Hampir 6 bulan sejak saya didiagnosa adanya Fibroid Rahim di badan saya.
Untuk yang baru pertama kali mendengar tentang Fibroid Rahim, sila tanya Mbah Gugel :)
Saat itu akhir April 2025, memasuki pertengahan musim semi sekaligus libur Golden Week di Jepang. Beberapa bulan terakhir saya merasa asam lambung di perut semakin parah, bahkan sampai bikin saya tidak bisa tidur.
Hampir setiap pagi saya bangun tidur bukan karena alarm, tapi (terpaksa) bangun tidur karena asam lambung yang naik sampai kerongkongan, dada panas, tenggorokan gatal dan batuk kering, serta gas berlebihan dalam perut.
Awalnya saya pikir hanya asam lambung dan sakit maag biasa, sehingga saya cukup meminum obat yang dijual di apotek.
Karena semakin lama rasanya semakin parah, akhirnya saya mencari klinik/dokter spesialis lambung di dekat rumah.
Saat pertama kali berobat, Dokter mengatakan kalau perut saya sangat keras dan menggelembung.
Beliau pun menyarankan untuk pengecekan menggunakan kamera lambung agar bisa dicek lebih detail.
Di kunjungan berikutnya, saya pun mengikuti saran dokter untuk pengecekan menggunakan kamera lambung.
Setelah hasil pemeriksaan kamera lambung keluar, dokter bilang, ada banyak ‘garam’ (saya kurang mengerti garam yang seperti apa) di dalam lambung saya, sehingga menyebabkan produksi gas dan asam lambung berlebih.
Ketika Dokter memperlihatkan foto hasil kamera lambung, terlihat banyak serbuk berkilauan di dalam lambung saya.
Dokter bilang dengan minum obat rutin selama satu bulan, garam di lambung saya akan hilang dan sembuh.
Tapi, ternyata ada satu lagi yang menjadi concern Dokter.
Beliau bilang di dalam perut saya ada ‘sesuatu’ yang cukup besar, dan ditakutkan justru itu yang menjadi penyebab utama asam lambung dan sakit maag saya.
Karena ‘sesuatu’ itu adanya berakar dari perut bagian bawah dan rahim, Dokter menyarankan saya untuk periksa ke rumah sakit pusat dan bagian Ginekologi.
Kebetulan hari itu saya mengambil cuti seharian, dan rumah sakit pusat bisa ditempuh dengan jalan kaki 8 menit dari klinik.
Saya pun langsung ke rumah sakit dengan membawa surat rujukan dari klinik.
Setelah menunggu cukup lama (maklum, saya datang tiba-tiba tanpa booking terlebih dahulu), akhirnya saya menemui dokter bagian Ginekologi, namanya Dokter Kudo.
Saya diminta periksa menggunakan USG dan terlihat ada benda asing cukup besar di bagian rahim saya.
Dengan sangat jelas, Dokter mengatakan kalau itu adalah Fibroid Rahim.
Beliau pun kaget kenapa ukurannya bisa sampai sebesar itu (mungkin ukurannya sekitar sebesar melon), dan menanyakan sejak kapan saya merasakan gejalanya.
Karena saya tidak pernah menyangka kalau itu Fibroid Rahim, bahkan baru pertama kali mendengar namanya di hari itu, saya pun tidak bisa menjawab dengan pasti.
Saya menjawab, mungkin beberapa bulan atau bisa jadi beberapa tahun yang lalu……
Selama ini saya memang merasa kalau perut saya membesar, tapi saya hanya berpikir mungkin saya bertambah gemuk.
Atau mungkin asam lambung dan gas yang berlebih, sehingga perut saya membesar.
Walaupun kadang saya merasa aneh, kenapa perut saya membesar tapi tidak balance dengan ukuran keseluruhan badan saya.
Kalau memang saya bertambah gemuk, harusnya bagian lain pun ikut membesar, tidak hanya perut.
Apalagi saat menjelang menstruasi, perut saya makin membesar sampai saya malas keluar rumah karena tidak hanya sakit perut, bahkan saya sampai sakit pinggang, punggung dan sesak napas saking besarnya perut saya.
Terkadang saya pun sampai bingung harus pakai baju apa karena tidak ada yang nyaman saat perut saya kambuh.
Beberapa tahun lalu, saya pernah beberapa kali sakit perut di bagian bawah.
Sakit yang amat sangat membuat saya menderita, bahkan saya sampai pingsan dan harus bed rest selama 10 hari lebih.
Saat itu saya masih tinggal di Indonesia, dan saya juga periksa ke dokter, klinik serta rumah sakit.
