Obituary

【27-Oct-16 / Thu】

Pagi itu sama seperti pagi biasanya, sama seperti pagi kemarin, minggu lalu dan bulan lalu. Aku berangkat kerja seperti biasa, mengerjakan pekerjaanku seperti biasa, tidak ada hal aneh atau pun yang istimewa.

Tepat pukul 10:00 pagi, ponselku berdering dan kulihat nomor Ibuku di layar sebagai penanda beliau yang menelepon pagi itu.
Ibu bukan tipe orangtua yang selalu menelepon anaknya siang malam, meski cuma sekadar menanyakan sudah makan atau belum, atau pun mengobrol tentang gosip artis yang sedang tren saat ini. Ibu hanya akan menelepon jika ada hal yang penting atau menanyakan apakah akhir pekan ini aku pulang ke Bandung atau tidak.

Hanya dua hal itu yang akan membuat Ibu menelepon, bahkan di jam kerja.

Ketika layar ponselku menampilkan nomor Ibu, entah kenapa aku enggan mengangkatnya, karena aku merasa Ibu akan menyampaikan sesuatu yang kurang mengenakan, dan entah kenapa aku seperti tahu apa yang akan disampaikan Ibu lewat telepon pagi itu.

Setelah deringan kedua, aku mengangkat panggilan di ponsel dan suara Ibu di seberang sana terdengar berat.
Sambil menahan tangis agar bisa berbicara denganku, Ibu mengabarkan kalau Nenekku meninggal.
Belum selesai aku mengucapkan "Innalilahi wainnalilahirojiun", Ibu berkata lagi kalau Ua (kakak dari Ibu) juga meninggal di hari yang sama.

Dua orang keluargaku meninggal di hari yang sama, hanya berselang satu jam.

Setelah itu, Ibu tidak bisa menahan tangisnya dan menangis sejadi-jadinya di telepon.
Tanpa menanyakan apapun lagi, aku segera bilang pada Ibu kalau aku akan pulang ke Bandung sekarang juga.

Begitu panggilan di ponsel terputus, wajah nenekku langsung memenuhi isi kepalaku saat itu.
Setelah menenangkan diri sejenak, aku segera menuju office di lantai atas untuk mencari Manager HRD karena aku harus ijin pulang cepat.
Setelah semua urusan administrasi dan lapor ke Bos selesai (hari itu Bos kebetulan sedang dinas luar ke Thailand, jadi aku hanya mengabarkan via LINE), aku melesat menuju kosan dengan motorku untuk berbenah dan langsung menuju Bandung.

Selama di perjalanan, isi kepalaku masih dipenuhi gambaran nenekku ketika masih hidup, tanganku gemetaran saat mengendarai motor, dan kucoba menenangkan diri sebisaku. Aku mencoba menahan air mata sekuat tenaga, dan berdoa semoga perjalanan hari itu lancar sehingga aku bisa segera tiba.

Karena nenekku akan dimakamkan di kota kelahirannya, Tanjungsari - Sumedang, maka begitu tiba di Bandung aku langsung pergi menuju kota tersebut.
Sayangnya, karena perjalananku cukup lama, aku tidak sempat melihat nenekku untuk yang terakhir kali. Begitu aku tiba di Tanjungsari, upacara pemakaman nenek sudah selesai.

Saat perjalanan menuju Bandung - Tanjungsari kemarin, air mataku kutahan sekuat tenaga agar tidak menangis di dalam bis travel. Tapi, begitu aku tiba di Tanjungsari dan saat bertemu dengan Ibu, bahkan hingga aku menulis ini, air mataku tidak bisa keluar sedikit pun.
Entahlah.

Aku sedih dan amat sangat kehilangan nenekku, apalagi aku sangat dekat dengannya sejak kecil.

