[Life in Japan] : sewa apartement

Setelah urusan dokumen, ijin tinggal, asuransi dan alat komunikasi beres, waktunya cari tempat tinggal.
*kecuali kalo gue niat ngegembel dan bobo di taman atau stasiun*.

Satu kata buat sewa apartement di Jepang : MUAHAAL!

Baidewey, meski disini disebutnya apartement, tapi jangan bayangkan apartement kayak di Indonesia atau Jekardah yang bangunannya puluhan lantai, mewah, berkelas [meski ada yang buluk juga sih] fasilitas lengkap kayak kolam renang, area fitnes, akses jalan tol, mall gede, endeswey, endesbrey.

Apartement atau orang Jepang biasa menyebutnya apaato di sini kalau di Indonesia yaa sejenis kontrakan, kosan atau rumah susun.
Hanya saja lebih bersih, tertib, dan teratur cencunya.
Kalau soal berhantu atau nggak sih, tergantung amal-amalan *buru-buru beli pengusir hantu*

Well, apartement di Jepang bervariasi tergantung fasilitas dan uang yang kita punya #PASTINYA
Ketika mau sewa apartement atau bahasa gaulnya ngekos or ngontrak rumah, kita nggak bisa nyewa apartement sembarangan. 

Kalau di Indonesia, kita tinggal nyari kosan atau kontrakan dengan menyesuaikan tempat kerja, kampus atau lainnya, trus kalo dirasa nemu yang cocok, langsung deh kontak yang punya rumah atau contact person yang biasanya ditempel  di rumah, atau bisa juga nyari di internet, atau malah bisa juga punya kenalan yang kebetulan mau ngontrakin rumah.

Tapi di Jepang, sewa apartement biasanya harus melalui agen real estate atau disini biasanya disebut fudousan (不動産).

Pertama-tama kita tentukan dulu di kota mana akan tinggal.
Karena mulai tanggal 1 Oktober nanti aku pindah ke Saitama tepatnya di Kumagaya *berhubung kerjaan lagi banyak-banyaknya di sana, tapi tetep bulak-balik ke Tokyo juga*, jadinya aku pun pilih kota Kumagaya.

Kemudian, kita tinggal cari agen real estate yang ada di sekitaran Kumagaya.
Setelah cari di internet, ketemulah satu agen real estate yang berada nggak jauh dari Kumagaya Station, yaitu Matsuhori Fudousan.

Setelah bikin janji untuk ketemuan di office Matsubori Real Estate, aku pun pergi ke sana sesuai hari janjian.
Sebetulnya dari stasiun tinggal jalan 5 menit aja, tapi emang dasar gue yang nggak bisa lepas dari kebiasaan nyasar, malah makan waktu hampir 30 menit!
Karena udah nyerah dan puyenghai, akhirnya bocah tukang nyasar ini nelpon ke agen real estate yang ujung-ujungnya mereka dateng ngejemput di titik point aku nyasar dan nyerah nyari alamat mereka.

Petugas real estate yang menanganiku waktu itu namanya Kawanabe, masih muda, tinggi, dan ramah banget. Hmmm, mungkin usianya sekitar 32-an. Tapi entahlah ya, wajah orang Jepang kan kadang menipu dan awet muda.
Sambil jalan menuju office real estate, Kawanabe-san mulai tanya-tanya sekiranya aku pengen apartement yang kayak gimana.

Aku jelaskan, pastinya pengen di sekitar Kumagaya, dan dengan budget uang sewanya nggak melebihi 50,000 Yen (sekitar 6 juta rupiah) per bulan.
Oiya, apartementnya harus menghadap ke selatan yang notabene-nya bakal dapet sinar matahari pagi yang baik, plus yang paling penting adalah toilet nya KUDU PAKE SHOWER.
Pokonya akika ogah lah toilet kering yang ceboknya cuma pake tissue.
Rempong dan nggak biasa yeey buat orang Indonesia yang nggak bisa jauh-jauh cebok pake air kayak akika.

Setelah paham dengan beberapa kriteria apartement idamanku, Bang Kawanabe *caileeh sok ikriib* pun mulai mencarikan beberapa apartement yang cocok dengan permintaanku.
Ada tiga kandidat apartement yang ditawarkan si Bang Kawa *akhirnya disingkat karena ngetiknya rempong*.

Yang pertama, kamarnya luas, harga sesuai budget, lingkungan nyaman dan tenang, dan yang pasti ada toilet yang ceboknya pake air.
Tapiii, jauuh dari stasiun. Jalan kaki sekitar 15 menit, itu jalan kakinya orang Jepang yang grasak grusuk buru-buru kayak dikejar Jin Tomang loh ya.
Kalo ane yang jalan, dengan gaya santey kayak di pantey, sambil dengerin musik dan ngeceng lirik kanan-kiri, yaa jadinya sekitar 30 menit lah...muahahaa.

Karena nggak praktis, dan aku sering pulang malem, yang tentunya bahaya kalo princess pulang malem jalan kaki sendirian, maka kandidat pertama dicoret.

