untuk kedua kalinya meski terpisah untuk waktu yang lama dan jarak yang sangat jauh,
aku selalu PERCAYA kalau itu adalah sebuah keajaiban dan pasti ada maksud dari pertemuan kedua itu.
Pasti ada rencana Allah dibalik semua itu.

Dan kenapa aku sangat menantikan pertemuan kedua dengannya kali ini adalah untuk memastikan perasaanku SEKALI LAGI.
Selama dua tahun tidak bertemu dengannya, aku sudah tidak mengharapkan apapun lagi, hatiku sudah tertutup rapat karena tidak mau kecewa lagi.

Tapi,
jika nanti malam aku benar-benar bisa bertemu dengannya, bisa kembali melihat wajah dan senyum jailnya, dan saling bercanda juga saling bully seperti biasa,
aku ingin tahu apakah rasa hangat dan nyaman dua tahun lalu akan kembali lagi atau hanya rasa biasa layaknya seorang teman lama yang tidak bertemu selama dua tahun.
Sekali lagi,
aku ingin memastikan perasaanku.

Bilakah dia tahu, apa yang t’lah terjadi
Semenjak hari itu, hati ini miliknya
     (Andai Ia Tahu – Kahitna)


Kalau saat ketemu nanti ternyata nggak ada nyetrum-nyetrum sedikitpun #HALAH! alias aku lempeng-lempeng saja, berarti yu dadah yu babai.


Untuk itu, kumohon pertemukan aku sekali lagi dengannya.

…………………………………………………………………………………………………………


Jam di kamar hotel menunjukkan tepat jam 18:00.
Notifikasi chat darinya mengagetkanku yang sedang memandangi jam.
“Maaf ya”, satu kata darinya yang membuatku tersenyum kecil.
“Nggak apa-apa. Santey aja”, jawabku menenangkannya agar tidak merasa bersalah.
“Ah, urusanku udah beres nih, sekarang OTW ke Hamamatsu Station ya. Mungkin sekitar jam 6:20 udah nyampe”, dia mengabarkan.
“Owh, kalo gitu sekarang aku jalan ke stasiun ya”, aku pun bergegas mengambil tasku, memakai sepatu dan keluar dari hotel menembus angin musim dingin di akhir Desember menuju stasiun.

Sekitar jam 06:15 aku tiba di Hamamatsu Station.
“Udah nyampe di South Exit nih, aku nunggu dimana?”, tanyaku sekalian mengabarkan.
“Aku udah deket sih, tapi macet banget nih padahal tinggal masuk ke stasiun doank. Di South Exit kan ada tempat yang banyak mobil parkir sementara buat ngejemput tuh, tunggu disitu ya”, dia membalas dalam hitungan detik, “Ketemu nggak tempatnya?”
“Bentar, cari dulu”, balasku sambal celingak-celinguk di sekitar stasiun mencari tempat yang dia minta.
“Aarggh, masih belum nyampe juga nih!”, dia masih terjebak macet, “Aku pake mobil putih ya”, tambahnya untuk memudahkanku mencarinya.

Padahal tinggal beberapa puluh meter jarakku dan dia, tapi tetap saja ada yang menghalangi.
Segitu susahnya kah kami bertemu?

“Tempat yang banyak mobil berhenti itu maksudnya depan Nippon Seimei Building bukan?” aku memastikan.
“Aku bentar lagi mau belok kanan, tapi masih macet juga, masih stuck di tengah nih”, jawabnya, “Nemu Family Mart nggak?”
“Owh! Ada! Ada! Pas depanku ada Family Mart. Aku kesitu ya”, jawabku sambal berlari kecil menuju arah yang dituju.

Dalam beberapa puluh detik, aku sudah berada di seberang Family Mart dan mataku mulai mencari mobil berwarna putih.
Tepat di depan Family Mart, kutemukan dua mobil berwarna putih berjejer yang menyalakan lampu sen tanda ia akan berbelok ke kanan.
Aku memicingkan mata dalam jalanan yang hanya diterangi lampu jalan untuk mencari mobil putih mana yang sedang dia kendarai.
Belum sempat kutemukan orang yang kucari, aku dikagetkan dengan handphone-ku yang berbunyi dan memunculkan namanya di layar.