Aku tinggal di rumah nenek sejak masih bayi hingga SMP. Bahkan ketika tidak tinggal di rumah nenek lagi, karena sekolahku dan rumah nenek dekat, setiap hari aku pasti berkunjung ke rumahnya.
Ketika masa-masa SMA dimana keluargaku sedang di ujung tanduk, ketika aku tidak ingin berada di rumah, rumah nenek selalu jadi tempat pelarianku.
Bahkan aku sering kabur ke rumah nenek untuk menginap satu-dua malam tanpa bilang terlebih dahulu pada Ibu, saat aku tidak ingin melihat kondisi keluargaku yang hancur berantakan.
Ketika kuliah pun, aku pasti menyempatkan berkunjung meski hanya untuk mencicipi masakan buatan nenekku.
Setiap kali aku pulang ke Bandung, pasti kusempatkan berkunjung ke rumahnya. Meski hanya sebentar.

Meski cucu-cucu yang lain seolah tidak peduli dan hanya berkunjung ke rumah nenek saat Lebaran atau acara arisan keluarga, aku tidak mau seperti itu.
Aku sayang nenekku, dan selama masih bisa kujangkau aku selalu sempatkan berkunjung ke rumah beliau, meski hanya sebentar.
Aku suka dengan suasana dan atmosfer rumah beliau.
Hangat, penuh dengan kekeluargaan, dan seakan sebagai tempat flash back masa kecilku.

Ketika aku datang berkunjung, nenek selalu menyiapkan camilan dan memasak makan siang untukku. Padahal kondisi badannya sudah melemah, tapi beliau tetap membuatkan masakan kesukaanku. Aku sering memintanya untuk tidak usah repot memasak, karena aku tidak mau merepotkan beliau, tapi nenek justru akan berbalik marah kalau aku tidak makan siang di rumahnya.

Terkadang beliau bawel dan mengesalkan karena sering menasihatiku berbagai macam hal, dan kadang aku tidak mendengarkan nasihat beliau dengan benar.
Tapi, sekarang aku pasti akan sangat merindukannya.
Merindukan nasihatnya agar aku berhati-hati saat akan pulang ke rumah dengan mengendarai motor.
Merindukan ocehannya saat beliau nonton sinetron atau telenovela di TV.
Merindukan alunan lagu Sunda yang selalu beliau putar di VCD player kesayangannya.
Dan tentunya merindukan masakan beliau.

Setiap kali aku pulang ke Bandung, nenek selalu minta dibelikan keripik kentang dan jus buah.
Kini, aku pasti akan teringat nenek ketika aku melewati penjual jus buah yang selalu kukunjungi saat pulang ke Bandung, atau saat aku melihat kemasan keripik kentang kesukaan nenekku di supermarket.
Mungkin setiap pulang ke Bandung aku akan menyempatkan membeli jus dan keripik kentang, untuk sekadar mengingat nenek.

Setelah pemakaman nenek selesai, esoknya aku mengunjungi rumah Ua yang meninggal.

.........

4 hari kemudian, aku kembali ke kosan karena besok harus kembali bekerja.
Ketika hampir tiba di kosan, temanku Kikiw tiba-tiba mengirim LINE dan mengabarkan kalau Ayah-nya Oeng meninggal.

Serasa di sambar petir di siang bolong, aku berkali-kali menanyakan pada Kikiw apa dia tidak salah ketik, apa aku tidak salah baca, atau apakah aku hanya bermimpi.
Aku mengenal ayahnya Oeng, karena beberapa kali saat aku pernah menginap dan berkunjung ke rumahnya, beliau sering berbagi cerita.
Mulai dari cerita lucu, pengalaman sehari-hari, sampai wejangan dan nasihat.
Yang paling aku ingat, ayahnya Oeng sangat menyukai stand up comedian Ernest Prakarsa.
*Bunch hug for you, my friend*

Ya Allah, hanya kurang dari seminggu 3 orang yang kukenal meninggal dunia.
Aku tahu di dunia ini tidak ada yang namanya kebetulan, semua sudah direncakan olehMu, tapi rasanya seperti habis terjatuh dan terjatuh lagi sebelum sempat berdiri.

Semoga Nenek, Ua dan ayahnya Oeng diterima di sisimu Ya Allah.
Semoga kami yang ditinggalkan diberikan ketabahan dan dapat mengikhlaskan dengan sepenuh hati.
Amin ya robbalalamin.






No comments:

Post a Comment

Are you listening?

 “Kita dianugerahi dua telinga dan satu mulut, bukankah itu berarti kita sebaiknya lebih banyak mendengar daripada bicara?” Saya sering deng...