[Life in Japan] : bikin KTP dan beli handphone

Setelah tiba di Jepang dan mendapatkan Residence Card atau biasa disebut zairyu kaado (在留カード), sebagai orang asing yang mendapatkan ijin tinggal/visa setahun atau lebih, kita harus segera melapor ke balaikota setempat yang disini biasa disebut shiyakusho (市役所).

Residence Card yang didapatkan di imigrasi bandara saat memasuki Jepang, bagian belakangnya masih belum tercantum alamat tempat tinggal, jadi harus ke balaikota untuk mencetak alamat tempat tinggal kita sekarang.

Saat ini tempat tinggalku berada di area Tokyo tepatnya Chofu-shi, jadinya di pagi itu aku ditemani Branch Manager sekaligus perwakilan orang Jepang, pergi menuju Balaikota Chofu.
Karena masih pagi, nggak begitu banyak warga yang datang hari itu.
Dari pintu masuk, kami disambut dengan ramah oleh petugas wanita dan diberikan penjelasan cara apply Residence Card untuk mendapatkan alamat tempat tinggal yang akan dicantumkan di kartu tersebut.

Setelah cek passport dan Residence Card, aku diminta menunggu hingga nomor antrianku dipanggil.
Selang 5 menit kemudian, nomor antrianku dipanggil dan aku langsung menuju loket.
Disitu aku diminta mengisi beberapa form yang mencantumkan nama, tanggal lahir, alamat saat ini dan beberapa keterangan dasar lainnya.
Setelah mbak-mbak petugasnya memeriksa form yang kuisi dan dirasa nggak ada yang kelewat, dia pun meminta aku kembali ke ruang tunggu karena pencetakan alamat di Residence Card akan memakan waktu beberapa lama.

15 menit kemudian, petugas memanggil nomor antrianku yang tandanya Residence Card-ku sudah selesai diproses. Hanya dengan biaya administrasi sebesar 200 yen (sekitar 24 ribu rupiah), woilaaaa Residence Card sebagai tanda pengenalku sudah jadi.

Setelah Residence Card jadi, rupanya masih ada satu prosedur yang harus dilakukan.
Yaitu daftar asuransi atau mungkin kalau disini namanya BPJS, karena asuransi ini dikelola langsung oleh pemerintah dan warga yang belum mendaftar asuransi di manapun wajib fardu'ain punya asuransi pemerintah ini.

Setelah beberapa form diisi dan diberikan penjelasan oleh petugas yang lagi-lagi amat sangat ramah dan helpful, asuransi pun beres.
Biaya polis asuransi sebesar 6700 Yen (atau sekitar 804 ribu rupiah), administrasinya sendiri sama seperti Residence Card yaitu 200 Yen.
Tapi, karena ke depannya aku bakalan pakai asuransi kantor, jadinya ketika proses pengurusan asuransi kantor nanti sudah jadi, aku boleh meng-cancel asuransi pemerintah ini.
Hanya saja pastikan harus datang lagi ke balaikota buat batalin asuransi sebelum jatuh tempo, karena kalau nggak, nanti bakal datang tagihannya 😖.

Cepat, mudah, dan praktis.
Nggak perlu ribet dengan birokrasi yang berbeli-belit dan bikin urat pusing.
Hanya memakan waktu kurang dari 30 menit, semua beres dan bisa hidup tenang bersama warga Jepang lainnya.
Nggak ada mbak-mbak judes yang ngejelasin prosedur asal-asalan supaya cepet selesai.
Nggak usah pakai calo ini-itu yang makan biaya sampai ratusan ribu plus biaya pritilan lainnya yang nggak jelas.

Well,
kita tinggalkan balaikota, selanjutnya menuju toko hape buat beli hape
*yaiyalah, masa beli kawat*.

Karena hari udah agak siang, dan Branch Manager yang bertugas nganterin plus mendamping aku kesana kemari ngurusin administrasi ada perlu, beli hapenya ditunda dulu sampai besok.

Besoknya, kami berdua pergi menuju toko handphone.
Pengalaman pertama kali beli handphone di Jepang memberikan kesan tersendiri buatku.