Sambil gemetaran, entah karena menahan angin musim dingin malam itu, entah saking gugupnya aku, kugeser icon bergambar telepon berwarna hijau ke sebelah kanan.

“Halo”, jawabku singkat karena sudah tahu siapa yang menelepon.
“Ini! Ini! Aku disini. Aku ngeliat kamu di seberang!”, jawabnya dengan bersemangat “Ketemu nggak? Ini! Aku!”, dia melambaikan tangan menandakan bahwa ia ternyata ada di dalam mobil putih di deretan kedua.
“Ohhh! Ada! Aku juga ngeliat kamu!”, jawabku tidak dapat menyembunyikan kegembiraan sekaligus rasa gugup beribu kali lipat dibandingkan beberapa menit yang lalu.
“Mumpung macet, kamu kesini aja ya. Langsung naik mobil. Sini ya”, katanya.
“He-eh, aku ke sini”, jawabku.
“Bukan, kamu kesini, jadi jawabnya ‘aku kesitu’”, jawabnya sambil meledek.

IYAAAA, BAWEEEEL!
Salah dikit nggak apa-apa sik!
Kalo lagi grogi tingkat dewa bahasa jepang gue emang suka jadi amburadul.
Masih sempet-sempetnya ngana ngoreksi bahasa jepang gue-______-

Jarakku dan dia akhirnya hanya dipisahkan lampu merah, dan ketika aku menunggu lampu berubah hijau agar bisa menyebrang dan menghampirinya yang sedang menungguku,
itu adalah lampu merah terlama dalam hidupku #LEBAY
Buruaaaan HIJAU, nyet!
Gue tebang juga ini lampu merah
*sabar, Izumi! Minum dulu obatnya*
*orang di seberang sana nggak bakalan pergi kemana-mana kok* #uhuk


Beberapa puluh detik kemudian, lampu penyebrangan akhirnya berubah hijau dan aku melesat menuju mobil putih yang tepat ada di seberangku, membuka pintunya dengan terburu-buru karena mobil di belakangnya sedang menunggu giliran jalan.
Begitu kubuka pintunya, kulihat wajah yang selalu ingin kutemui dan senyum jailnya yang tidak berubah.

“Hai!!!”, sapanya dengan bersemangat sambil menyunggingkan senyum jailnya.
“Haai juga! Aaaaak, long time no see BANGET ya!” jawabku tidak kalah bersemangat.
“He-eh ya! Gila lama banget nggak ketemu ya! Kamu sehat?!” balasnya sambil memutar kemudi dan melepas rem dari kakinya tanda ia akan mulai melaju.
“Yup! Sooo fine! Kamu gimana?” balasku.
“Aku? Aku juga FINE BANGET!” jawabnya sambil tertawa kecil.

I’m so glad you made time to see me.
How’s life? Tell me how’s your family? I haven’t seen them in a while.
You’ve been good, busier than ever. We small talk, work and the weather.
」  

(Back to December – Taylor Swift)

Di dalam mobil yang hangat kami berdua menembus malam yang dingin di Kota Hamamatsu.
Malam itu dia begitu santai dan relaks dengan jaket parka dan celana panjang bermotif polkadot yang nampak hangat.
Dia memutarkan lagu-lagu Sandaime J Soul Brothers di dalam mobilnya, and you know what?!!
Lagu yang saat itu mengalun adalah HANABI, my favorite song of Sandaime’s song.
Aaaaak, kenapa bisa se-nice ini kebetulannya?

「あなたに会うたびわがままになります。このままずっとこのままで。
言葉なんか要らない見つめて下さい。こんなに溢れてるあなた。。。好きです」
Everytime I see you, I am being selfish. I want like this way all the time.
I don’t need words, please look at me. I like you who are so full of so much.
          