Tapi tidak ada yang bilang kalau itu Fibroid Rahim atau sesuatu yang berhubungan dengan penyakit di rahim.
Mereka hanya memberi obat pereda nyeri.
Tiap kali saya menstruasi, darah yang keluar cukup banyak.
Lima hari pertama menstruasi, saya harus pakai pembalut malam sepanjang hari.
Karena saya tidak tahu orang lain mengeluarkan berapa banyak darah saat menstruasi, dan saya pun tidak pernah menanyakannya, saya pikir darah menstruasi yang keluar dari badan saya normal, orang lain pun memang sebanyak itu kali ya, pikir saya.
Di bulan Juli lalu, Dokter menyarankan saya untuk operasi di bulan Agustus.
Setelah banyak persiapan serta beragam tes/pemeriksaan untuk menghadapi operasi, satu minggu sebelum operasi, dokter membatalkan operasi saya.
Alasannya karena obat yang saya konsumsi bisa menekan Fibroid dan efek samping obat pun tidak terlalu membebani badan saya.
Sedangkan kalau operasi, akan meninggalkan bekas luka yang cukup besar di perut, serta pemulihan yang cukup lama, ditambah lagi damage setelah operasi yang akan membebani badan.
Saya diberi obat penekan hormon yaitu Relumina, agar Fibroid bisa mengecil, mengurangi beban serta sakit ke badan.
Diminum satu kali setiap hari tanpa bolos satu kali pun.
Efek samping obat ini sama seperti gejala menopause, yaitu badan tiba-tiba merasa gerah dan panas berlebihan hingga mengeluarkan banyak keringat, sakit kepala, dan emosi yang tidak stabil (bisa tiba-tiba sedih, bisa tiba-tiba tidak bersemangat dan down).
Tiga efek samping di atas sering saya alami.
Sudah hampir 6 bulan sejak pertama kali saya minum obat Relumina.
Karena obat ini tidak boleh dikonsumsi lebih dari 6 bulan secara berturut-turut, maka di bulan Desember nanti Dokter akan menghentikan pemberian obat ini.
Setelah istirahat minum obat untuk beberapa waktu, Dokter akan menginstruksikan untuk mulai minum obat lagi.
Karena Fibroid di badan saya sangat besar, mungkin butuh waktu lama untuk mengonsumsi obat.
Kalau sekarang saya mengingat kembali, sakit perut berlebihan saat itu, beberapa tahun yang lalu itu, darah menstruasi yang amat sangat banyak tiap bulan, perut yang membesar tapi bukan kegemukan, sakit pinggang dan punggung, bahkan hingga menekan lambung yang berujung asam lambung naik dan gas berlebih, yang ternyata semua itu karena Fibroid Rahim yang bersarang di perut saya dan semakin besar.
Selain diagnosa Fibroid Rahim, Dokter juga mengatakan kalau misalkan saya sampai harus operasi, bisa ada dua kemungkinan tindakan operasi, yaitu operasi kecil dengan hanya mengambil bagian Fibroid-nya atau operasi besar dengan pengangkatan rahim.
Yang berarti saya tidak bisa punya anak.
Bahkan dengan ukuran Fibroid yang ada di badan saya sekarang pun, meski tidak operasi pun, akan sangat berisiko untuk punya anak.
Setelah pemeriksaan dan diskusi dengan Dokter selesai, saya pun pulang.
Saat jalan kaki dari rumah sakit menuju halte bis terdekat, entah kenapa saya tiba-tiba menangis.
Saya menangis sejadi-jadinya sepanjang jalan menuju halte bis.
Padahal saat Dokter mendiagnosa saya, saya sama sekali tidak merasakan apa-apa.
Tapi entah kenapa, saat itu saya merasa kesal.
Saya menangis karena kesal.
Kesal, kenapa tidak dari dulu saya mengetahui kalau ada ‘sesuatu’ di badan saya.
Kesal, kenapa saat di Indonesia, tidak ada satupun dokter atau rumah sakit atau klinik yang saya kunjungi, yang memberi tahu saya lebih cepat tentang semua ini.
Kadang saya berpikir, kalau saja waktu itu, saat saya masih di Indonesia, saat Fibroid di badan saya masih tidak terlalu besar, bahkan belum mengganggu aktivitas sehari-hari, kalau saja cepat diketahui dan cepat diambil tindakan, meski sedikit, apakah hidup saya akan berbeda dari yang saya alami sekarang?
Saya menyeka air mata saya karena bis yang saya tunggu sudah datang.
Saya pun pulang dan menarik napas panjang, mempersiapkan diri untuk menghubungi Ibu saya tentang semua ini.
No comments:
Post a Comment