Pertama-tama, handphone di Jepang nggak dijual bebas begitu saja seperti di Indonesia yang bisa ditemukan di mall bahkan counter kecil di pinggir jalan.
Di Jepang, handphone dijual melalui provider bersangkutan.
Jadi, sebelum pilih pengen punya handphone yang mana, kita sebelumnya dibuat galau dulu mau pilih provider yang mana.

Karena hape-nya dibeliin sama perusahaan dan mereka kebetulan pakai provider AU, jadi aku pun ngikut aja ketika dipilihin provider AU.
*lagian Arashi pernah jadi bintang iklan AU, yaa aku sih seneng-seneng aja*



Begitu tiba di toko resmi AU *kebetulan dapet antrian pertama*, petugas yang ramah banget langsung memandu kami.
Karena aku mau beli handphone baru, pertama-tama dia nawarin android Sony Xperia *aaak, mauuuu*. Hape yang ditawarin nggak tanggung-tanggung yaitu Sony Xperia XZs seharga 85.000 Yen (atau di Indonesia sekitar 9.5 juta).
Yaaa, kalo kantorku berbaik hati mau kasih sih gapapa...haha.
Tapi karena dirasa kemahalan, apalagi cuma buat staff biasa kayak aku *da aku mah apa atuh....*, si Bos minta merk Xperia yang harganya dibawah type XZs.

Entah si mas-mas penjualnya bohong supaya type XZs-nya laku, atau apalah itu, dia bilang kalo sekarang yang ready stock cuma tinggal type XZs aja, sist.
*ganti ke merk iPhone  6 juga gapapa keleuuus, Bos!*
*dikepret*
Akhirnya, pilihan jatuh ke merk lokal yaitu Kyocera QUA Phone yang dibanderol seharga 35,000 Yen (atau sekitar 4,2 juta rupiah). Meski harganya cuma setengahnya dari si Xperia kece tadi, tapi dari segi function dan tampilan boleh juga sih 👍
Pilihan pun akhirnya jatuh ke QUA phone warna putih yang lumayan unyu.

Come to mama, baby!!!

Awalnya kupikir beli hape di Jepang hampir sama dengan di Indo, yaitu pilih hape yang dipengenin, beli nomor, pilih paket data, masukin sim card plus SD card (kalau ada) dan bawa pulang deh hape barunya.

Ternyata tidak pemirsah!

Beli hape di Jepang dengan sistem nyicil dan planning.
Pertama, harga handphone-nya doank akan dibagi selama berapa kali kita nyicil.
Misalnya kita pilih dua tahun, berarti sekali bayar angsuran sekitar 850 yen (atau 100 ribuan/bulan), setelah itu kita harus pilih plan atau kurang lebih paket nelpon, sms dan abodemen.

Ada yang super yaitu free nelpon kapanpun dan berapa lamapun, tapi cencunya mihiiil.
Ada yang paket hemat, yaitu free nelpon 5 menit pertama kapanpun, tapi setelahnya berbayar.
Ada juga paket supeeer hemat alias paket miskin, yaitu cukup bayar abodemen dan biaya SMS, tapi biaya telepon dihitung perdetik atau permenit gitu *lupa akika*.

Karena dirasa jarang nelpon, tapi tetep butuh nelpon sedikit-sedikit, so aku dipilihin sama si bos yang paket hemat. Kalau nggak salah biayanya sekitar 1200 Yen (sekitar 240ribu rupiah) perbulan.

Setelah itu, kita harus pilih paket data yang digunakan.
Ada yang mulai dari 2 GB sampai 20GB unlimited.
Karena dirasa bakalan lebih sering pakai internet ketimbang nelpon, so aku minta yang 20GB. 
*sekalian buat donlot....muahahaaaa*
Harganya kalo nggak salah sekitar 2700 yen (sekitar 324ribu rupiah) perbulan.