(Hanabi – Sandaime J Soul Brothers)

“Wah, lagu Sandaime!” celutukku tanpa sadar begitu tahu lagu Sandaime yang lembut mengalun di mobilnya.
Dan dia hanya tersenyum sambil melihatku.
Oh, GOD! Please, STOP LOOK AT ME with THAT EYES! #MELELEH
“Sorry ya, jadi malem gini. Bener-bener ada urusan yang nggak bisa aku tinggalin”, lagi-lagi dia menunjukkan rasa bersalahnya.
Aku menggeleng, “Santey aja. Ada kerjaan mendadak tadi?” tanyaku #KEPO
“Bukan, sih. Nenekku tiba-tiba butuh bantuan, mana dia udah sepuh banget, bahkan udah mulai lupa namaku. Jadinya siang tadi aku kudu bantuin dia”, ceritanya panjang lebar.
Dan aku hanya mengangguk-angguk sambil mendengarkan ceritanya.

Dia tidak menyebutkan akan pergi kemana dan membawaku kemana malam itu, tapi aku tidak peduli.
Hanya putar-putar pakai mobil sepanjang malam pun tak apa, selama dia yang ada disebelahku #MULAIMELOW

“Tadi siang jadi main sama temenmu?”, dia memulai percakapan.
“He-eh”, jawabku singkat.
“Main kemana aja?”, tanyanya lagi seolah-olah jawabanku belum cukup.
“Lumayan banyak tempat. Pertama ke Unagi Pie Factory, ngeliat langsung pabriknya sambil beli oleh-oleh. Trus abis itu ke Hamanako”, ceritaku.
“Hamanako ke mananya?” tanyanya lagi #KEPOJUGADIA
“Nggg….apa ya itu namanya? Oiya! Hamanako Paru-Paru, trus naik ropeway dan ngeliat pemandangan danau dari atas. Oh, sekalian ke Museum Orgel juga”, jawabku sambil memandang lurus ke depan
*nggak berani ngeliat wajahnya, GROGOL cyiiin!*
“Aah, Hamanako ya. Yah, di Hamamatsu tempat rame cuma sekitar situ, kalo yang lainnya sepi dan biasa aja sih”, tambahnya sambil melemparkan pandangannya ke arahku.
*liat depan mas! Liat depan, jangan liat akyuuuu!* #GE-ER

Selang beberapa lama, kami melewati sebuah family restoran yang nampak familiar untukku.

“Kamu tau nggak restoran ini?” tunjukknya, “Di sini terkenal lho!”
“Ng? Restoran ini…..nggak tahu…..” aku menjawab sambil mengingat-ngingat, “Aah!!! Tadi siang aku makan disini bareng temenku! SAWAYAKA kan namanya?!” kataku bersemangat karena berhasil mengingat.
“Hooo, tadi siang makan disini!? Wah, kebetulan banget ya!” timpalnya.

Tidak jauh dari SAWAYAKA, kami tiba di tempat tujuan.
Rupanya dia mengajakku ke sebuah tempat makan okonomiyaki bernama Dontonbori *kalo nggak salah*

Begitu memasuki area parkir dia membuka percakapan lagi, “Aku biasanya kalo makan di SAWAYAKA suka pesan Genkou Hamburg. Dan kayaknya cuma itu yang gue pesan…haha”, ceritanya tanpa diminta.
“Hooo, iya tadi juga ada Genkou Hamburg, dan tadi aku makan Tedzukuri Hamburg”, timpalku.
“Kamu makan Genkou Hamburg sama Tedzukuri Hamburg juga?” tanyanya agak kaget  *GUE NGGAK SERAKUS ITU JUGA KALEE!*
“Nggak lah! Temenku yang makan Genkou, kalo aku cuma Tedzukuri doank!” balasku
“Tadi makan siang di SAWAYAKA jam berapa?” tanyanya lagi.
“Jam 2 siang.”
“Sekarang belum terlalu laper donk. Masih jam 7-an nih”, jawabnya sambil melihat jam di layar mobilnya.
“Nggak apa-apa, tadi aku cuma makan dagingnya doank, tanpa nasi.”
“Kenapa nggak makan nasi? LAGI DIET?” tanyanya sambil terkekeh.
“KAGAK!”   *Mulai deh*

Begitu mobil selesai diparkir, kami menuju pintu masuk restoran okonomiyaki.
Karena dia berada di depanku, dia membukakan pintu restoran.
“Lho? Kok nggak bisa dibuka?!” dia bergumam sambil menggerak-gerakkan pintu geser restoran,
“Oh, ternyata pintu sebelahnya. Salah. Haha”, dia terkekeh.