Yang kedua, dari stasiun cuma jalan kaki 5 menit (buat gue jadi 10 menit), dekeeet dan praktis, toilet nya pun cebok pake air, kamarnya di lantai 2, tapiii begitu aku masuk, kamarnya kok kurang sreg gimanaa gitu.
Kayak nggak ada chemistry getoh #HALAH
So, yang ini pun cancel.

Yang terakhir, tadinya aku udah hampir nyerah dan pulang aja, tapi kata Bang Kawa di tempat kandidat kedua ada satu lagi kamar kosong di lantai 3.
Dengan agak ogah, aku pun ngesot ke lantai 3.
Begitu pintu kamar dibuka...woilaaaa kamarnya sama aja sama yang di lantai 2 tadi #yaeyalah, tapiii entah kenapa aku langsung suka pada pandangan pertama sama kamar ini❤.
Yang bikin suka banget adalah kamar di lantai 3 ada tambahan rooftop nya, itu looh kamar kecil di atap yang suka ada di film-film gitu.

Plus, karena ada di lantai paling atas, nggak ada gedung yang ngalangin, jadinya sinar matahari bebas masuk, dan jendela pun nggak berhadapan langsung sama tetangga sebelah.
Buat introvert akut seperti sayah, paling males kalo kudu basa basi busuk sama tetangga nggak dikenal, apalagi kalo jendelanya saling berhadapan gitu.
Tanpa pikir panjang, palu pun diketok dan aku bilang ke Bang Kawa kalo pilihanku jatuh pada kamar di lantai 3 ini.

Bang Kawa pun tersenyum lega dan puas *karena bentar lagi dia dapet komisi....eh, karena bisa membantu mencarikan apartement buatku*.

Setelah menetapkan pilihan, rupanya prosedur nggak berhenti sampai disitu.
Aku masih harus nyerahin beberapa dokumen, tandatangan kontrak dan perjanjian lainnya, dengerin penjelasan panjang lebar soal peraturan tinggal di apartement, daaan seabrek prosedur lainnya.
Untung agen real estate alias si Babang Kawa nya baek, jadinya nggak bete-bete amat sih, meski agak pusing dengan banyaknya aturan.

Setelah surat kontrak ditandatangani dan uang sewa dibayar, masih ada lagi yang perlu diurus.
Listrik, air dan gas nggak ngalir begitu aja, aku harus nelpon masing-masing perusahaan yang menyuplai ketiga kebutuhan di atas dan bilang mulai kapan tinggal di apartement. Nanti mereka bakal nyalain air, listrik dan gas sesuai rikues.
Air dan listrik cukup konfirmasi by phone aja, tapi untuk gas kita harus standby di apartment sesuai jam yang diminta sama kita sebelumnya ke perusahaan gas. 

Nanti bakal datang salah seorang staff yang nyalain saluran gas, kasih penjelasan soal penggunaan kompor gas dan air panas, plus peraturan lainnya.
Oiya, kita juga diminta bayar 10,000 yen (sekitar Rp 1,2 juta) sebagai uang jaminan, yang akan dikembalikan setahun kemudian.
Tapi ini tergantung kota dan area ya, seperti di Tokyo, nggak usah bayar uang jaminan, tapi harus beli alat pendeteksi kebocoran gas, yang di apartement ku dikasih cuma-cuma...haha.

Oiya, kalau sewa apartement di Jepang dengan kontrak baru, nggak cuma uang sewa yang dibayarkan, tapi buanyaaak biaya yang harus dibayarkan.
Ada uang deposit (besarnya 2 kali biaya sewa perbulan), uang terima kasih (entahlah gue bingung nerjemahinnya, bisanya ada yang nggak pake ada yang 1 kali biaya sewa perbulan), lalu biaya ganti kunci (tiap ada penyewa baru, semua kunci harus diganti, untuk keamanan) dan komisi buat agen real estate.

Setelah dijumlah jamleh, plus biaya sewa bulan pertama, you know berapa totalnya?
270,000 yen atau Rp 28 juta😨😨😨
Ngoook, ini belum pindah aja udah dipalak segini banyaaak.
Jepang edaan ya...haha.

Karena nggak mungkin bayar segitu, plus belom gajian juga, maka mau nggak mau ngutang dulu ke perusahaan supaya mereka bayarin dulu.
Uang deposit itu nanti balik lagi sih, asalkan nggal bikin kerusakan sama kamar yang kita sewa.
Tapi ya tetep aja keterlaluan banget mihilnya.

Well, begitulah sedikit cerita dari sewa menyewa apartement di Jepang.
Ada yang berminat ngekos di Jepang? Haha.

Sekarang udah hampir 3 bulan aku menempati apartement-nya, dan alhamdulillah nyaman banget😊💗
Tahun depan disuruh pindah ke area yang lebih deket dengan pusat kota Tokyo, tapi entahlah ya.
Yang penting sekarang nikmatin aja dulu^^

Rooftop yang bikin jatuh cinta sama apartementnya☺💕




No comments:

Post a Comment

Are you listening?

 “Kita dianugerahi dua telinga dan satu mulut, bukankah itu berarti kita sebaiknya lebih banyak mendengar daripada bicara?” Saya sering deng...