[Work] : Decision

2019.8.27 (Tue)

Hampir 9 bulan gue kerja di tempat kerja yang sekarang.
Di perusahaannya sendiri sebetulnya tepat 1 tahun, tapi ditempatkan di section yang sekarang, kita sebut saja P Section, baru 10 bulan.

GUE NGGAK BETAH.

Sebetulnya ketika di awal-awal gue masuk ke P Section ini, gue menyangkal kalo gue nggak betah.
Gue berdalih kalo gue masih newbie, masih belum nemu ritme kerja gue, masih perlu banyak belajar, masih cupu dan banyak alasan lainnya yang gue tanamkan dalam-dalam di pikiran.
Semata-mata untuk menyangkal pikiran negatif dan mencoba untuk sok-sokan tegar, kuat dan positif thinking.

Setelah hampir setengah tahun gue ditempatkan di P Section, gue udah mulai terbiasa dengan kerjaan sehari-hari, yang artinya gue udah nemu ritme kerja gue, yang seharusnya berbanding lurus dengan tingkat kenyamanan gue di tempat kerja.

Tapi, anehnya gue justru makin nggak betah.
Gue makin gusar, cepat marah, cepat sensi dan sering nangis cuma gara-gara hal sepele di tempat kerja.
Yang bikin gue coba bertahan adalah karena gue suka dengan lokasi tempat kerja yang sekarang.
Apartement-nya bagus, deket dari tempat kerja dan stasiun, sehingga tiap hari gue cukup jalan kaki untuk sampai ke tempat kerja.
Nggak perlu berjibaku dengan rush hour di kereta atau bis.
Gue nggak mau pindah rumah atau pindah tempat kerja lagi.
Capek.

Akhirnya, karena gue nggak mau pindah, gue pun coba untuk menganalisa ulang penyebab gue nggak betah kerja di P Section ini.
Gue coba belajar lagi, tanya ke staff lain kalo gue nggak ngerti, supaya gue bisa lebih memahami kerjaan gue dan lebih smooth kerja.

Tapi,
GUE TETAP SUCK
dengan kerjaan gue.

Setelah berpikir, berpikir dan berpikir, akhirnya gue tahu penyebab utama kenapa gue nggak betah kerja di sini.

LINGKUNGAN KERJA.

Bukan isi kerjaan itu sendiri.
Karena bagi gue, gue merasa sudah mulai menguasai kerjaan, meski masih perlu banyak belajar tentunya.

Lingkungan kerja, terutama orang-orang di sekeliling gue yang bikin gue nggak betah.

Leader gue yang menjadi atasan gue langsung, suka ngomong kasar, nggak bisa jaga sikap, dan yang paling bikin gue kesel adalah sikap dia yang pilih kasih ketika menghadapi karyawan tetap (direct) dan outsourcing/kontrak.

Ngomong kasar disini bukan cuma ngata-ngatain orang, kayak ucapan bego, goblok, dan sumpah serapah lainnya.
Ucapannya lebih kayak power harrassment.
Misalnya, ketika ada staff yang bikin kesalahan atau belum laporan, dengan suara keras yang hampir seisi lantai kedengeran, dia bilang,
"Kamu nggak bisa ngitung kayak gini? Ngitung perkalian aja nggak bisa?" atau, "Kamu kerja ngapain aja? Nggak ada yang dikerjain?"

Gue nggak tau kalo di Indonesia sekarang kayak gimana rules-nya, tapi di Jepang, merendahkan orang dengan kata-kata begitu dianggap kekerasan verbal, apalagi jika diucapkan dari orang yang kedudukannya lebih atas ke yang lebih bawah,
bisa dianggap power harrassment.
Sebego-begonya staff yang dia bawahi, hal kayak gitu nggak pantas diucapkan seorang leader.
Apalagi dia ngucapin itu di depan banyak orang.
Mungkin yang bersangkutan menganggap itu cuma bercanda, tapi percaya deh, yang dikatain pasti sakit hati.

Gue sendiri yang saat itu cuma mendengar aja, rasanya sesak banget.
Dan itu nggak cuma sekali dua kali, tapi sering.