Situ ikut-ikutan grogi juga kayak ane, sampe salah buka pintu, Mas?
Muahahahahaahaa.

Setelah menyimpan sepatu di loker khusus sepatu, kami pun dipandu oleh pramusaji restoran menuju tempat duduk yang ternyata lesehan.
Karena namanya restoran okonomiyaki yang udah pasti masak sendiri di hot plate yang ada di meja tempat kita duduk, hawa panas pun langsung terasa menempel di wajah dan badan.
Ditambah aroma okonomiyaki dan daging serta sea food yang dibakar semerbak tercium di seluruh ruangan.

Padahal tadi udah dendong, nyatok rambut, dan pake minyak wangi.
SEMUA BUYAR deh digantikan aroma okonomiyaki dan hawa panas.
Haha.

Oiya, soal minyak wangi, pas tadi keluar dari mobil dia tiba-tiba tanya, “Kamu pake minyak wangi ya? Harum vanilla atau sejenisnya?”
Tau aja nih bocah.
KOMEEEEN AJA.

“Mau pesen yang mana?”, dia bertanya sambil membuka-buka menu.
“Nggak tau. Aku baru pertama kali ke restoran okonomiyaki, bahkan belum pernah bikin di hot plate langsung kayak gini”, jawabku.
“MASA?! Di Indonesia nggak ada okonomiyaki gitu?”
“Ada sih, tapi nggak bikin sendiri gini, tinggal makan aja. Jadi ngeraciknya nggak tau kudu gimana”, aku makin bingung.
“Hmmm, kamu kan nggak makan pork, jadi pesen yang tanpa pork atau seafood aja”, dia menyarankan.

Setelah masing-masing menetapkan pilihan, dia pun membunyikan bel untuk memanggil pramusaji.
Satu porsi okonomiyaki berisi sayuran dan seafood tanpa pork untukku, satu porsi okonomiyaki berisi pork dan udang plus satu porsi monjayaki seafood untuk dia *ada yang laper kayaknya*,
ditambah dua gelas olong-tea untuk kami berdua.

“Gimana Jepang?” sambil menunggu pesanan kami datang dia memulai pembicaraan.
“Good!” jawabku.
“Ohya? Syukur deh kalo gitu”, dia tersenyum. “Kamu bakalan lama di Jepangnya kan?”
“Hmm, mungkin. Entahlah. Visaku dikasih setahun sih, dan tergantung mauku apa diperpanjang atau nggak.”

Beberapa menit kemudian, pramusaji menghampiri meja kami dan mengantarkan pesanan plus dua gelas ukuran sedang yang masih kosong untuk tempat minum di drink bar yang berada tidak jauh dari tempat duduk kami.
“Sini, kuambilin minumnya”, tawarnya.
“Nggak usah, kuambil sendiri”, tolakku halus.

“Pertama, bahan-bahan okonomiyaki yang ada di wadah dicampur semua sampai rata. Kayak gini”, dia mulai mengajarkan cara meracik okonomiyaki.
Aku hanya mengangguk sambil memperhatikan dan meniru caranya mengaduk bahan-bahan sampai rata.
“Di paling bawah ada adonan yang agak keras kan? Nah, itu diaduk terus sampai bener-bener rata.”
“Kayak gini? Udah rata belum?” tanyaku sambil memperlihatkan adonan yang sudah kuaduk.
“Hmm, kurang dikit. Sini, kubantu” seraya mengambil mangkuk adonan punyaku.

“Nah, kalo udah rata, tuang semua adonan di atas hotplate dan bentuk lingkaran kayak gini.” dia mencontohkan.
Aku pun mengikuti sesuai petunjuknya.
“Kalo semua adonan udah di atas hotplate, rapihin supaya nggak meleber pakai spatula tipis yang itu”, katanya sambil mengambil salah satu spatula di atas hotplate dan membantu merapihkan adonan yang kutuangkan barusan.
“Tinggal tunggu sampai matang deh.”
“Berapa lama?” tanyaku.
“Di petunjuknya sih sekitar 5 menit”, jawabnya.
Sambil menunggu adonan okonomiyaki matang, kami pun ngobrol.