Beres?
Belum, sayang.
Setelah paket atau plan dipilih, kita harus mengikat kontrak dengan si provider. 
Karena tadi pilihnya 2 tahun, berarti selama dua tahun seluruh biaya di atas *kalo dijumlah jamleh sekitar 4750 Yen atau 570ribu rupiah* wajib dibayarkan perbulannya.
Pokonya beli hape disini udah kayak mau nyicil motor deh 😆😆😆

Padahal hapenya murah, cicilannya juga cuma 850 Yen perbulan, tapi biaya paket data sama nelponya yaowlooooo mihil bok!
*gusur perusahaan provider pake buldoser*
Jadi, kalo kalian ngeliat banyak orang Jepang pada pake iPhone 6 atau 7, jangan langsung takjub, karena mereka nggak beli cash langsung ngasih 10jeti, tapi dicicil perbulan cyiiin.

Trus, udah beres?
Belum, cintah!

Rupanya hape yang dibeli beneran CUMA HAPE doank.
Iya, hapenya aja.
Charger kudu beli terpisah seharga 1300 Yen (sekitar 156 ribu rupiah), kabel data, anti gores bahkan earphone pun NGGAK ADA.
Kardus isinya cuma hape sama manual book.
Set dah! Jepang udah mah mahal, kopet amat yak!

Padahal berharap banget dapet earphone baru yang ada mic-nya, secara earphone gue yang sekarang udah agak buluk dan nggak ada mic-nya 😢😢😢
Oiya, SD card-nya dijual terpisah.
Harganya pun nggak main-main.
SD card dengan kapasitas terkecil yang tersedia yaitu 32GB dibanderol seharga 12,000 Yen (sekitar 1,4 juta rupiah).
*PINGSAN*
 Bahkan untuk yang kapasitasnya paling gede yaitu 128GB, harganya 30,000 Yen (sekitar 3,6 juta rupiah).
*buru-buru ngerampok bank*
Dan semua itu lagi-lagi masuk ke biaya cicilan hape, jadi dicicil sesuai kontrak selama dua tahun.

Nah, sekarang udah beres kan kakak?
BELUUUM!


Setelah semua biaya dibayarkan dan kontrak ditandatangani kedua belah pihak, harus ada pemeriksaan atau sejenis audit.
Apa yang diperiksa aku kurang nyimak waktu itu, karena udah mulai bosen dan ngantuk.
Jadi iya iya aja lah supaya cepet selesai.
Kalo nggak salah nyimak sih, mungkin sejenis pemeriksaan kontrak, data diri dan QC check buat hape yang kita beli. Yaaa sapa tau hapenya ternyata nggak ada tombol Home-nya, kan berabe 😱

Pemeriksaan ini akan memakan waktu 30 menit sampai dua jam.
Tergantung lancar atau nggaknya pemeriksaan.
Daripada nunggu gaje, si bos memilih buat keluar sambil mampir dulu ke bank sebentar.
Sedangkan aku, karena di luar hujan dan lupa bawa payung, jadinya mau nggak mau nunggu gaje di toko hape.

Untungnya pemeriksaan ternyata nggak makan waktu lama.
45 menit kemudian, semua prosedur selesai dan si hape bisa dibawa pulang trus langsung dipake.

Prosedur beli hape baru di Jepang, mulai dari masuk ke toko jam 10:00 teng, hingga keluar memboyong hape baru sekitar jam 13:00, berarti total memakan waktu 3 jam.
Beli hape aja 3 jam?!!

Di Indonesia, yang penting bawa duit atau kartu kredit, pilih hape, nomer sih masih ada nomer yang lama, atau beli nomer baru juga tinggal pilih, trus pulang.
Palingan nggak nyampe 20 menit.

AMAJING yah^^

Pantesan, si bos keukeuh pengen dateng ke toko hape pagi-pagi dan ngincer antrian paling pertama. Karena kalo udah banyak yang ngantri, pasti bakalan lebih lama lagi.

Well,
Jepang dengan segala keribetan dan keunikannya, tetep bikin aku suka dan ingin terus ngulik negara satu ini 😃

Nanti cerita-cerita lagi ya.

 
 


2 comments:

  1. ya ampun dah lama gak berkunjung tau-tau udah tinggal di jepang ajaa yaaa

    ReplyDelete

Are you listening?

 “Kita dianugerahi dua telinga dan satu mulut, bukankah itu berarti kita sebaiknya lebih banyak mendengar daripada bicara?” Saya sering deng...