Oiya, gue juga pernah kena.
Karena project yang gue kontrol ternyata banyak yang delay, dia marah di depan semua orang dan bilang kalo gue nggak ada artinya berada di section ini.
Dia bilang begitu nggak cuma sekali dua kali.
Tanpa tanya alasan apa yang bikin gue delay, dia nyerocos begitu aja.

Oh, jadi selama ini gue nggak guna ya.
Karena bagi dia, gue nggak ada artinya kerja di section dia.

Setelah dia bilang begitu, gue jadi makin nggak mau kerja bareng dia.
Karena sekuat apapun gue berusaha, tetap aja nggak dihargai.
Karena bagi dia gue nggak ada artinya.
Semenjak itu, gue mulai membuat jarak dari dia.
Gue bicara seperlunya, laporan seperlunya, bahkan ketika dia bercanda pun gue pura-pura budeg aja.

Sekali lagi, kekerasan verbal seperti ini bisa bikin orang down, minder, dan kehilangan motivasi kerja.
Sehingga dianggap power harrassment.
Kayaknya nggak cuma di Jepang, dimanapun pasti dianggap begitu.

Mulutmu harimaumu itu memang bener ya.

Nggak bisa jaga sikap adalah ketika dia jelas-jelas bikin kesalahan yang merepotkan orang lain, bukannya minta maaf, malah cengengesan.
Belum lagi, dengan suaranya yang keras dan ganggu banget itu, banyak orang yang terganggu.
Bahkan, suatu hari, staff dari section lain sampai ngirim chat lewat SKYPE ke gue dan bilang kalau suara leader gue kedengeran sampai meja dia.
Meja dia waktu itu ada di ujung office, sedangkan meja gue ada di tengah office,
dimana satu lantai office berisikan lebih dari 100 orang.

Rasanya gue malu punya leader kayak gitu.
Dan gue cuma tersenyum pahit waktu baca chat-nya.

Staff yang bekerja di tempat gue, nggak semuanya staff direct dan karyawan tetap.
Karena kekurangan tenaga kerja, banyak yang merekrut dari outsourcing
atau karyawan kontrak.
Dari segi kerjaan nggak ada bedanya, harusnya semua diperlakukan sama, palingan hanya tittle dan salary yang beda.

Tapi, nggak buat orang satu itu.
Yang sering gue lihat adalah ketika ada kartap yang bikin kesalahan, misalnya dia lupa bikin laporan penting, padahal hari itu harus presentasi, si Leader cuma ketawa dan cengengesan.
Tapi, ketika staff outsourcing yang bikin kesalahan, dia bakal marah dengan sumpah serapah dan kekerasan verbal yang biasa dia lontarkan, seperti contoh di atas tadi, itu dia ucapkan ke staff outsourcing.

Atau ketika ada kartap yang telat masuk kantor, padahal pagi itu ada meeting, si Leader lagi-lagi cuma ketawa dan bilang "Oh, si A belum datang...hmmmm"
Tapi ketika staff outsourcing telat masuk kantor, dia pasti nyindir dan ngamuk, ditambah wejangan yang berujung sumpah serapah.
Gue yang denger aja udah sakit hati, apalagi yang ngerasain langsung.

Oiya, gue sebetulnya masuk ke kategori kartap, tapi karena sebetulnya induk perusahaan gue bukan disini, gue pun dianggap seperti karyawan kontrak.
Dan salah satu kekerasan verbal yang gue contohin di atas adalah salah satu sikap pilih kasih dia yang pernah gue terima.

Gue nggak bisa terus kerja bareng dengan orang seperti ini.
Gue terus kepikiran dan bikin motivasi kerja gue turun.
Tapi gue coba bertahan dan sok tegar lagi.

Sebetulnya, ada satu Leader lagi yang lebih muda.
Awalnya, dia terlihat baik dan bisa diandalkan.
Ucapannya juga nggak kasar, dan selalu jaga sikap.
Tapi, disini gue menemukan bahwa manusia itu bakalan menunjukkan taringnya disaat dia terdesak.
Alias sifat aslinya bakal keluar ketika dia di bawah tekanan.