“Kamu kalo di rumah masak?” dia memulai percakapan.
“Masak donk!”
“MASAA?!” dia tersenyum jail seolah tidak percaya aku yang nggak suka ribet ini ternyata masih menyempatkan masak.
“IYA LAH!” jawabku tidak mau kalah. “Kalo di rumah aja sih, aku kan lebih sering dinas dan kerja di luar, jadi nggak sering-sering amat.”
“Trus kalo lagi dinas luar gitu, makan apa?” dia lagi-lagi KEPO
“Yah, nggak jauh-jauh dari bento atau onigiri yang dijual di minimarket. Aku kan suka rempong kesana kemari, jadi baru sempet makan di dalam bis atau pas lagi di jalan.”

Adonan yang kami tuangkan tadi sudah mulai kecoklatan tanda harus segera dibalik.
“Bisa nggak ngebaliknya?” tanyanya, “Pakai dua spatula, di kanan sama kiri kayak gini” sarannya sambil mengambil satu spatula yang sedang kupegang.
Tanpa kesulitan, ia membalik adonan okonomiyaki dengan cepat.
“Nih, giliran kamu”, ia memberikan dua spatula yang dipegangnya.
“Duh, bisa nggak ya?” aku hanya bisa memandangi adonan di depanku “Kalo gagal dan amburadul kemana-mana gimana donk?”
“Jutru kalo gagal, bakalan lucu banget!” dia terkekeh
Tetep ya, SENENG BANGET NGELIAT ORANG SUSAH.

Tapi rupanya doa dia belum terkabul kali ini.
Meski baru pertama kali, aku bisa membalikkan adonan okonomiyaki dengan sukses dan cukup rapih.
Nggak sia-sia gue sering bikin martabak telor dan telor dadar di rumah, nggak beda jauh lah ya. Haha.

Aku yang kegirangan karena berhasil membalikkan adonan, melihat orang di depanku agak kecewa karena nggak bisa mentertawakanku.

“Tunggu lagi beberapa menit sampai adonan yang tadi dibalikin juga mateng”, ia mengembalikan spatula ke tempatnya semula.

“Gimana konser Sandaime JSB kemaren? Keren banget kan?” tanyanya sambil merapihkan adonan di depannya yang hampir matang.
“BANGEEET” jawabku bersemangat, “Tapi aku dapet tempat duduknya kurang bagus, jadinya nggak begitu keliatan”
“Emang kamu dapet di lantai berapa? Bukan di Arena?”
“Bukan, di lantai dua. Mana agak ke belakang lagi.”
“Waah, kalo di lantai dua emang susah sih ya. Nggak pas banget”, tambahnya.
“Hu-uh, tau gitu aku bawa teropong deh”.

Aku bersyukur kami punya hobi dan idola yang sama, sehingga obrolan soal Sandaime JSB pun mengalir dengan santai dan natural.
Tidak perlu bersusah payah mencari topik pembicaraan, karena begitu kami ngobrol soal Sandaime atau EXILE, pasti obrolan kami tidak akan berhenti.
“Aku kemaren beli CD Sandaime JSB yang Happiness”, pamernya. “Itutuh yang jadi soundtrack iklannya POCKY.”
“Hoooo, keren tuh! Aku juga udah denger lagunya” timpalku.

“Eh, Btw kamu tuh satu tahun apa dua tahun dibawahku sih?” tanyanya tiba-tiba.
“Hah? Umur maksudnya”, aku balik bertanya.
“He-eh. Umur kamu berapa tahun sekarang?”   *diiih, nanya-nanya umur nih bocah!*
“29”, jawabku pendek. “Kamu sendiri, dua tahun di atasku kan? Jadi sekarang 31?” tanyaku tidak mau kalah.
“Tahun depan 31. Sekarang masih 30 doonk!” dia pun ikut-ikutan tidak mau kalah.
“Eeeh? Aku lahir tahun 1988, kamu 1986?”
“Nggaaak! Aku 1987.”
“Owh?! 1987? Cuma beda setahun donk!” aku baru sadar karena selama ini kupikir dia kelahiran 1986  *wajahnya wajah-wajah kelahiran 1986 soalnya* #PENTING
“Kamu 1988, bulan apa?” tanyanya.
“Januari”
“Tanggal?”
“16”
“Eeeeh, berarti tinggal setengah bulan lagi trus jadi 30 tahun donk ya bentar lagi!” dia terkekeh.
*IS IT PROBLEM IF I’M TO BE 30?!!!!*
*Bakar KTP*


