Beberapa waktu lalu saya pergi nonton Kimetsu no Yaiba movie di bioskop Shinjuku.
Saya pergi dengan 3 orang teman, sebut saja Intan, Eti dan Prinka (bukan nama sebenarnya).
Kami janjian langsung di bioskop Shinjuku, tepatnya Toho Cinemas Shinjuku.
Karena saya tinggal di area Kanagawa, sedangkan Intan, Eti dan Prinka di Saitama, jadi kami ambil tengah-tengah yaitu di Tokyo – Shinjuku.
Dua jam setengah lebih kami menikmat movie Kimetsu no Yaiba yang keren banget.
Hari itu adalah hari kedua pemutaran, dan baru diputar di bioskop Jepang saja, sehingga bioskop penuh banget.
Setelah mata sembab karena menangis entah berapa kali sepanjang pemutaran film, kami keluar bioskop dan cari makan.
Diputuskan kami mau makan sushi di Sushi-ro.
Setelah perut kenyang, kami pergi jalan-jalan di sekitaran Shinjuku.
Setelah cari-cari tempat untuk nongkrong, kami pun memutuskan untuk pergi ke Shinjuku Gyoen, taman yang cukup luas di Shinjuku, tidak jauh dari Shinjuku station jadi akses untuk pulang pun gampang.
Masuk ke Shinjuku Gyoen dikenakan biaya masuk 500 yen.
Saya baru sadar kalau ini pertama kalinya saya ke Shinjuku Gyoen, padahal sering main di area Shinjuku.
Tamannya bagus, meski kami datang di tengah musim panas tapi cukup adem, dan bersih serta terawat.
Setelah berkeliling sebentar di sekitar taman, kami berhenti di sebuah lapangan rumput yang luas.
Di situ kami melepas sepatu, duduk di rumput sambil ngobrol dan beristirahat.
Saat sedang asik ngobrol, tiba-tiba datang seorang cowok, usianya sekitaran pertengahan 20-an. Dia menghampiri kami berempat dan langsung nyerocos memperkenalkan diri.
Si cowok ini katanya seorang mahasiswa tingkat akhir yang lagi cuti kuliah, karena pengen jalan-jalan ke berbagai negara.
Ketika dia tahu kalau kami dari Indonesia, dia bilang pernah ke Indonesia, tepatnya Jakarta dan ke Borobudur di Yogyakarta (ehm, Borobudur adanya di Magelang, Mas….situ beneran pernah ke Indonesia?)
Then, dia bilang ingin menyelesaikan kuliahnya tapi terbentur biaya, karena pengeluaran dia banyak dipakai untuk pergi ke berbagai negara.
Dia menawarkan untuk memfoto kami dengan kamera instant-nya, dan pamer kalau skill memfoto dia lumayan bagus,
tapi dengan imbalan chips (MINTA DUIT) dari kami.
Nominalnya berapapun tidak masalah alias se-ikhlasnya, itung-itung beramal.
BEUH
UUD
UJUNG UJUNGNYA DUIDH
Dia juga bilang kalau ini ngga maksa, kalau kami nggak berkenan difoto ya gapapa.
Tapi ye masa udah ngobrol, foto-foto trus kita usir tanpa ngasih apa-apa?
Ya kita juga punya hati nurani donk ya #HALAH
Setelah diskusi singkat, akhirnya kami putuskan ngasih 1000 yen, pakai uangnya Eti dulu, karena dia yang paling cepet ngeluarin dompet.
Masalahnya adalah siapa yang ngasih uangnya.
Dari awal saya sebenarnya ngga suka dengan cara si cowok ini.
Kalau dilihat sih dia secara fisik sehat segar bugar, secara mental bisa ngobrol dengan baik sama kita (ya ngga tau kalo di belakang ternyata dia apalah…)
Kalau dia perlu duit, kerja napa? Part time banyak tuh di Jepang, ngga perlu minta-minta kayak gitu.
Pake sok-sok an bilang mau fotoin kita, tapi ujung-ujungnya minta duit.
Karena ngga ada yang sukarela mau ngasih uang ke si cowok, kami pun jadi saling tunjuk.
Mungkin tiap orang punya alasannya masing-masing kenapa enggan jadi ‘petugas’ yang ngasih uang.
Malu karena ‘cuma’ ngasih 1000?
Atau risih karena sebel harus ngasih cuan ke cowok yang dikiranya baik tanpa pamrih, tapi berujung menjilat.
Selama beberapa menit kami saling tunjuk, mungkin lebih tepatnya Intan, Eti dan Prinka yang sewot siapa yang harus ngasih uang selembar itu ke si cowok.
Saya sendiri merasa muak sih sama si cowok, jadi cuma diem aja.
Ngga ikutan tunjuk-tunjukan.
Saat itu tiba-tiba ada yang nyeletuk.
“Kamu aja yang ngasih, kan kamu yang paling TUA!” sambil nunjuk saya.
Saya lupa siapa yang bilang, antara Eti dan Prinka, atau malah keduanya.
Mereka bilang itu dua kali, karena debat tunjuk-tunjukan yang pertama tidak membuahkan hasil, jadinya saling tunjuk lagi.