Suatu hari, gue nanya soal kerjaan sama Leader yang lebih muda ini.
Karena gue masih oon dan banyak yang nggak ngerti, gue berkali-kali bolak-balik nanya ke dia.
Saat itu, kebetulan dia lagi ada meeting, dan kebetulan gue nyamperin dia buat nanya sesuatu.
"Sori, gue ada meeting." katanya
"Oh, maaf. Gue nanya ntar aja kalo gitu."
dan gue pun cuma memastikan satu hal apakah gue perlu ngirim e-mail atau nggak.
Sebetulnya dia cukup jawab iya atau nggak.
Tapi, entah karena dia lagi buru-buru karena mau meeting, atau kesel karena gue menghambat dia, atau kesel karena gue nanya melulu, tiba-tiba suaranya yang biasanya selalu tenang, berubah jadi meninggi,
"Kan gue udah bilang dari tadi, kamu kirim e-mail ke PIC-nya aja dan tanya langsung ke dia. Udah ngirim e-mail belum?!"

Yang bikin gue kaget dan tersentak.
Oh, dia menunjukkan taringnya.

Sejak saat itu, pandangan gue sama dia pun berubah.
Dan gue pun mulai membuat jarak sama dia, karena gue takut dibentak lagi kayak gitu.

Iya, gue cemen.
Baru dibentak dan dikatain kayak gitu aja udah langsung down.
Tapi, percaya deh, kata-kata yang keluar dari mulut seseorang efeknya lebih perih ketimbang sikap atau perbuatan lain.
Karena kata-kata itu bakal membekas di ingatan.

Mulutmu harimaumu, my dear.

Kalau saja hanya dua orang leader itu yang sikapnya bikin gue
geleng-geleng kepala, mungkin gue masih bisa bertahan.
Tapi semakin hari gue semakin tau kalau bukan cuma Leader-nya yang nggak beres, melainkan semua staff di P Section ini pun kelakuannya bikin gue geleng-geleng kepala.

Suatu hari, ketika gue dimarahin abis-abisan karena project yang gue kontrol banyak yang delay.
Sebetulnya gue udah follow ke semua PIC satu persatu.
Satu persatu sampai gue datangin meja mereka, bawa laptop, tanyain satu persatu project yang mereka handle, gue tanya kenapa ini delay, alasannya apa, apa ada yang bisa gue bantu, apa tertahan di manager, kalau misalnya sungkan buat bilang ke atasan, biar gue yang bilang dan nge-push mereka, karena gue tau orang Jepang suka nggak enakan sama orang, sedangkan gue mah sebodo amat.
Dan jawaban dari mereka semua adalah
"Nggak apa-apa, tanggal deadline-nya dimundurin aja, nanti saya yang beresin sendiri."
Yang artinya, bakalan makin delay dan molor dari deadline.

Tapi ya gue mah apa atuh, nggak punya hak maksa, toh mereka yang ngerjain, gue cuma mengontrol, kalo Engineering-nya sendiri bilang gitu, gue cuma bisa manut.
Dipaksa berkali-kali supaya cepet beresin itu project, Nyet!
pun mereka selalu beralasan : SIBUK.

Yaelah, semua orang juga sibuk, Tong.
Kalo nggak sibuk mah gue juga udah pulang kali.

Eniwey,
ketika gue dimarahin dan nggak diberi kesempatan buat menjelaskan alasannya.
Saat itu semua staff P Section termasuk para PIC yang sok sibuk dan molor-molorin deadline pun ada di sana.
Tau nggak gimana reaksi mereka?
SEMUA DIAM.
Nggak ada satupun yang angkat bicara, atau sekadar basa basi busuk bilang
"Oh, itu project saya, saya yang minta supaya deadline-nya dimundurin,
makanya jadi delay."
atau, "Nanti saya coba bantu follow juga" endeswey endesbrey.

NGGAK ADA.
Semua hening.

Hellooooo, kalian pada budeg atau nggak ngerti bahasa Jepang?!
Itu project kalian sendiri, tapi ketika gue yang dimarahin abis-abisan, padahal udah jelas-jelas kalian yang salah, malah pada diem.
Saat itu rasanya gue pengen nunjuk mereka satu-satu di depan hidung mereka
dan bilang "Woi, itu project elu, jangan diem aja, Nyet!"
Jadi, sekarang yang cemen siapa?