“Bentar lagi jadi tante-tante ya”, dia masih meneruskan kejailannya meledek umurku.
“WOOOI!!! Situ ngaca dulu ya! Kalo gue tante-tante, situ juga om-om kali!!!” balasku.
Dan dia pun tertawa terbahak-bahak.
“Eh, bentar-bentar. Kamu kelahiran 1987, bulan apa?” aku balik bertanya  *ini cara modus buat tahu tanggal ultah seseorang, nyahahaaa*
“Maret”, jawabnya pendek.
“Tanggal?”            KEPO teruuus, Neng!
“11”
“Eeeh, bulan Maret sama kayak Omi dan Gun-chan (member Sandaime JSB) donk!”
“Ohiya?! Masa sih?!”  *lhaa, situ katanya nge-fans, gimana sik!*
“He-eh. Omi lahir tanggal 6 Maret, Gun-chan 12 Maret. Kalo nggak salah….”
“Bentar, coba aku searching dulu”, dia mengambil iPhone-nya dan mulai mencari tanggal lahir Omi dan Gun-chan. “Oh, Omi yang tanggal 12 Maret, Gun-chan 6 Maret.”
“Oh, kebalik ya. Sorry”, aku menepuk jidatku sendiri.
“Aku sama Omi beda 1 hari”.
“Yup! Kalian sama-sama lahir tahun 1987 pulak!”
“Berarti aku ini Omi ya” dia terkekeh bangga.
*IYA DEH IYA, Terserah kamu, Kang!*

“Kita berdua udah jadi tante sama om ya”, dia terkekeh lagi.
Dan aku cuma tertawa.
“Bentar lagi kamu kan 30 tahun, emang nggak ada rencana nikah?”  *obrolan soal umur masih lanjut aja ini bocah*
“Nggak tau”, jawabku singkat.
“Kamu nggak akan nikah?” tanyanya lagi.   #KEPO teruuuuus, Kang!
“Ya kalo ditanya pengen atau nggak, yaa keinginan itu ada sih. Cuma belum tau kapan”.
“Heee, ada keinginan nikah juga ya”, dia menganggukkan kepalanya. “Pengennya sama orang Indonesia lagi?”
“Nggak harus juga sih. Aku nggak ngotot harus sesama orang Indonesia. Toh kalo cocok dan orangnya baik, kenapa nggak?” jawabku.
Kenapa tiba-tiba nanya gitu sik?!
PENASARAN yaaa? Haha.

Karena adonan di depan kami mulai berwarna coklat yang menandakan sudah matang, kami pun mengehentikan obrolan dan kembali ke kesibukan meracik okonomiyaki.
“Nah, kalo udah mateng, tambahin saos okonomiyaki kayak gini”, dia memperagakan. “Trus abis itu tambah mayonnaise di atasnya”, ia mencari mayonnaise di atas meja.

Tapi mayonnaise yang dicarinya tidak ada, dia pun membunyikan bel memanggil pramusaji dan meminta dibawakan mayonaise.
Setelah menambahkan mayonaise, ia mengambil katsuoboshi dan nori lalu menambahkannya di atas okonomiyaki.
Aku pun mengambil kotak berisi katsuobushi dan nori dari tangannya dan menirukan yang ia contohkan barusan.
“Trus, dipotong kayak lagi motong pizza”, tambahnya.
Aku pun menurut sesuai petunjuknya.

Sambil menikmati okonomiyaki, obrolan kami pun berlanjut.
Mulai dari soal kerjaan, anime, travelling ke luar negeri, suhu Jepang yang dinginnya kebangetan buat manusia tropis sepertiku, soal rambutnya yang sekarang balik ke warna hitam karena dia takut rambutnya rusak kalau diwarnain mulu, tentang dia yang sekarang numbuhin kumis karena pengen sama kayak Imachi Ryuji alias vokalis Sandaime JSB kesukaannya, sampai soal libur tahun baru.

