pria

Sebetulnya, sore ini aku berencana pulang ke Bandung.
Booking travel sudah siap, packing baju dan keperluan lainnya pun OK (keperluan lain = Hard disk maksudnya^^), intinya pulang kerja nanti langsung melesat menuju shuttle travel setelah menyimpan motor dulu di kosan.

Tapi,
semua itu buyar ketika di pagi yang tenang dan damai babeh tiba-tiba ngamuk tanpa alasan yang jelas. Dia mengirim SMS pada kami semua (termasuk Ibu dan adik laki-lakiku) yang berisi kemarahannya. Setelah kutelepon Ibu, rupanya masalahnya sepele : accu mobil habis ketika kebetulan dia mau pergi.

Bukan kemarahannya yang membuatku kesal, tapi cara dia marah dengan mencaci maki seluruh anggota keluarga. Mulai dari kami tidak becus lah, kami semua goblok padahal lulusan sarjana dan bekerja di tempat bagus, kami semua tolol karena dari semua anggota keluarga hanya dia yang bisa menyetir mobil sedangkan aku dan Ibuku yang pernah kursus menyetir sekalipun masih tidak bisa berani pergi sendiri menggunakan mobil, dan banyak umpatan yang sebetulnya tidak pantas diucapkan oleh seorang Ayah kepada anggota keluarganya sendiri, meski hanya dalam bentuk SMS.

Dari dulu, Ayahku memang temperamen.
Cepat marah dan kata-kata yang keluar tidak pernah di filter apalagi memikirkan apa yang dia ucap bisa membuat orang sakit hati atau tidak.
Awalnya kumaklumi karena dia orang Sumatra yang notabene-nya memiliki watak keras.
Tetapi, setelah aku mengenal banyak orang, mulai dari kuliah, tempat kerja hingga daerah-daerah yang pernah kusinggahi saat traveling, aku berkesimpulan bahwa orang Sumatra mungkin memiliki watak keras namun mereka tidak jahat.
Mereka tidak bermulut sampah, justru dibalik wataknya yang keras mereka sangat baik dan care.
Bahkan dua bos-ku yang sekarang adalah orang Riau dan Medan yang justru sangaaaaat baik atau bahkan Bos terbaik yang pernah kupunya.

Mereka sopan, ramah, care, bijak dan smart dalam memperlakukan orang, baik itu sesama orang Sumatra atau yang berbeda daerah bahkan beda negara.

Ternyata memang ayahku yang brengsek.
Orang Sumatra tidak salah. Maafkan aku karena telah men-judge kalian seenaknya.

Tidak hanya satu-dua kali kelakuan ayahku kumat.
Sejak aku kecil, entah berapa kali dia berkelakuan seperti itu, bahkan aku -anak perempuan satu-satunya- pernah ditendang tanpa sebab yang jelas.
Itu amat sangat berbekas hingga sekarang.
Bahkan sampai mengkhianati Ibuku sebagai istrinya sendiri. [you know what I mean....]
Dan masih banyak lagi yang membuatku tidak pernah respect apalagi hormat pada ayah.

Mungkin,
banyak dari teman-teman di luar sana, apalagi yang sudah tidak memiliki ayah akan berkata padaku : Itu ayahmu satu-satunya, jaga dia baik-baik, karena kalau kamu nanti seperti kami yang tidak punya ayah, pasti kamu akan menyesal.

Mungkin,
kalau sosok ayah yang kalian punya amat sangat menjaga keluarganya dan rela berkorban.
Tapi, kalau seorang ayah yang seharusnya melindungi keluarganya malah mencaci maki bahkan untuk anak perempuannya sendiri pun tidak mau berkorban, apakah masih pantas dan layak untuk mengakui dia sebagai ayah?

Jujur saja, mungkin salah satu alasan kenapa aku belum menikah pun salah satunya karena ayahku.
Ketika aku dekat dengan seorang pria dan menuju arah serius, entah kenapa begitu aku teringat ayahku, aku langsung menjauh dari si pria itu.
Biasanya setiap anak perempuan mengidolakan ayahnya dan berharap calon pasangannya pun seperti ayahnya, bukan?

Yang terjadi padaku justru sebaliknya, aku berharap bahkan bersumpah agar aku tidak memiliki pasangan seperti ayahku.
Bahkan parahnya lagi, aku menganggap bahwa semua pria itu nantinya akan sama seperti ayahku.
Manis ketika pacaran, hangat dan lembut ketika awal-awal menikah, tapi begitu waktu berlalu ia akan memperlakukan keluarganya layaknya keset yang bisa ia injak dan buang begitu saja.

Oke, mungkin aku terlalu over.
Tapi, mindset seperti itulah yang selalu tertanam pada diriku sejak kecil.
Aku takut jika kelak pasanganku seperti itu.
Aku tidak mau jika keluargaku nanti akan seperti itu.
Aku tidak percaya dengan pria.
[ehm, tapi saya normal dan tetep suka cowok lho ya...haha]

Well, jika suatu hari nanti ada seorang pria yang bisa meyakinkanku bahwa ia tidak seperti ayahku, maybe I will think about marriage.

Tadinya aku mau menelepon Ibuku dan bilang kalau sore ini aku tidak jadi pulang.
Tapi, membayangkan Ibuku seorang diri di rumah dengan keadaaan ayahku yang sedang tidak waras, aku tak tega meninggalkan Ibu sendirian.
Adikku?
Adik nggak guna begitu mana bisa diandalkan.


Semoga malam ini aku bisa tiba di rumah dengan selamat dan disambut dengan senyuman hangat Ibuku, bukan airmata :)

Happy weekend.





No comments:

Post a Comment

Are you listening?

 “Kita dianugerahi dua telinga dan satu mulut, bukankah itu berarti kita sebaiknya lebih banyak mendengar daripada bicara?” Saya sering deng...