Mungkin hari itu saya lagi capek, ditambah cuaca musim panas yang lembab dan gerah membuat saya pusing dan runyam, serta efek samping obat yang saya minum tadi pagi membuat sakit kepala saya ngga hilang-hilang.
Saat saya mendengar kata TUA, entah kenapa saya kesal.
Saya marah, sebel dan beragam emosi bercampur saat itu.
Perut saya berasa ditonjok sampai ke ulu hati.
Dalam hati saya menjawab,
YA MAAP KALO GUE TUA!
padahal sama kalian pun paling cuma beda 4-5 tahun, apa bedanya?
YA MAAP KALO GUE TUA, trus kalo gue yang paling TUA, gue yang harus ngurusin kalian dan nge-back-up kalian semua ketika kalian ngga menemukan jalan keluar?
Sambil menahan kesal, saya menjawab ke mereka,
“Lho, apa hubungannya (dengan gue yang paling TUA ini)?!”
dan saya ngeleos sedikit menjauh dari mereka.
Akhirnya Intan mengalah dan dengan sukarela memberikan uang ke si cowok,
meski sambil menggerutu “ihhh, nggak suka deh…”
Setelah menerima uang kami, si cowok pun pergi,
mungkin mau cari mangsa lain.
Sedangkan saya yang sudah kepalang kesal, jadi malas meneruskan main sama mereka bertiga.
Tapi bukannya pulang, mereka malah lanjut ke café Dean & Deluca di samping Shinjuku Station.
Astaga, social energy saya tinggal 2% , ditambah rasa kesal yang tadi belum hilang,
sakit kepala pun masih bersarang di kepala.
Masih mau ngobrol? Apa sih yang mau kalian obrolin? Masih belum cukup?
Palingan juga ngomongin dan julidin orang di tempat kerja kalian.
Pengen pulang dan nonton anime aja di rumah sendirian deh…
Di café, kami atau lebih tepatnya mereka bertiga kebanyakan ngobrol tentang kerjaan mereka, topik di seputaran kehidupan rumah mereka dan sejenisnya.
FYI, mereka bertiga kerja di tempat yang sama dan tinggal di lingkungan yang sama.
Jadi, Ketika mereka ngomongin teman kerjanya si A lah, tetangga nya si B lah,
Saya mana kenal, mau nimbrung pun ngga tau siapa mereka.
DITAMBAH ENERGI SAYA HAMPIR NOL PERSEN!
Mana café sore itu rame banget, kepala saya makin sakit ngga karuan.
Apa saya pulang duluan aja ya?
Sekitar jam 7 malam, kami pun pulang.
Phiew, akhirnya.
Bisa sendirian.
Walaupun masih harus berdesak-desakan di kereta menuju rumah, setidaknya saya menuju tempat ternyaman : RUMAH
Dari acara hang-out hari ini, saya mengambil kesimpulan kalau ternyata saya seperti itu di mata mereka.
YANG PALING TUA, dan jadi yang ditunjuk menyelesaikan masalah mereka saat mereka menemui jalan buntu.
Saya tidak pernah melihat usia saat saya berteman dengan siapapun.
Selama saya nyaman dan bisa berbagi banyak cerita, entah itu lebih muda atau lebih tua, saya tidak pernah mempermasalahkan.
Selama ini saya menganggap mereka bertiga adalah teman-teman saya.
Meski mereka lebih muda beberapa tahun dari saya, tapi saya selalu berusaha memperlakukan mereka tidak berbeda dengan teman-teman yang seusia saya.
Seperti teman SMA, teman kuliah yang satu angkatan dan satu kelas.
Sayangnya, mereka nampaknya tidak.
Yah tidak apa sih, toh itu hak mereka mau menganggap saya seperti apa.
Saya tidak bisa mengontrol perasaan orang lain.
Itu semua diluar kendali saya.
Dan saya sadar, setiap mereka mengobrol, selalu topiknya tentang tempat kerja mereka, lingkungan mereka bertiga.
Mau nimbrung pun jadi males.
Lagian nggak ngerti, nggak kenal juga sama orang-orang yang mereka bicarakan.
Dan sekali lagi, itu diluar kendali saya.
Sudahlah, saya capek harus mendengarkan cerita-cerita mereka, yang kebanyakan hanya ngomonging dan julidin orang-orang di tempat kerja mereka.
Padahal banyak topik yang lebih menarik dan bermanfaat buat dijadiin obrolan.
Saya capek harus buang-buang energi tiap kali hangout dengan mereka.
Selama ini saya salah paham mengira mereka bisa jadi teman saya.
Saya memang tidak bisa mengendalikan apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka rasakan, tapi saya bisa mengontrol saya mau hangout dengan siapa.
Mungkin hangout nonton Kimetsu dan ke Shinjuku Gyoen kemarin itu akan jadi acara meet up yang terakhir dengan mereka bertiga.
Kalau tidak ada hal yang darurat, saya sebaiknya tidak bertemu mereka.
Saya kesal.
No comments:
Post a Comment