“Tahun baru nggak kemana-mana?” tanyaku.
“Nggak. Di rumah aja. Entahlah lagi males pergi jauh”, jawabnya.
“Emang nggak ke kuil? Biasanya orang Jepang pada pergi ke kuil pas tanggal 1 kan?”
“Iya sih, tapi aku kayaknya nggak”.
“Kenapa?” tanyaku penasaran.
*tumben orang Jepang satu ini ogah ke kuil*
*orang Jepang murtad*
*dikeplak*

“Hmmm, gimana ya. Kan aku nggak pernah ke kuil kalo hari-hari biasa, kalo tiba-tiba pas tahun baru doank ke kuil, rasanya aneh banget dan keliatan modusnya kan?
Tiba-tiba di tahun baru, berdoa ke kuil, minta ini-itu sama Tuhan padahal hari biasa aja nggak pernah ke kuil. Keliatan banget ada maunya kan ya? Jadi mending nggak usah aja deh,” jawabnya sambil tersenyum.

Kalo dipikir-pikir iya juga sih ya.
Sama kayak orang yang nggak pernah sholat atau ke masjid, tiba-tiba pergi sholat ied di hari Lebaran dan berdoa memohon ini-itu karena ada pengennya doank.
Keliatan banget modusnya.
Heuuu.

Setelah okonomiyaki dan monjayaki habis kami lahap, dia mengambil menu di pinggir meja.
“Mau makan desert?” tawarnya.
“Desert?” sebetulnya udah kenyang sih, gila juga masih tambah desert, “kamu mau makan desert?”
“Iya”, jawabnya sambil memilih desert
“Ya udah, aku juga. Samain aja sama desert yang kamu pesan”, akhirnya aku ngikutin dia.

Goma soft ice cream yang kami pesan pun datang beberapa menit kemudian.
Dia pun melahap ice cream dengan cepat dalam hitungan detik.
“Gila, manis banget ini desert!” komentarnya sambil terus melahap ice cream. “Buat orang Indonesia, rasanya pas kan ya? Orang Indonesia biasanya suka yang rasanya kental dan manis kayak gini.”
“He-eh, enak!” kataku sambil melihat gelas ice cream dia yang sudah kosong. “Katanya manis banget, tapi abis juga tuuh”.
Dia pun cuma terkekeh sambil tersenyum jail.

Tiba-tiba dia melihatku sambil bertanya,
「おれ、変わった?」
"aku berubah nggak?"

Bukannya kujawab langsung, aku hanya menatapnya lekat-lekat dan yang ditatap kayaknya tersipu malu #eeaak, lalu kujawab sambil tersenyum.
「いい意味で、変わんないよ」
"kamu nggak berubah (dalam arti positif)"

Dan cowok di depanku cuma tersenyum sambil berkata,
「おまえもいい意味で、変わんないよ」
"kamu juga sama, nggak berubah (dalam arti positif)"


Dan detik berikutnya aku udah nggak ada di ruangan itu karena udah terlanjur meleleh, melebur dan beterbangan bersama debu-debu asmara di sekitarnya
#NAONSIH!?
*kembali ke dunia nyata woooi!*
*tampar muka sendiri*

Setelah desert yang kami santap habis, membayar di kasir *yang ternyata dia yang traktir semua*, kami pun meninggalkan restoran okonomiyaki.
Sebelum keluar dari restoran, aku memakai sepatu yang tadi kusimpan di loker sepatu.
“Kenapa pake kaos kaki yang ada jarinya kayak gitu?”, tanyanya.
“Nggak kenapa-napa. Pengen aja. Nggak ada alasan khusus”, jawabku.
KOMEN AJAAA terus.
Haha.

Begitu kami keluar dari restoran okonomiyaki, angin musim dingin berhembus kencang dan membuatku menggigil kedinginan.
“Uwaah! Dingin banget! Yuk ah, cepetan masuk ke mobil”, rupanya dia juga kedinginan.