Dan ini nggak terjadi sekali dua kali.
Tiap kali Leader gue ngamuk, selama nama mereka nggak disebut, pasti mereka cuma diem dan ujung-ujungnya gue yang kena semprot.
Ketika nama mereka disebut, baru deh buka mulut.
Hadeuuh, kalian ini Mister Gepeng ya?
Harus sebut nama dulu baru datang.

Yang familiar sama Mister Gepeng, berarti umur kita nggak beda jauh.
Muahahaa.

Eniwey,
sekarang gue tau kalo team di tempat gue kerja ternyata orang-orangnya pada gitu.
Cemen.
Ketika ada yang jadi kambing hitam, selama itu bukan diri sendiri, bodo amat si kambing hitam itu mau dimarahin abis-abisan kek, yang penting GUE aman.
Mungkin itu prinsip mereka.

Oke, fine!
Sekarang gue tau sifat asli kalian.
Memang bener ya, taring kalian keluar di saat-saat kepepet.
Di saat terancam bahaya, sekarang gue tau mana yang bener-bener setia kawan dan mementingkan kepentingan bersama, dan mana yang memilih sembunyi di balik si Kambing Hitam.

Then,
karena gue merasa lingkungan kerja dan team gue udah nggak kondusif, gue nggak bisa kerja bareng dengan orang-orang kayak gitu.
Akhirnya gue pun mengambil keputusan.
Gue menghubungi pihak HRD dan Sales di induk perusahaan gue.

Karena udah nggak tahan banget, gue pun membeberkan semua kejadian di tempat kerja.
Sampai sedetail-detailnya.
Yang paling gue tekankan adalah gue nggak berkenan dengan kekerasan verbal, power harrassment dan sikap pilih kasih.
Soal staff lain yang cemen-cemen itu nggak gue bilangin.
Ya udahlah, biarkan saja para cemeners itu tetep bersembunyi di balik si Kambing Hitam.

Gue meminta supaya gue tetap bisa kerja di tempat kerja yang sekarang, tapi pindah section/department.
Kalopun ternyata memang nggak bisa pindah department, ya udah sih, gue coba bertahan lagi aja, palingan gue bakal lebih bersikap sebodo amat aja.
Ya gue nggak muluk-muluk, lagian gue mah apa atuh, nggak bisa milih pengen ditempatin dimana.
Udah dapet kerjaan yang baik dengan tempat tinggal yang baik kayak sekarang pun gue udah amat sangat bersyukur.

Setelah diskusi, interview kerjaan, dan berembuk dengan PIC dari induk perusahaan gue, dese pun meminta supaya bisa bicara langsung sama manager tempat di P Section, untuk menyampaikan unek-unek gue.
Ternyata bapa manager nggak sendiri, beliau pun ngajak dua leader gue buat ikutan meeting sama PIC induk perusahaan gue.
Mungkin supaya si leader itu tau apa masalahnya dan denger langsung dari PIC gue.

Tau nggak, keesokan harinya setelah PIC gue bicara sama bapa manager dan dua leader gue, entah kesambet petir, entah salah minum obat, dua leader itu tiba-tiba berubah drastis.
Si Leader yang lebih tua jadi sok akrab sama staff outsourcing dan staff kontrak.
Tiba-tiba dia jadi sering datengin meja mereka satu-satu, nanya-nanya gimana kabarnya, gimana liburan kemaren, ohh kerjaan yang ini susah ya, gapapa yang penting belajar, ketawa-ketiwi, bercanda, sumpah serapah nggak keluar lagi.

Leader yang lebih muda pun jadi lebih friendly.
Ketika gue nanya soal kerjaan, dia ngejelasin dengan pelan-pelan, suaranya halus kayak lagi ngobrol sama anak-anak, dia tanggap dan cepet respon.

Cepet banget ya kalian berubah.
Tapi buat gue,
SEMUA ITU BULLSHIT!
Gue malah jijik ngeliat perubahan drastis mereka.
Akting kalian payah.

Serigala yang lagi pake kostum domba itu ternyata ada ya.
Di depan mata gue pulak.
Manusia nggak bakalan bisa berubah secepat itu, apalagi hanya dalam hitungan jam.
Semua perlu proses, bro!