Meski sudah masuk ke dalam mobil, aku masih menggigil kedinginan.
*padahal cuma kena angin sebentar doank*
*maklum, mahluk tropis*


“Kenapa? Dingin?”, dia bertanya sambil melihatku yang sedikit menggigil.
“He-eh. Dikit” *padahal BANGET! Jaga image ceritanya. Haha*
Dia mengambil sesuatu di jok tengah mobilnya dan memberikan selembar selimut padaku.
“Nih, pake ini biar anget”
Aku cuma melongo menerima selilmut yang dia berikan dan tiba-tiba merasa terbang melayang.
“Oh, makasih” dua detik kemudian aku sadar dan kembali mendarat di dunia nyata.
“Masih dingin?” tanyanya memastikan.
“Nggak, udah anget” jawabku.

ANGET.
ANGET BANGET.
Bahkan saking angetnya, sebentar lagi aku bakalan MELELEH kayaknya  #eeakk
Yaowlooo, kenapa ini orang baik banget.
Ini beneran bocah yang suka ngebully dan jailnya kebangetan itu bukan sik?
Kamu nggak salah minum obat kan?   *situ yang harusnya minum obat dulu, Izumi!*

Maybe that’s just a little thing that he doing to me, but IT MEANS A LOT FOR ME.

“Syukur deh kalo udah nggak kedinginan lagi”, dia tersenyum.
DAN SAYA MAKIN MELELEH BAHKAN MELEBUR TERSAPU OMBAK DI LAUTAN melihat senyumnya  #NAONSIH
*buruan kembali ke dunia nyata woooi!*

I drive myself crazy, drive myself crazy.
Thinking of you…..
  (Drive Myself Crazy – N’sync)


“Kuantar sampai depan hotel ya”, ia menawarkan.
“He-eh. Makasih.”

Malam itu, aku berharap jalanan macet bahkan sampai 5 jam pun tak apa, agar aku bisa lebih lama duduk di sebelahnya sambil mendengar ceritanya dan ditemani lagu-lagu Sandaime JSB yang dia putar.
Aku berharap hotel tempatku menginap ada di ujung dunia sana, agar sampai lebih lama dan aku pun bisa lebih lama bersamanya.

I wanna be with you, if only for a night.
I wanna be with you.
There’s nothing more to say, there’s nothing else I want more than to feel this way.
I WANNA BE WITH YOU…
     (I Wanna be With You – Mandy Moore)


10 menit kemudian, kami tiba di depan hotel.
Ternyata memang hanya di alam khayalku, toh pada kenyataannya malam itu kota Hamamatsu sepi dan tidak ada macet sedikitpun.
Hotel tempatku menginap pun ternyata masih di tempatnya semula dekat stasiun, bukan di ujung dunia sana.

“Hari ini makasih ya, selimutnya juga”, kataku sambil mengembalikan selimut yang tadi dia pinjamkan padaku.
“Kalau kamu ke Hamamatsu lagi, jangan lupa kontak aku ya.” Katanya sambil menyimpan kembali selimutnya di jok tengah mobil.
“Pasti! Kamu juga kalo ke Tokyo jangan lupa kasih tau aku ya”.
“Eh, bukannya kamu di Saitama? Emang bakal datang ke Tokyo?” dia memastikan.

Pastilah! Jangankan ke Tokyo, ke Hamamatsu aja aku datengin kan?
Tokyo mah dekeeeet!
Buat kamu apa sih yang nggak?! #eeaak
Tapi ini cuma kuucapkan dalam hati.

“Bye bye!”
jadi kata terakhir yang kuucapkan sebelum kami berpisah malam itu.
Ia pun melambaikan tangannya dan pergi memacu mobilnya.

Begitu tiba di kamar hotel, sebuah notifikasi LINE muncul di layar handphone-ku.
“Kirim foto yang tadi donk.” pintanya
Dan aku cuma tersenyum sambil mengirimkan foto kami berdua yang diambil saat di restoran okonomiyaki.

Terima kasih untuk hari ini.
Terima kasih untuk semua ceritamu, candaanmu, senyum jailmu, keisenganmu, dan selimut hangat yang kamu berikan.
Terima kasih,
mulai malam ini kamu akan membuatku susah tidur setiap malam……..




You do something to me
That I can’t explain…….I miss you.
    (I Miss You – Incubus)






No comments:

Post a Comment

Are you listening?

 “Kita dianugerahi dua telinga dan satu mulut, bukankah itu berarti kita sebaiknya lebih banyak mendengar daripada bicara?” Saya sering deng...