Gue bukannya nggak menghargai perubahan mereka ke arah yang lebih baik.
Gue akan sangat senang dan respect kalo mereka memang bener-bener mengubah sikapnya DARI HATI bukan sekadar akting sampah kayak gitu.

Beberapa hari kemudian setelah perubahan drastis itu, mereka balik lagi ke sifat mereka semula.
Sumpah serapah keluar lagi dari mulut leader yang lebih tua, sikap pilih kasih sih nggak usah ditanya lagi, ketika ada staff outsourcing yang nanya kerjaan dan nggak ngerti-ngerti,
leader yang lebih muda lagi-lagi kesel dan meninggikan suaranya.
Ya gue udah tau dari awal sih, perubahan sikap kalian kemaren-kemaren itu cuma anget-anget tai ayam.


Selama dua bulan terakhir ini, hampir tiap hari gue nangis.
Awalnya gue masih bisa tahan, dan nangis cuma di rumah pas pulang kerja aja, karena saking keselnya.
Tapi, semakin kesini gue semakin nggak bisa nahan emosi.
Gue sering lari ke toilet buat meluapkan emosi gue dan nangis di sana.
Meski mungkin dari luar gue keliatan diem aja dan tanpa emosi, tapi gue cuma pura-pura sok kuat.

Then, dua minggu lalu keputusan sudah keluar.
PIC gue dari induk perusahaan memutuskan kalo masa kerja gue di P Section hanya sampai akhir September ini.
Dese setuju dengan pindahnya gue dari P Section ke department lain, tapi tetap di tempat kerja (di gedung) yang sama.
Alasannya adalah karena ketika PIC gue bicara sama bapa manager, dese nggak ngeliat adanya niat untuk perbaikan lingkungan kerja di P Section, sehingga daripada gue makin stress, PIC gue memilih untuk memindahkan gue.

Palu sudah diketok.
Gue akan berada di P Section ini hingga akhir September.
Setelah itu gue masih belum tahu akan dipindahkan kemana.
Saat ini baru bapa manager dan dua leader gue yang tau soal rencana gue berhenti dari P Section.
Staff lainnya mungkin belum tau.
Tapi, kalo ngeliat kelakuan leader gue yang mulutnya ember, mungkin diem-diem dia udah ngomong sama beberapa staff lainnya.

Jujur, gue antara lega dan cemas.
Lega karena gue akhirnya bisa lepas dari lingkungan yang buruk.
Meskipun gue nyaman dengan kerjaan gue karena udah mulai terbiasa, tapi gue nggak mau diem pasrah aja menerima kondisi buruk yang sebetulnya bisa gue tinggalkan.
Lega akhirnya gue nggak usah memaksakan diri tiap hari, nggak usah sok kuat lagi, nggak usah pasang poker face terus sepanjang hari.

Cemas, karena gue nggak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, dimana gue akan ditempatkan lagi, apakah section/department baru nanti lingkungan kerjanya akan lebih baik atau malah justru lebih parah, apakah gue bisa beradaptasi (lagi) dengan orang-orang baru dan kerjaan baru, dan semoga gue masih tetap ditempatkan di tempat kerja yang sekarang,
karena gue udah capek pindah rumah dan udah betah dengan apartement yang sekarang.
  
Semoga semua dilancarkan.
Semoga gue dikasih yang terbaik.
Semoga keputusan gue ini nggak gue sesali di kemudian hari.
Gue nggak akan terus melihat masa lalu, biarlah itu jadi pelajaran buat gue.
Pokoknya gue akan menantikan dengan excited apapun yang akan terjadi nanti.
Nggak usah mikir yang nggak-nggak, apalagi hal yang belum terjadi.
Karena kebiasaan jelek gue, selalu cemas mikirin hal-hal yang belum terjadi yang bahkan belum tentu bakal sejelek yang gue pikirin.
*toyor diri sendiri*

Tinggal sebulan lagi hingga gue menuju lingkungan baru.
Mari kita jalani dengan senyum dan fun!



*maap nih ye, postingan kali ini suram dan berat banget^^*

No comments:

Post a Comment

Are you listening?

 “Kita dianugerahi dua telinga dan satu mulut, bukankah itu berarti kita sebaiknya lebih banyak mendengar daripada bicara?” Saya sering deng...